Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
KETIKA Israel dan Hamas menandatangani perjanjian gencatan senjata di Mesir pada 9 Oktober 2025, dunia menyambutnya dengan harapan. Setelah satu tahun penuh ledakan bom, blokade berkepanjangan, dan penderitaan yang tak tertanggungkan oleh rakyat sipil, kesepakatan ini dipandang sebagai momentum penting untuk menghentikan lingkaran kekerasan yang seolah tiada akhir. Banyak kalangan menilai, jika perjanjian ini dijalankan dengan komitmen dan kepercayaan, maka ia dapat membuka jalan bagi proses rekonstruksi Gaza, pengurangan ketegangan regional, dan kemungkinan perundingan politik jangka panjang yang lebih stabil.
Namun, kenyataan dengan cepat menguji kesepakatan ini. Hanya dalam hitungan hari, pelanggaran demi pelanggaran mulai bermunculan. Tuduhan saling serang dan saling langgar kesepakatan menggema di berbagai kanal informasi. Kepercayaan yang seharusnya tumbuh justru menguap. Fondasi perdamaian yang rapuh retak oleh tekanan politik, kepentingan militer, dan luka sejarah yang panjang. Gencatan senjata ini bagaikan kaca tipis—indah dari kejauhan, tetapi siap pecah bila terguncang sedikit saja.
Pelanggaran, Zonasi, dan Runtuhnya Kepercayaan
Awal keretakan perjanjian terjadi pada 19 Oktober 2025. Israel menuduh Hamas melancarkan serangan terhadap pasukan IDF di perbatasan yang menewaskan dua prajurit. Sebagai balasan, Israel melancarkan serangan udara besar-besaran yang menewaskan sedikitnya 26 orang di Gaza. Hamas membantah bertanggung jawab atas serangan itu, tetapi Israel menganggapnya sebagai pelanggaran serius terhadap gencatan senjata. Dalam situasi yang tegang dan penuh kecurigaan, satu insiden kecil saja dapat memicu rentetan peristiwa yang jauh lebih besar.
Sejak saat itu, kedua pihak terus saling menuding. Otoritas Gaza menyebut Israel telah melanggar kesepakatan puluhan kali, mulai dari serangan terbatas, penembakan di zona demarkasi, hingga pembatasan bantuan kemanusiaan. Israel menuding Hamas melakukan serangan sporadis dan mengabaikan mekanisme pengawasan bersama. Tuduhan ini membentuk lingkaran saling curiga yang semakin memperlebar jurang ketidakpercayaan. Dalam konflik seperti ini, persepsi seringkali lebih kuat daripada fakta. Masing-masing pihak meyakini kebenarannya sendiri, dan setiap peristiwa dianggap sebagai pembenaran untuk membalas.
Masalah zonasi semakin memperkeruh keadaan. Dalam perjanjian, zona keamanan dimaksudkan untuk menciptakan garis damai yang jelas. Namun, Israel tetap mempertahankan kendali militer atas lebih dari separuh wilayah Gaza. Zona merah dan zona kuning ditetapkan secara sepihak tanpa koordinasi, sehingga banyak warga tidak tahu batas aman. Beberapa warga sipil bahkan tertembak ketika melintas tanpa sengaja. Bagi Israel, kebijakan ini penting untuk menjaga keamanan perbatasan. Bagi Hamas, ini bentuk pendudukan terselubung. Ketegangan di lapangan pun meningkat, memperkuat keyakinan kedua pihak bahwa lawan tidak benar-benar menghormati kesepakatan.
Pelucutan Senjata dan Ketimpangan Politik
Isu pelucutan senjata (disarmament) menjadi sumber ketegangan berikutnya. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa pelucutan senjata Hamas adalah syarat mutlak bagi perdamaian jangka panjang. Dalam pandangan Israel, selama Hamas masih memiliki kemampuan bersenjata, ancaman terhadap keamanan nasional akan selalu ada. Maka, kesepakatan damai dianggap hanya masuk akal jika Hamas dilucuti sepenuhnya dari kemampuan militernya.
Bagi Hamas, tuntutan itu tak ubahnya perintah untuk menyerah. Senjata bukan hanya alat perang, tetapi simbol perlawanan terhadap pendudukan dan ketimpangan kekuasaan. Pelucutan senjata bagi mereka berarti kehilangan identitas politik dan daya tawar di meja perundingan. Ketimpangan kekuatan memperkuat persepsi bahwa kesepakatan ini tidak dibangun atas dasar kesetaraan, melainkan tekanan sepihak dari pihak yang lebih kuat.
Israel datang sebagai negara kuat dengan dukungan internasional luas. Hamas datang sebagai kelompok bersenjata dengan wilayah kecil dan sumber daya terbatas. Dalam situasi timpang seperti ini, sulit mengharapkan kepercayaan tumbuh dengan sehat. Bagi Israel, menolak pelucutan senjata berarti ancaman keamanan. Bagi Hamas, menerimanya berarti kehilangan eksistensi. Ketegangan ini tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi menyentuh jantung persoalan politik yang telah menahun.
Sandera dan Bantuan: Ujian di Lapangan
Pertukaran sandera dan tahanan menjadi ujian nyata bagi keseriusan kedua belah pihak. Israel menuntut pembebasan seluruh sandera yang ditahan Hamas, termasuk warga sipil dan tentara. Sebaliknya, Hamas meminta pembebasan ribuan tahanan Palestina dari penjara Israel, termasuk tokoh politik berpengaruh. Kedua pihak memandang proses ini sebagai titik krusial: kegagalan di tahap ini berarti seluruh perjanjian berisiko runtuh.
Namun, prosesnya berjalan lambat dan diwarnai saling tuduh. Israel menuduh Hamas menahan sebagian sandera sebagai alat tawar untuk mendapat konsesi lebih besar. Hamas menuduh Israel tidak mematuhi jadwal pembebasan tahanan sebagaimana dijanjikan. Setiap keterlambatan dianggap sebagai bentuk pengkhianatan, bukan hambatan teknis. Kepercayaan yang sudah rapuh menjadi semakin tipis.
Hal serupa terjadi dalam penyaluran humanitarian surge. Setelah insiden 19 Oktober, Israel sempat menghentikan aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza. Bantuan baru dilanjutkan setelah tekanan kuat dari Amerika Serikat, tetapi distribusinya tetap tidak stabil. Banyak wilayah Gaza yang terisolasi masih kesulitan memperoleh air bersih, makanan, dan pasokan medis. Rumah sakit hanya beroperasi sebagian. Padahal, bantuan kemanusiaan seharusnya menjadi bukti nyata manfaat gencatan bagi masyarakat. Jika manfaat itu tidak dirasakan, dukungan terhadap perjanjian akan menghilang.
Luka Sejarah dan Tekanan Internasional
Gencatan senjata ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia berdiri di atas sejarah panjang konflik Israel–Palestina yang diwarnai trauma kolektif. Hamas tidak mempercayai Israel karena pengalaman panjang blokade dan agresi militer. Israel tidak mempercayai Hamas karena pengalaman serangan roket dan aksi perlawanan bersenjata. Dalam situasi seperti ini, setiap pelanggaran kecil dianggap sebagai pengkhianatan besar.
Luka sejarah ini membuat gencatan senjata menjadi sangat rapuh. Sebuah perjanjian damai bukan hanya persoalan keamanan, tetapi juga persoalan psikologis dan memori kolektif. Satu tembakan saja dapat menghidupkan kembali kenangan pahit puluhan tahun. Itulah sebabnya, upaya membangun kepercayaan jauh lebih berat daripada menandatangani perjanjian itu sendiri.
Tekanan internasional menjadi salah satu faktor yang membuat perjanjian ini lahir. Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar menjadi mediator utama. Presiden AS Donald Trump bahkan memperingatkan Hamas dengan kalimat keras: “Be good or be eradicated.” Mesir berperan sebagai penjamin kesepakatan, sementara Qatar menyediakan dukungan logistik. Namun, begitu kesepakatan dijalankan, mediator internasional kehilangan daya paksa. Mereka hanya bisa memberi tekanan politik, bukan tindakan konkret untuk menegakkan kepatuhan. Ketika Israel dan Hamas tetap pada posisi keras masing-masing, tekanan itu tak lebih dari gema yang tak menggoyahkan.
Arah Masa Depan: Perang Ulang atau Damai Semu
Situasi ini kini bergerak ke dua kemungkinan besar. Pertama, gencatan senjata runtuh dan perang kembali meletus. Jika pelanggaran terus meningkat, Israel hampir pasti melancarkan ofensif militer besar, dan Hamas akan merespons dengan serangan roket serta taktik gerilya. Dalam skenario ini, Gaza akan kembali menjadi medan tempur, dan warga sipil akan menjadi korban paling berat. Perjanjian ini akan tercatat sebagai kegagalan diplomasi internasional.
Kedua, perjanjian tetap berjalan secara formal tetapi tanpa implementasi nyata. Bantuan kemanusiaan tetap tersendat, pertukaran sandera berjalan lambat, dan pelanggaran kecil terus terjadi tanpa sanksi. Ini menciptakan damai semu—perdamaian di atas kertas yang rapuh. Dalam keadaan seperti ini, satu ledakan besar cukup untuk menghancurkan semua struktur kesepakatan yang tersisa.
Kedua skenario ini sama-sama tidak ideal. Namun sejarah panjang konflik ini menunjukkan bahwa tanpa langkah tegas, skenario pertama seringkali lebih mendekati kenyataan.
Langkah Menyelamatkan Perdamaian
Meski rapuh, gencatan ini belum sepenuhnya hilang harapan. Ada beberapa langkah penting yang dapat menjadi penopang keberlanjutan kesepakatan. Pertama, mekanisme pemantauan independen harus diperkuat. Pelanggaran perlu dicatat secara transparan agar tidak mudah dipelintir oleh propaganda kedua belah pihak. Kejelasan data akan membantu mediator menekan pihak yang melanggar.
Kedua, proses pertukaran sandera dan bantuan kemanusiaan harus diprioritaskan tanpa syarat politik yang rumit. Jika masyarakat merasakan manfaat nyata dari gencatan, dukungan terhadap perdamaian akan menguat. Ketiga, zonasi keamanan dan isu pelucutan senjata harus dinegosiasikan ulang secara terbuka, bukan dipaksakan sepihak. Ketegasan yang salah arah justru akan mempercepat keruntuhan kesepakatan.
Keempat, mediator internasional perlu bersikap lebih aktif. Tekanan diplomatik harus disertai mekanisme tanggapan cepat jika terjadi pelanggaran serius. Pernyataan saja tidak cukup. Dibutuhkan tindakan konkret yang dapat memberi efek jera pada pelanggar kesepakatan.
Penutup
Gencatan senjata antara Israel dan Hamas bukan perjanjian damai yang kokoh. Ia lahir dari kelelahan perang dan tekanan luar, bukan dari saling percaya. Karena itu, ia begitu mudah retak. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam hitungan minggu telah cukup untuk menunjukkan betapa tipisnya lapisan perdamaian ini. Jika tidak ada langkah nyata, perang hampir pasti akan kembali menyala dan rakyat sipil kembali menjadi korban utama.
Namun rapuh bukan berarti mustahil. Jika ada kemauan politik, dukungan internasional yang konsisten, dan keberanian kedua belah pihak untuk menahan diri, perdamaian ini masih dapat dipertahankan. Kunci keberhasilan bukan pada jumlah pasal perjanjian, melainkan pada kesediaan untuk menghentikan lingkaran kekerasan. Jika hal ini gagal diwujudkan, maka perjanjian ini hanya akan menjadi catatan singkat dalam sejarah panjang konflik Israel–Palestina—sebuah sejarah yang lebih banyak ditulis dengan darah daripada tinta perdamaian.









