Oleh: Yakobus Dumupa
(Mantan Anggota Majelis Rakyat Papua dan Mantan Bupati Dogiyai)
Pendahuluan
Pemangkasan anggaran negara sering kali menjadi langkah yang diambil pemerintah dalam rangka efisiensi keuangan. Namun, pemangkasan yang dilakukan secara tidak tepat dapat berdampak signifikan terhadap daerah yang sangat bergantung pada anggaran tertentu. Salah satu keputusan terbaru yang menimbulkan polemik adalah pemotongan Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Keputusan ini memunculkan pertanyaan serius terkait kesesuaiannya dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 yang mengatur besaran dana Otsus untuk seluruh provinsi di Tanah Papua.
Pemotongan dana ini bukan hanya masalah kebijakan fiskal, tetapi juga mencerminkan bagaimana pemerintah memperlakukan komitmen terhadap keadilan dan pembangunan daerah tertinggal. Papua telah lama mengalami ketimpangan ekonomi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, dan pemangkasan dana Otsus berpotensi memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya. Selain itu, Papua merupakan wilayah yang memiliki sejarah panjang dengan isu ketidakadilan dan marginalisasi. Oleh karena itu, keputusan ini perlu dikaji lebih dalam dari berbagai aspek, baik dari sisi hukum, sosial, ekonomi, maupun dampaknya bagi stabilitas nasional.
Dana Otsus dalam UU No. 2 Tahun 2021
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 menetapkan bahwa Dana Otsus Papua dialokasikan sebesar 2,25% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. Alokasi ini terdiri dari 1% untuk penerimaan bersifat umum dan 1,25% untuk penerimaan yang penggunaannya telah ditentukan berbasis kinerja pelaksanaan. Dengan ketentuan ini, seharusnya dana Otsus tetap dipertahankan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dana Otsus memiliki peran vital dalam mendukung pembangunan di Tanah Papua, yang kini terdiri dari enam provinsi, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya. Dana ini digunakan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan akses pendidikan, dan memperbaiki layanan kesehatan bagi masyarakat setempat. Pemotongan tanpa perencanaan yang jelas dapat menghambat program-program pembangunan yang telah dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, serta memperbesar kesenjangan antara Papua dan daerah lainnya di Indonesia.
Selain itu, UU No. 2 Tahun 2021 juga menegaskan bahwa dana Otsus bersifat khusus dan tidak boleh dialihkan untuk keperluan lain tanpa mekanisme yang sah. Oleh karena itu, pemangkasan ini seharusnya melalui kajian mendalam dan dialog dengan pemerintah daerah serta masyarakat Papua sebelum keputusan final diambil.
Kebijakan Pemotongan Anggaran oleh Pemerintah
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29 Tahun 2025 tentang Penyesuaian Rincian Alokasi TKD menurut Provinsi/Kabupaten/Kota TA 2025 dalam Rangka Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD TA 2025 menjadi dasar kebijakan pemangkasan anggaran di berbagai daerah, termasuk di Tanah Papua. Kebijakan ini didasarkan pada upaya pemerintah dalam menyesuaikan keuangan negara dengan target efisiensi belanja, namun berdampak pada pengurangan Dana Otsus bagi enam provinsi di Papua. Dalam upaya efisiensi anggaran tahun 2025, pemerintah mengumumkan pemangkasan anggaran Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun. Pemotongan ini berdampak luas pada Dana Otsus di enam provinsi di Tanah Papua.
Meskipun belum terdapat data lengkap mengenai jumlah pemotongan secara spesifik untuk setiap provinsi, informasi yang tersedia menunjukkan bahwa dana Otsus mengalami pengurangan yang cukup signifikan. Pemotongan ini berdampak pada berbagai sektor, termasuk pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, dan program pendidikan yang kini berada dalam ketidakpastian akibat kebijakan tersebut.
Secara umum, pengurangan Dana Otsus di enam provinsi di Tanah Papua akan menyebabkan keterbatasan dalam alokasi anggaran daerah untuk program-program kesejahteraan rakyat. Pemerintah daerah kini menghadapi tantangan besar dalam menyesuaikan kebijakan fiskalnya dengan kondisi pengurangan anggaran ini. Pemotongan dana tanpa kajian mendalam juga dapat memperlemah daya saing daerah dan memperlambat pembangunan ekonomi lokal, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi.
Implikasi Hukum dan Sosial
Kebijakan pemangkasan Dana Otsus Papua menimbulkan pertanyaan mengenai legalitasnya dalam konteks UU No. 2 Tahun 2021. Jika pemotongan ini mengurangi alokasi dana yang seharusnya diterima sesuai ketentuan undang-undang, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut melanggar aturan hukum yang berlaku.
Dampak sosial dari kebijakan ini juga tidak bisa diabaikan. Dana Otsus telah lama menjadi instrumen utama dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Pemotongan anggaran berisiko memperlambat pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan di Tanah Papua, yang pada akhirnya akan memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi di wilayah tersebut.
Di sisi lain, pemangkasan dana ini juga dapat menimbulkan gejolak sosial di Papua. Masyarakat Papua yang sudah lama merasa terpinggirkan bisa semakin kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah pusat. Hal ini dapat meningkatkan ketidakpuasan yang berujung pada protes atau bahkan potensi instabilitas keamanan di wilayah tersebut. Situasi ini berisiko memicu ketidakstabilan politik, memperburuk konflik sosial yang sudah ada, serta memperbesar kesenjangan antara Papua dan pemerintah pusat.
Prabowo Melanggar Undang-Undang
Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2021, alokasi dana Otsus telah ditetapkan sebagai hak daerah Papua dan tidak dapat dikurangi atau dipotong tanpa landasan hukum yang sah. Keputusan Presiden Prabowo Subianto dalam melakukan pemangkasan anggaran yang berdampak pada dana Otsus dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan undang-undang.
Pemotongan dana ini tidak hanya menimbulkan masalah hukum, tetapi juga berpotensi menciptakan ketidakstabilan di Tanah Papua. Masyarakat Papua telah lama menggantungkan pembangunan dan kesejahteraan mereka pada dana Otsus. Dengan adanya pemotongan ini, kepercayaan terhadap pemerintah pusat dapat menurun, dan potensi ketegangan sosial di wilayah tersebut bisa meningkat.
Selain itu, tindakan ini dapat membuka peluang bagi pihak-pihak yang ingin mengajukan gugatan hukum terhadap pemerintah. Jika pemangkasan dana ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat, maka Presiden Prabowo Subianto dan kabinetnya dapat menghadapi tuntutan konstitusional dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah Papua, aktivis hak asasi manusia, dan masyarakat sipil.
Kesimpulan
Keputusan pemotongan Dana Otsus Papua dalam rangka efisiensi anggaran menimbulkan kontroversi yang serius. Selain menimbulkan persoalan hukum terkait pelanggaran terhadap UU No. 2 Tahun 2021, kebijakan ini juga berpotensi menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di enam provinsi di Tanah Papua. Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ini dan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku serta memperhatikan dampaknya bagi masyarakat yang bergantung pada dana tersebut.
Sebagai bagian dari komitmen membangun Indonesia yang lebih adil dan sejahtera, pemerintah harus lebih transparan dan akuntabel dalam mengambil keputusan terkait anggaran. Komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan efisiensi anggaran tidak merugikan hak-hak masyarakat Papua yang telah dijamin dalam undang-undang. Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan alternatif kebijakan yang lebih berkelanjutan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial di Tanah Papua.