Oleh Agustinus R Kambuaya
Anggota DPD RI 2024-2029
SAAT ini salah satu isu hangat di tanah Papua adalah program pemerintah terkait transmigrasi yang diarahkan ke wilayah Indonesia timur, terkhusus ke tanah Papua. Meski program itu diklaim sebagai jalan masuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah di timur Indonesia, toh gelombang penolakan masyarakat dan berbagai elemen di tanah Papua mencuat belakangan.
Penolakan masif disertai kritik dan opsi solusi di internal tanah Papua dengan membeberkan pertimbangan, mengurai permasalahan dan sejarah arus migrasi yang masuk ke tanah Papua jauh sebelumnya. Pengalaman kebijakan transmigrasi di beberapa daerah di tanah Papua menampilkan kisah sukses dan kegagalan program tersebut.
Awalnya program transmigrasi memiliki beberapa tujuan utama. Pertama, memindahkan penduduk dari daerah padat penduduk ke daerah luas yang kekurangan penduduk. Sasarannya, Provinsi Kalimantan dan provinsi-provinsi di seluruh wilayah tanah Papua.
Kedua, perpindahan penduduk juga dilakukan dengan alasan memacu ekonomi di daerah. Para transmigran diasumsikan memiliki kepandaian bercocok tanam, bertani atau berkebun dan beternak. Mereka, transmigran, dipandang memiliki kemampuan mentransfer informasi dan pengetahuan serta teknologi.
Ketiga, tujuan lain adalah memindahkan beban sosial provinsi yang padat ke provinsi yang kurang penduduk tetapi wilayahnya luas. Sejumlah catatan sejarah transmigrasi sejak tahun 1970-an hingga 2000 menjadi pengalaman yang bisa dijadikan pelajaran.
Nasib buruk
Ada sejumlah catatan kelemahan program transmigrasi ke tanah Papua sejauh ini. Para transmigran yang dikirim ke tanah Papua juga mengalami penelantaran oleh negara. Banyak di antara mereka mengalami nasib mengenaskan.
Para transmigran dikirim dengan tujuan dibina dan diberdayakan. Namun, kenyataannya, mereka mengalami nasib serupa dengan warga pribumi Papua. Akses jalan sulit, program embung desa yang minim, pupuk dan irigasi yang sulit diperoleh petani transmigran.
Setelah menanam, para petani tidak tahu hasil pertaniannya dijual kemana. Warga transmigrasi dan warga Papua saling berlomba dalam usaha sendiri-sendiri. Mereka bahkan saling curiga dan meratapi nasib satu sama lain.
Data orang asli
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang program transmigrasi sebagaimana disebut di atas, menuai protes di berbagai daerah di seluruh tanah Papua. Bahkan senator asal Papua Barat Paul Finsen Mayor mengangkat rencana transmigrasi ke tanah Papua di sela-sela rapat paripurna alat kelengkapan DPD RI.
Paripurna alat kelengkapan DPD RI ini mestinya menjadi agenda krusial, bukan sekadar dapat dicatat atau ditampung (take a note) menjadi catatan atau dianggap bukan urgen. Mestinya ada atensi kelembagaan memperhatikan aspirasi masyarakat tanah Papua. Kemudian ditindaklanjuti pemerintah melalui kementerian terkait agar tidak menjadi wacana dan isu biasa yang malah menciptakan kegaduhan di tanah Papua.
Reaksi ini merupakan sikap antipati rakyat Papua terhadap program pemerintah pusat. Aspirasi penolakan bertolak dari alasan psikologis dan pengalaman traumatik atas program tersebut jauh sebelumnya. Satu hal yang pasti, pekerjaan utama seluruh rakyat Papua adalah bagaimana seluruh pemerintah daerah menyediakan satu sistem data diri orang asli Papua berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), dan Badan Pusat Statistik (BPS) di seluruh tanah Papua belum berhasil membangun sistem data informasi orang asli Papua yang jelas.
Selain menolak program dari luar, di internal tanah Papua kembali mengevaluasi diri kemudian mengidentifikasi diri melalui sistem wali data (satu data orang asli Papua). Berapa banyak orang asli Papua di seluruh tanah Papua, by name dan by address.
Berapa banyak laki-laki atau perempuan Papua, Berapa banyak jumlah siswa SD, SMP, SMU hingga calon mahasiswa dokter, apoteker, teknik, biologi, dan lain-lain orang asli Papua.
Kemudian, perbandingan populasi lima tahun terakhir. Didata per suku dan sebarannya baik di kota besar, pedalaman, pelosok, pesisir dan lain sebagainya. Dari data itu kita bisa tahu jumlah orang Papua dengan perbandingan setiap periode apakah jumlahnya naik atau turun. Berapa banyak data potensial anak yang dipersiapkan untuk diarahkan menuju golden generation.
Anggaran otsus dan program yang bagus namun tanpa kepastian data orang asli Papua yang jelas, ibarat membangun rumah di atas pasir. Rujukan untuk alokasi dana otsus menjadi kabur. Inilah yang berkali-kali diangkat dalam paripurna di berbagai provinsi dan kabupaten/kota di tanah Papua, namun belum juga menjadi atensi utama pemerintah daerah.
Saat ini bicara otsus dan anggaran, kita harus bicara data pasti orang asli Papua. Lagi-lagi isu transmigrasi menjadi seksi akibat gelombang penolakan masif. Tetapi pekerjaan rumah bersama di internal tanah Papua adalah konsolidasi atau sensus orang asli Papua harus segera dilakukan.
Perubahan pasti akan datang, tidak ada yang bertahan kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan, kompetisi itu satu sisi mata uang. Namun, dalam konteks otsus soal proteksi, afirmasi untuk menyiapkan orang asli Papua masuk dalam kompetisi yang sebenarnya. Masa otsus ini adalah saat menyiapkan tanah Papua menuju tinggal landas dan lepas landas masuk target bonus demografi penduduk Asean 2045.
Beberapa faktor yang mempengaruhi demografi adalah atau peningkatan dan penurunan penduduk adalah struktur usia, usia perkawinan, kawin pertama, paritas, disrupsi perkawinan, dan proporsi yang kawin.
Selain itu, keadaan ekonomi penduduk, tingkat pendidikan, perbaikan status perempuan, urbanisasi dan industrialisasi, termasuk angka kematian yang tinggi dan tidak berbanding lurus dengan angka kelahiran. Dengan demikian, saat menolak program transmigrasi perlu disertai dengan usaha mengevaluasi dan menyiapkan diri sejak dini.