OPINI  

Sejarah yang Berulang di Gaza: Dari Simson hingga Netanyahu

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

 

Pendahuluan

Gaza bukan sekadar kota kecil di tepi Laut Tengah. Sejak ribuan tahun silam, nama Gaza selalu muncul dalam setiap babak besar sejarah Timur Tengah — baik dalam kitab suci, catatan para penakluk, maupun dalam berita perang modern. Ia bukan kota biasa; Gaza adalah panggung panjang tempat kekuasaan, agama, dan darah bertemu.

Ribuan tahun lalu, Gaza menjadi kota penting bangsa orang Filistin. Di sanalah Simson, seorang tokoh legendaris Israel, merobohkan tiang kuil besar, menewaskan ribuan orang, dan menjatuhkan kota itu dalam reruntuhan. Ribuan tahun kemudian, Gaza kembali hancur — bukan oleh tangan seorang manusia perkasa, tetapi oleh kekuatan militer modern di bawah pemerintahan Benjamin Netanyahu.

Sejarah Gaza memperlihatkan sesuatu yang tak nyaman: tempat ini terus menjadi arena kehancuran dari masa ke masa. Bangsa berbeda datang silih berganti, teknologi perang berubah, tetapi Gaza tetap memikul nasib yang sama: menjadi korban kekuatan besar.

Gaza yang Dihancurkan Simson

Kisah kehancuran Gaza pertama kali tercatat secara legendaris dalam Kitab Hakim-hakim pasal 16 dalam Alkitab. Pada masa itu, bangsa Filistin menguasai Gaza dan kota-kota pesisir selatan Kanaan. Gaza bukan sekadar kota dagang, melainkan juga kota benteng — simbol kekuatan Filistin yang mengancam Israel di bagian utara.

Simson, hakim Israel dengan kekuatan luar biasa, menjadi mimpi buruk bagi Filistin. Setelah melalui berbagai pertempuran, Simson akhirnya ditangkap akibat pengkhianatan Delila. Ia dibutakan dan dibawa ke Gaza — kota musuh — untuk dipermalukan di kuil Dagon, dewa utama Filistin. Dalam keadaan lemah, Simson berdoa agar diberi kekuatan terakhir. Ia meraba dua tiang utama penopang kuil dan mendorongnya sekuat tenaga. Bangunan itu roboh, ribuan orang Filistin tewas, dan Gaza porak-poranda.

Peristiwa ini bukan sekadar kisah religius. Ia mencerminkan betapa Gaza telah menjadi simbol pertarungan kekuasaan sejak masa kuno. Gaza adalah kota strategis di jalur perdagangan dunia kuno. Karena posisinya, siapa pun yang ingin menguasai wilayah Kanaan pasti ingin menguasai Gaza. Namun setiap kekuasaan besar yang berdiri di atasnya selalu berakhir dalam kehancuran.

Setelah kejatuhan Filistin, Gaza jatuh ke tangan Kekaisaran Asyur, kemudian Kekaisaran Persia, lalu Kekaisaran Yunani di bawah Alexander Agung. Masing-masing kekuatan membawa perubahan politik, tapi satu hal tak berubah: Gaza terus menjadi tempat perebutan dan kehancuran.

Gaza di Pusaran Sejarah Modern

Melompat ke abad ke-20, Gaza kembali menjadi wilayah penting dalam peta geopolitik. Setelah Perang Dunia I, wilayah ini dikuasai oleh Mandat Britania untuk Palestina. Setelah 1948, Gaza berada di bawah kendali Mesir sebelum akhirnya diduduki oleh Israel Defense Forces (IDF) dalam Perang Enam Hari 1967.

Sejak saat itu, kehidupan rakyat Gaza berubah drastis. Wilayah ini menjadi bagian dari konflik panjang antara Israel dan bangsa Arab Palestina. Ketika Hamas mengambil alih kekuasaan pada 2007, Israel memperketat blokade terhadap Gaza — membuatnya berubah menjadi penjara terbuka terbesar di dunia. Lebih dari dua juta penduduk hidup dalam keterbatasan listrik, air, makanan, dan kebebasan bergerak.

Sejarah panjang ini menunjukkan bahwa Gaza selalu menjadi wilayah yang diperebutkan, bukan karena kekayaan alamnya yang luar biasa, melainkan karena posisinya yang strategis. Letaknya yang berada di jalur pesisir antara Mesir dan Israel menjadikannya wilayah kunci dalam urat nadi keamanan Israel dan jalur perdagangan kawasan.

Gaza yang Dihancurkan Netanyahu

Dalam beberapa tahun terakhir, kehancuran Gaza modern mencapai puncaknya di bawah kebijakan keras Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel. Netanyahu adalah tokoh penting dalam politik Israel kontemporer, dikenal dengan kebijakan hardline terhadap kelompok bersenjata Palestina, terutama Hamas. Di bawah pemerintahannya, Israel melancarkan serangan militer besar ke Gaza dalam berbagai gelombang: 2008–2009, 2014, 2021, dan 2023–2025.

Serangan ini bukan sekadar operasi militer biasa. Rudal-rudal Israel menghantam rumah sakit, sekolah, gedung pemerintahan, kamp pengungsian, bahkan rumah ibadah. Ratusan ribu warga mengungsi, ribuan tewas — termasuk banyak anak-anak. Gaza, yang dulunya kota peradaban kuno, kini menjadi reruntuhan modern. Bila dulu Simson merobohkan tiang kuil dengan tangan kosong, maka kini rudal-rudal modern melakukan hal yang jauh lebih dahsyat.

Netanyahu beralasan serangan tersebut adalah respons terhadap aksi militer Hamas, terutama pasca serangan 7 Oktober 2023. Namun dalam kenyataannya, penderitaan terbesar justru menimpa rakyat sipil yang tidak bersenjata. Rumah-rumah runtuh seperti kartu domino, dan dunia menyaksikan tragedi kemanusiaan terbesar abad ini melalui layar televisi dan ponsel.

Ada ironi yang menyakitkan di sini: ribuan tahun setelah Simson menghancurkan Gaza kuno, seorang perdana menteri modern menghancurkan Gaza lagi dengan cara berbeda tetapi hasil yang sama — penderitaan manusia yang tak terhitung.

Sejarah yang Berulang

Kisah Gaza adalah kisah kota yang selalu menjadi korban dalam perebutan kekuasaan. Dulu oleh Simson, kini oleh Netanyahu. Dulu oleh bangsa Filistin dan Israel kuno, kini oleh Palestina dan Israel modern. Dulu dengan tangan, kini dengan rudal. Teknologi berubah, tetapi pola penderitaan tetap sama.

Gaza seakan dikutuk oleh letaknya sendiri. Terlalu strategis untuk dibiarkan hidup damai. Setiap penguasa melihat Gaza sebagai titik kontrol keamanan dan politik. Akibatnya, Gaza tidak pernah benar-benar dibiarkan menjadi kota biasa. Ia terus menjadi medan perang abadi.

Yang lebih tragis, korban terbesar dari semua babak sejarah ini bukan para penguasa, melainkan rakyat kecil. Ribuan tahun lalu, orang-orang Filistin mati tertimpa reruntuhan kuil. Hari ini, rakyat Palestina mati tertimbun reruntuhan rumah akibat bom. Satu-satunya yang tidak berubah dari masa Simson ke Netanyahu adalah tangisan anak-anak Gaza.

Penutup

Gaza adalah cermin panjang sejarah umat manusia. Ia memperlihatkan bahwa peradaban bisa berubah, teknologi bisa berkembang, kekuasaan bisa berganti — tapi nafsu untuk menghancurkan dan menguasai sering kali tetap sama. Dulu Simson disebut pahlawan Israel karena menghancurkan kuil Gaza. Kini Netanyahu dielu-elukan sebagian pihak karena “menumpas musuh.” Namun di balik semua itu, Gaza selalu hancur — dan rakyat kecil selalu menjadi korban.

Sejarah Gaza mengajarkan pelajaran pahit: kota yang terlalu strategis sering kehilangan haknya untuk damai. Tapi pada saat yang sama, Gaza juga menjadi simbol keteguhan — kota yang berkali-kali hancur namun terus berdiri kembali. Gaza telah menyaksikan Filistin tumbang, Alexander datang dan pergi, kekaisaran berganti, Inggris, Mesir, Israel, dan mungkin entitas lainnya di masa depan.

Suatu hari kelak, Netanyahu juga akan pergi sebagaimana Simson telah tiada. Tapi Gaza akan tetap di sana, membawa luka-luka sejarah yang panjang. Sejarah berulang bukan karena tempat itu dikutuk, tetapi karena manusia tak pernah belajar.