Oleh Yosua Noak Douw
Tokoh Muda Gereja di Tanah Papua
TANGGAL 25 Oktober 2025 bukan sekadar momentum dalam kalender gerejawi. Ia adalah momen sejarah dan spiritual yang mengguncang kesadaran kolektif orang Papua. Pada tanggal itu, tepat satu abad, nubuatan Domine Izaak Samuel (IS) Kijne, sang pelayan Tuhan meletakkan fondasi peradaban iman di atas batu di Aitumeri, Teluk Wondama.
Seratus tahun lalu, di tengah kesunyian lembah dan birunya Teluk Wondama, IS Kijne, misionaris Belanda, berdiri di atas batu besar dan mengucapkan kalimat yang kelak menjadi nadi kesadaran Papua. Bunyinya, “Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.” (Wasior, 25 Oktober 1925).
Kata-kata itu bukan sekadar ucapan nubuat. Ia adalah tanda lahirnya kesadaran peradaban kolektif, ketika terang Injil menyentuh tanah nun di ufuk timur negeri ini, yang selama berabad-abad hidup dalam gelap ketidaktahuan dan penjajahan. Batu itu menjadi simbol transisi: dari zaman kegelapan menuju zaman terang, dari kebisuan menuju kebangkitan iman dan pengetahuan.
Dari Batu Menjadi Dasar Peradaban
Batu yang diletakkan IS Kijne tidak hanya menjadi artefak religius, tetapi tonggak filosofis bagi peradaban Papua modern. Di atas batu itu, lahirlah sekolah, gereja, dan akhirnya bangsa Papua yang mengenal huruf, angka, etika, dan iman.
Batu itu bukan monumen mati, melainkan “batu hidup” namun simbol dari logos dan ethos peradaban baru bahwa manusia Papua dipanggil bukan untuk menjadi objek pembangunan, tetapi subjek peradaban yang memimpin dirinya sendiri.
Kini, setelah seabad berlalu frasa inspiratif IS Kijne menemukan gema dalam kenyataan. Orang asli Papua (OAP) telah hadir di semua lini kehidupan. Mulai dari gereja ke pemerintahan, dari ruang kelas ke ruang sidang DPR, dari kampung terpencil ke panggung dunia internasional.
Nama-nama seperti Elias Jan Bonai, Frans Kaisiepo, Barnabas Suebu hingga generasi muda OAP hari ini adalah saksi bahwa benih nubuatan itu telah bertumbuh lalu berujung berkat melimpah. Tetapi benih yang tumbuh harus terus disiram oleh iman dan moralitas, jika tidak, ia akan layu di tengah keserakahan zaman.
Kijne sebenarnya menanam dua pesan utama di atas batu itu. Pertama, pesan kepemimpinan dan kemandirian yang menegaskan bahwa bangsa Papua akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri, bukan karena gelar akademik atau jabatan melainkan karena iman dan kesadaran sebagai bangsa berdaulat di tanah sendiri.
Kedua, pesan moral dan spiritual yang ia sampaikan di tahun 1947 namun kerap terlupakan. Pesan dimaksud ialah “Barang siapa yang bekerja di tanah ini dengan setia, jujur dan dengar-dengaran kepada Injil, maka ia akan berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain.”
Ini adalah hukum berkat bagi siapa pun yang hidup di tanah Papua, baik orang asli Papua maupun non-orang asli Papua. Kijne tidak pernah membedakan berdasarkan ras atau asal, melainkan pada moralitas dan ketulusan hati.
Pesan ini adalah panduan, kompas etika pembangunan Papua: bahwa kemajuan bukan hasil tambang emas atau dana otonomi khusus (otsus), melainkan buah dari kerja yang jujur dan iman yang teguh. Sebaliknya, mereka yang bekerja tanpa ketulusan, yang menindas atau memanipulasi kebenaran, akan “terjebak dalam kekhawatiran dan ketertinggalan”, sebuah peringatan yang kini terasa sangat relevan.
Antara Nubuatan dan Kenyataan
Seratus tahun setelah batu itu diletakkan, Papua memang telah bangkit, tetapi masih bergulat dan bergelut untuk “memimpin dirinya sendiri” dengan martabat sejati. Secara politik, orang asli Papua telah memegang tampuk kekuasaan di banyak wilayah: dari gubernur hingga sekda, dari rektor hingga duta besar.
Namun nubuatan IS Kijne tidak berhenti pada kekuasaan administratif. Ia berbicara tentang kepemimpinan moral, tentang kemampuan untuk melayani dan bukan untuk dilayani.
Batu peradaban itu kini berbicara dengan nada lembut tapi tegas dalam frasa: “Kepemimpinan sejati bukanlah kemuliaan jabatan, melainkan tanggung jawab untuk menjaga kehidupan.”
Maka, tantangan terbesar Papua hari ini bukan lagi apakah orang asli Papua bisa memimpin, melainkan apakah mereka dapat memimpin dengan hati yang jujur, adil, dan beriman.
Tahun 2025 ini, Klasis GKI Teluk Wondama menyebut peringatan satu abad ini sebagai “Kebangkitan Penyegaran Iman”; sebuah tema yang meneguhkan sekaligus mengingatkan memori kolektif umat dan warga bahwa sejarah bukan sekadar untuk dikenang tetapi untuk dihidupi kembali dan menyata dalam keseharian.
Penyegaran iman berarti kembali ke semangat mula-mula: semangat para pelayan Injil, para guru zending, dan generasi pertama orang asli yang belajar membaca Alkitab dengan air mata sukacita. Ibadah peringatan di Wondama bukan hanya seremonial. Ia adalah mezbah, altar perjumpaan, tempat Roh Kudus diundang untuk membasuh kembali tanah dan hati Papua.
Dari sana, akan lahir generasi baru yang bekerja dengan hati yang bersih, bukan dengan niat meraup keuntungan pribadi. Dari sana pula lahir generasi yang memimpin dengan kasih, bukan dengan ego. Generasi yang membangun dengan iman, bukan dengan korupsi.
Kebangkitan penyegaran iman adalah revival dari dalam agar batu peradaban tidak sekadar menjadi batu kenangan, tetapi sumber mata air rohani yang terus mengalir bagi bangsa Papua. Seratus tahun lalu, IS Kijne memegang batu dan berbicara kepada masa depan.
Hari ini, batu itu berbicara kembali kepada kita: “apakah engkau sudah menjadi bangsa yang memimpin dirinya sendiri?” Pun “apakah engkau bekerja dengan setia dan jujur di tanah yang diberkati ini?”
Pertanyaan itu harus dijawab oleh setiap guru, pejabat, pendeta, petani, dan pemuda Papua. Karena batu itu tidak lagi di Wasior tetapi batu itu kini ada di setiap hati yang rindu kebenaran dan kemajuan.
Setiap kali kita membangun sekolah, menolong anak kampung, menjaga hutan, atau menolak korupsi, kita sedang menegakkan kembali batu peradaban itu. Setiap kali kita berbohong, malas atau berkhianat terhadap nilai-nilai Injil, kita sedang menghancurkan batu itu dengan tangan kita sendiri.
Seruan untuk Generasi Baru Papua
Seratus tahun adalah satu siklus kehidupan sebuah bangsa. Kini, generasi muda Papua harus menulis bab baru dari nubuatan Kijne; bukan di atas batu tetapi di atas hati dan karya nyata.
Kita dipanggil untuk menjadi generasi dengan setumpuk tugas berat. Pertama, beriman dan berilmu —yang menggabungkan Injil dengan pengetahuan modern. Kedua, berintegritas dan bekerja keras — yang melihat kerja bukan sekadar mencari nafkah, tetapi ibadah kepada Tuhan. Ketiga, berjiwa melayani — yang memimpin bukan untuk dihormati, tetapi untuk menyalakan cahaya bagi sesama.
Bila ketiga hal ini dihidupi, maka “tanda heran” yang dijanjikan IS Kijne akan terus terjadi. Papua akan menjadi tanah berkat, tanah damai, dan tanah yang memuliakan nama Tuhan.
Satu abad telah berlalu sejak batu itu ditanam di Aitumeri. Batu itu kini menjadi metafora takdir: bahwa peradaban Papua berdiri bukan di atas kekuasaan, melainkan di atas kasih dan kebenaran.
Nubuatan IS Kijne adalah warisan rohani yang harus dijaga bukan dengan patung atau museum, tetapi dengan kehidupan yang jujur, kerja yang setia, dan iman yang hidup. Ketika bangsa ini belajar memimpin dirinya dengan kasih dan kebenaran, maka nubuatan itu benar-benar tergenapi: “bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.”
Dan ketika setiap orang bekerja di tanah ini dengan setia dan jujur, niscaya tanah Papua akan “berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain.” Tuhan memberkati tanah Papua: dari batu peradaban hingga bumi kebangkitan.