OPINI  

Politik Itu Seni Kemungkinan

Yakobus Dumupa, SIP, MIP, alumni Program Magister (S-2) Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ Yogyakarta

Oleh Yakobus Dumupa

Alumni Program Magister Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ Yogyakarta

POLITIK itu seni kemungkinan. Itu kata Pak Sutoro Eko, guru saya di STPMD Yogyakarta. Orang-orang yang berpolitik itu mengupayakan kemungkinan bagi gagasan politik mereka. Kalau gagasan itu levelnya pada pengetahuan atau pemikiran, kerja-kerja politik adalah upaya memberi ‘kaki’ agar gagasan itu bergerak.

Atau lebih dari itu, kerja politik adalah mendesak agar gagasan itu terwujud. Artinya, juga membuat gagasan itu memiliki dasar yang kokoh —salah satu nya konstitusional— dan berpijak pada kenyataan sekarang, serta imajinasi tentang masa depan.

Pada dasarnya, gagasan politik itu bertumbuh dari bawah. Sebagian pemikir politik percaya bahwa politik lahir dari brutalitas, kekacauan, kebiadaban, ketidakmanusiawian, dan sederet negativitas lain.

Kondisi asali itu tidak menjamin keberlangsungan hidup masyarakat karena masing-masing individu terancam. Karena merasa ‘yang lain’ adalah ancaman atau sumber kebinasaan, masing-masing individu bertekad melenyapkan sesamanya.

Luhur dan mulia

Politik mengandung kehendak yang luhur dan mulia. Yang pertama adalah daya untuk memperkecil kemungkinan kehancuran. Yang kedua adalah kekuatan untuk melestarikan kehidupan.

Ketiga adalah semangat untuk membuat kehidupan makin luhur. Secara utopis, kehidupan di dunia ditata sedemikian hingga menyerupai kehidupan yang paling mulia.

Dalam tatanan kehidupan masyarakat yang luhur ini tidak ada yang ditolak kemanusiaannya. Semua menikmati martabat kemanusiaannya. Tidak ada yang kelaparan. Tidak ada yang mati sia-sia, mati karena penindasan, atau mati karena disiksa.

Politik menjadi jalan untuk melenyapkan negativitas dari hidup bersama. Ia mengupayakan kemungkinan tatanan hidup bersama yang bisa menghilangan ancaman-ancaman. Politik mencarikan jalan agar ‘serigala-serigala buas’ dipaksa menjadi ‘malaikat-malaikat suci’.

Ini adalah perumpaan transformasi dari individu menjadi warga negara. Dari kesadaran eksistensi individual berkembang menjadi kesadaran eksistensi social. Dari kehendak mewujudkan kepentingan atau keselamatan diri sendiri, yaitu tidak binasa karena yang lain, berubah menjadi kepentingan untuk dapat hidup secara bersama-sama.

Apakah perubahan dari individu yang peduli dengan kepentingan sendiri menjadi warga masyarakat yang peka dan merasa bertanggung jawab atas nasib orang lain suatu proses yang alamiah? Tidak. Itu bukan hal yang terjadi dengan sendirinya.

Masyarakat terbentuk dalam sebuah proses sosial-politik dalam bentangan sejarah yang panjang. Tatanan masyarakat dibentuk. Bukan begitu saja terjadi. Mungkin di dalamnya ada konflik yang berdarah-darah, negosiasi yang alot, atau proses serupa yang lain untuk mencapai tahap tertentu. Untuk seterusnya, perkembangan-perkembangan baru dalam masyarakat modern masih terus diusahakan.

Kenyataannya, sepanjang sejarah kehidupan bersama terus bermasalah. Tatanan sosial manusia masih terus diwarnai ketidakadilan. Penyangkalan hak-hak manusia masih terjadi. Diskriminasi masih terjadi. Sebagian individu menguasai lebih banyak sumber daya daripada sebagian yang lain.

Artinya, tatanan kehidupan yang lebih adil, lebih baik, lebih menghargai kehidupan masih harus diciptakan. Tidak ada kepastian bahwa tatanan itu langsung terwujud. Tapi juga, kemungkinan bahwa sistem baru itu gagal terwujud pun masih terbuka.

Politik menemukan tempatnya di sana. Ia menjadi seni untuk menghadirkan tata kehidupan bersama yang lebih bermartabat.