Oleh Latifah Anum Siregar
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua
KONFLIK bersenjata yang terjadi antara TNI-Polri dan TPNPB telah mengakibatkan meluasnya korban dari masyarakat sipil. Mereka mengalami penyiksaan (torture) dan pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing). Sebagaimana yang kembali terjadi di tahun 2025 ini, meski baru menginjak bulan keempat masyarakat sipil kembali menjadi korban dengan cara yang sangat mengenaskan.
Bagi korban yang selamat termasuk keluarga yang ditinggalkan menyimpan trauma yang mendalam. Mereka juga kehilangan tempat tinggal dan hidup dalam ketakutan sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Yahukimo, Intan Jaya, Pegunungan Bintang dan sejumlah tempat lainnya.
Pada 23 Maret 2025 TPNPB diduga menyerang guru dan tenaga kesehatan yang bertugas di Distrik Anggruk, Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan. Seorang guru bernama Rosalia Rerek Sogen meninggal dunia, dan enam orang lainnya terluka yaitu Dionisia Taroci More (guru), Vantiana Kambu (guru), Paskalia Peni Tere Liman (guru), Fidelis De Lena (guru), Kosmas Paga (guru), dan Irawati Nebobohan (tenaga kesehatan).
Pada tanggal 6-7 April 2025 di areal pendulangan lokasi 22 dan Muara Kum, Yahukimo, setidaknya ada 11 pekerja tambang mengalami pembunuhan di luar hukum, diduga dilakukan oleh TPNPB.
Sebelumnya pada 27 Maret 2025-3 April 2025, TNI diduga melakukan operasi skala besar dengan menggunakan helikopter dan drone, menebarkan teror dan mengorbankan masyarakat sipil di Sugapa, Hitadipa, Intan Jaya dan sekitarnya. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, ribuan orang mengungsi mencari perlindungan dari ancaman kematian (jubi.id, 24 Maret 2025).
Klaim sebagai mata-mata atau bagian aparat militer terhadap masyarakat sipil yang dibunuh akibat konflik bersenjata seringkali dilakukan oleh pihak TNI-Polri dan TPNPB OPM. Klaim ini cenderung digunakan berdasarkan stigma tanpa dapat diverifikasi, kemudian dibiarkan berkembang liar di sosial media.
Pengguna sosial media digiring untuk memihak melalui perang informasi. Fakta yang ada diabaikan, persepsilah yang dikembangkan hingga menjadi kebenaran versi masing-masing. Seolah klaim cukup selesai pada saat peristiwa. Padahal, banyak peristiwa yang belum terkuak sepenuhnya, kecuali untuk kepentingan klaim itu sendiri. Kemudian kita sudah dihadapkan pada peristiwa berikutnya.
Sepatutnya, siapapun yang melakukan klaim terhadap seseorang haruslah dapat dibuktikan untuk menghentikan stigma yang menyesatkan bukan hanya terhadap korban dan keluarga yang ditinggalkan, terlebih lagi, untuk pertanggungjawaban penegakan HAM yang sesungguhnya.
Argumentasi ‘salah tembak’ atau ‘peluru nyasar’ terhadap masyarakat sipil seolah beralih ke ‘benar-benar’ menjadi target atau sasaran sebagai bentuk balas dendam atas satu peristiwa dan saling ancam antara TNI-Polri dan TPNPB.
Juga seolah untuk adu kekuatan, rivalitas dan validitas. Apalagi ketika ruang perang di antara para pihak (TNI-Polri dan TPNPB) berada di ruang publik, tempat di mana masyarakat sipil hidup dan beraktivitas sehari-hari.
Padahal di tempat-tempat terpencil seperti itu pada situasi yang tanpa perang sekalipun, masyarakat sipil merupakan bagian dari kelompok yang tidak berdaya karena keterbatasan akses dan fasilitas untuk pemenuhan hak-hak dasar. Faktanya, masyarakat sipil cuma ada dalam statistik, dihitung saat hidup atau saat dibunuh. Selebihnya tidak berarti apa-apa di wilayah konflik bersenjata.
Rangkaian tragedi kemanusiaan yang ada telah mengoyak-ngoyak akal sehat dan hati nurani kita sebab hak hidup masyarakat sipil haruslah dihormati, dijaga dan dilindungi oleh para pihak yang berkonflik. Mereka harus diperlakukan setara tanpa perbedaan etnis, agama atau kepentingan politik apapun.
Maka konflik bersenjata yang mengorbankan masyarakat sipil merupakan kejahatan HAM yang sangat serius siapapun pelakunya apakah atas nama negara ataukah atas nama kelompok tertentu.
Disadari bahwa pembangunan yang cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan ‘top down’ disertai pendekatan keamanan yang terus diperbaharui menjadi lebih masif dan multi fungsi makin meminggirkan demokrasi dan otoritas.
Sementara para elit pemerintahan lainnya di berbagai tingkatan (kabupaten, provinsi dan pusat) masih terjebak pada pilkada dan efeknya, bersikap pasif bahkan mengabaikan kapasitas atau sumber daya lainnya yang dimiliki. Apalagi ketika di antara masyarakat sipil masih berkembang perspektif HAM yang berbeda sehingga menghambat upaya pencapaian penghormatan hak asasi setiap orang.
Agenda urgen
Karena itu, ada sejumlah agenda penting dan urgen yang segera dilakukan. Pertama, para pihak yang menggunakan kekuatan bersenjata yakni TNI-Polri dan TPNPB menghentikan aksi kekerasan dan konflik bersenjata karena telah menargetkan dan mengorbankan masyarakat sipil dimanapun berada dengan berbagai latar belakang ataupun profesi lainnya yakni ketika masyarakat sipil diklaim dengan stigma tertentu tanpa dapat diverifikasi.
Kedua, aparat keamanan dan aparat penegak hukum yang melakukan pengejaran dan penegakan hukum terhadap pelaku, mengedepankan sikap yang profesional dan terukur agar tidak menyebabkan masyarakat sipil makin terdesak, distigma atau menjadi korban berikutnya.
Ketiga, pemerintah memberikan perlindungan terhadap masyarakat sipil secara khusus kepada tokoh agama, masyarakat sipil lainnya seperti para guru, tenaga medis dan beragam profesi lainnya terutama yang menjadi ujung tombak dari pelayanan hak-hak dasar masyarakat di daerah-daerah terpencil.
Sejalan dengan itu, pemerintahan sipil di provinsi terutama di kabupaten hadir, menjalankan tugas dan tanggung jawabnya serta mengambil inisiatif dengan melibatkan para tokoh masyarakat guna pemenuhan hak korban, termasuk penanganan terhadap pengungsi sesuai kebutuhannya.
Keempat, dilakukan investigasi independen yang melibatkan pemerintah (Komnas HAM) dan masyarakat secara proporsional dan imparsial guna mengungkapkan fakta yang sebenarnya terkait peristiwa 6-7 April 2025 di Yahukimo, 23 Maret 2025 di Anggruk, Yahukimo, 27 Maret 2025-3 April 2025 di Sugapa dan Hitadipa, Intan Jaya dan tempat lainnya di tanah Papua, meminta pertanggungjawaban pelaku dan pemenuhan keadilan bagi para korban.
Kelima, pemerintah menghentikan kebijakan yang diskriminatif, sentralisasi dan militerisasi dengan membuka ruang dialog yang inklusif dan setara untuk menyelesaikan akar masalah di Papua.
Keenam, konsolidasi masyarakat sipil yang diprakarsai oleh tokoh agama dan tokoh adat untuk mendapatkan lebih banyak informasi yang terverifikasi serta memperbanyak inisiatif dan ruang klarifikasi termasuk pada ruang sosial media untuk menghindari disorientasi informasi dan memperkuat solidaritas perjuangan HAM untuk semua orang.