OPINI  

Pendidikan Itu Humanisasi

Kasdin Sihotang, Dosen Filsafat Moral di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Foto: Istimewa

Oleh Kasdin Sihotang

Dosen Filsafat Moral di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

BELAKANGAN terjadi sejumlah peristiwa memilukan dalam dunia pendidikan. Peristiwa yang pertama terjadi di Lampung. Seorang Kepala SMP Negeri 1 Kota Prabumulih Palembang, bernama Roni Ardiansyah, dipecat karena diduga menegur anak pejabat yang membawa mobil ke sekolah, meskipun pencopotan itu kemudian dibatalkan setelah kasusnya menjadi viral.

Peristiwa lain adalah adanya seorang murid menantang guru ketika ia ditegur untuk memperbaiki kancing bajunya. Siswa tersebut merasa tidak terima teguran guru itu lalu menantang sang guru, bahkan mengajaknya untuk berkelahi sambil membuka baju dan membusungkan dadanya.

Selanjutnya kasus pilu pendidikan di tempat lain terjadi di Banten. Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten menegor siswa yang merokok dengan tamparan, lalu orang tuanya tidak terima teguran itu kemudian mengadukan guru itu ke Polisi. Dan anehnya, polisi segera memproses pengaduan orang tua murid tersebut.

Bahkan gubernur Banten Andra Soni turut buka suara soal kasus kepala sekolah yang menampar siswa karena merokok di lingkungan sekolah itu. Gubernur bernama Andra Soni itu bahkan menginformasikan kepada media bahwa proses penonaktifan sedang dilakukan. Peristiwa lainnya adalah terjadinya bunuh diri seorang mahasiswa di Bali karena tidak tahan dibully oleh teman-temannya. Kematiannya bahkan menjadi olok-olokan sejumlah mahasiswa di media sosial. Ragam peristiwa tersebut adalah sebagian kecil dari litani pilu yang menyelimuti dunia pendidikan belakangan ini.

Hilangnya Esensi Pendidikan

Pertanyaan reflektif kita, semua peristiwa tersebut di atas pertanda apa? Satu hal yang jelas bahwa makna pendidikan semakin menghilang dari pandangan masyarakat, termasuk dari alam pikiran peserta didik dan orang tua. Peserta didik tidak menyadari dirinya adalah sebagai pribadi yang berada dalam proses pembentukan. Sebaliknya, ia seolah-olah menyadari diri sebagai orang yang sudah jadi, yang tidak perlu kehadiran pihak lain dalam proses pembentukan dirinya.

Hal yang sama tercermin dalam benak para orang tua yang bertindak legal dan agitatif terhadap guru yang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara baik dalam proses pembentukan jati diri anaknya. Bagi orang seperti ini seolah-olah pendidikan hanyalah terkait dengan materi, namun tidak lagi dilihat sebagai sebuah proses mempercayakan dan memberi ruang bagi tanggung jawab pendidik. Konkretnya, cara pandang orang tua terhadap pendidikan lebih cenderung terkontaminasi sistem pasar, “do ut des”, artinya saya memberi, supaya engkau memberi” dalam arti orang tua sudah membayar, lalu maunya berbaik-baik sajalah sama anaknya, dan kebaikan itu dilakukan dengan cara apapun, termasuk mematikan nurani bertanggung jawab dari guru. Jelas semua cara pandang ini adalah antitesis dari esensi pendidikan itu sendiri.

Jika dirunut dari Bahasa Latin, ada dua kata kerja yang bermakna kata pendidikan, yakni “educare”, dan “educere”.  Kata “educare”, yang diturunkan dalam Bahasa Inggris dengan kata “education”, berarti “mempertumbuhkan”, “memelihara”, “membesarkan” dan “mendidik”. Sedangkan kata “educere” berarti “mencabut”, “menuntun keluar”, “mengantarkan ke luar”. Kedua kata tersebut sesungguhnya memiliki makna yang sama sekaligus memuat makna hakiki pendidikan.

Dari pengertian kata “educare” tergambar jelas bahwa pendidikan merupakan momen di mana terjadi proses pembentukan diri seseorang ke arah yang baik. Artinya, pendidikan bermakna positif bagi sang anak. Karena itu pula tidak mungkin seorang pendidik berniat buruk terhadap anak-anak yang dipercayakan kepadanya. Justru karena ia merasa bertanggung jawab atas masa depan anak, ia menghadirkan makna pendidikan sebagai sebuah proses pembentukan kepribadian dalam ragam cara. Ketika anak-anak didiknya tidak diingatkan atau ditegur di kala mereka melakukan kesalahan, justru guru sebagai pendidik tidak menunjukkan tanggung jawabnya.

Karena itu, adalah hal yang sangat memprihatinkan ketika orang tua menyangkal bahkan menolak guru-guru melakukan tugas dan menunjukkan tanggung jawabnya sebagai pendidik. Pertanyaan retoris sederhana, jika orang tua tidak setuju dengan pendidikan demikian, untuk apa dia mendaftarkan anaknya ke sekolah? Sejauh arahnya memang baik dan tujuan didikan sang guru adalah demi penyempurnaan diri anak itu sendiri, orang tua sepantasnya berterima kasih kepada sang guru, bukan justru sebaliknya.

Dari pengertian kata “educere” makna pendidikan adalah membawa anak keluar dari situasi keterkungkungan kemiskinan pengetahuannya, dan menempatkannya pada satu tempat yang penuh dengan cahaya kehidupan. Orang Latin menyebutnya dengan adagium “non scholae sed vitae discimus”, artinya orang mengenyam pendidikan bukan untuk mendapatkan skor atau angka belaka, tetapi ia justru mendapatkan bekal bagi kehidupan kelak.

Adagium Latin di atas persis sejalan dengan makna alegori gua Plato. Plato menggambarkan bahwa situasi anak muda itu bagaikan suasana gua yang disinari hanya secercah cahaya melalui lobang kecil. Orang yang di dalamnya merasakan bahwa cahaya itu sudah segala-galanya, padahal itu hanyalah sebagian kecil dari cahaya yang sebenarnya.

Melalui alegori gua ini Plato ingin memperlihatkan bahwa orang yang berada dalam situasi gelap membutuhkan orang lain untuk mengeluarkannya dari situasi demikian agar terbuka matanya, luas wawasannya dan terbuka pula pikirannya akan suatu dunia yang penuh dengan ragam isi dan bentuk kehidupan. Guru adalah orang yang membawa anak didik keluar dari gua gelap yang hanya disinari oleh cahaya kecil. Kehadiran pendidik justru membuka cakrawalanya, dan membekalinya dengan percikan sinar-sinar kehidupan.

Jadi, dari dua kata Latin “educare” dan “educere” tergambar makna yang jelas bahwa pendidikan bukan sebagai ide belaka, sebuah rancangan yang tersusun dalam pikiran, cita-cita yang terletak di sini ataupun di sana tanpa adanya perubahan. Pendidikan justru merupakan realitas terbuka, dinamis, atau katakanlah sebagai aktivitas yang membawa perubahan dalam diri anak didik. Pendidikan adalah suatu pengembangan dan perkembangan yang aktif. Di dalam kegiatannya fenomena perlu dicermati. Yang dimaksud fenomena adalah tampak di hadapan manusia; di hadapan budi, tubuh, jiwa atau katakanlah di hadapan persona.

Pendidikan sebagai Pemanusiaan Manusia Muda

Tidak bisa dimungkiri bahwa subjek pendidikan adalah manusia muda. Karena itulah Driyarkara sangat tepat ketika menyatakan pendidikan sebagai pemanusiaan manusia muda. Yang dimaksudkan Driyarkara tentunya tidak mendiskriminasi dari sisi umur. Manusia muda adalah manusia yang belum memiliki integrasi, dalam artian manusia yang belum mencapai tarap keutuhannya. Anak muda adalah mereka yang berada dalam proses pembentukan diri, menuju suatu situasi atau tingkat dalam hal mana nantinya mereka juga akan menurunkan hal yang sama kepada generasi berikutnya. Karena itu pula bagi Driyarkara mendidik adalah membentuk manusia muda sehingga ia menjadi keseluruhan yang utuh.

Sebagai manusia muda, tiga aspek dalam dirinya dibentuk seperti ditegaskan oleh Benyamin S Bloom. Pertama membentuk dimensi kognitif. Dalam hal ini penekanannya pada wawasan atau pengetahuan. Anak-anak adalah bagaikan kertas putih yang masih kosong seperti dinyatakan oleh John Locke. Saat dilahirkan ia belum memiliki pengetahuan. Pengetahuan baru didapatkannya dalam proses perjalanan hidupnya. Salah satunya adalah melalui pendidikan. Dalam proses itu ia diberi wawasan tentang dunianya, tentang berbagai hal yang mengitarinya, alam sekitar, dan sesamanya, lebih-lebih siapa dirinya.

Tentu cakupan pengetahuannya tidak saja terkait dengan alam, tetapi juga pengetahuan tentang apa yang baik, apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah alias etika. Pengetahuan etika sangat penting sebagai dasar baginya untuk memberikan penilaian tentang dunia sekitarnya. Seperti dikatakan Sokrates, pengetahuan demikian merupakan dasar baginya untuk memberi makna bagi kehidupan yang dijalaninya.

Sisi kedua dalam pendidikan adalah pembentukan afeksi anak muda. Dari dua kata Latin, “educare” dan “educere” tergambar dengan jelas satu makna bahwa pendidikan tidak saja bekaitan dengan pengembangan aspek kognitif dalam arti perluasan pengetahuan dan wawasan, tetapi juga pembentukan atau pengolahan cita, rasa dan karsa. Sesungguhnya dimensi batiniah ini memiliki tempat sentral dalam pendidikan lebih-lebih dalam penentuan pribadi yang bermutu, yang dalam bahasa Yunani disebut “arete”.

Afeksi merupakan bagian sentral kemanusiaan seseorang. Ini berkaitan dengan motivasi, niat dan komitmen, serta asa dalam menjalani kehidupan. Afeksi menyentuh kejiwaan seseorang. Dalam konteks pendidikan, pembentukan afeksi berarti melatih peserta didik untuk mengelola emosi, dan mengasah jiwa. Mereka diajarkan bagaimana harus bersikap sebagai pribadi yang bermutu.

Selain itu, mereka didorong untuk membangkitkan semangat dan kepadanya ditanamkan nilai-nilai kehidupan. Mereka dilatih untuk menginternalisasikan nilai-nilai itu melalui latihan-latihan dan pengelaman hidup baik saat bergaul dengan anak-anak lain, maupun saat berinteraksi dengan pendidik di sekolah serta dengan orang tua. Bisa juga dikatakan bahwa dimensi afektif ini memuat pembentukan suara hati dan batin seseorang. Sekali lagi, dengan demikian “non scholae sed vitae discimus”, anak-anak disekolahkan adalah untuk mendapatkan modal kehidupan, bukan semata mendapatkan ijazah yang diisi dengan angka-angkat tinggi, hasil rekayasa.

Tentu tidak cukup hanya memiliki pengetahuan yang luas dan semangat yang berkobar serta berhati tulus, melaikan keduanya perlu berbuah konkret dalam kehidupan sehari-hari. Artinya apa yang diketahui, dan diniati perlu diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari melalui perbuatan nyata. Inilah yang disebut oleh Benyamin S Bloom dengan dimensi psikomotorik.

Hominisasi dan Humanisasi

Perhatian pada tiga aspek di atas, yakni aspek kognitif, afektif dan psikomotorik memperlihatkan bahwa pendidikan sesungguhnya merupakan upaya atau proses di mana seseorang membentuk kemanusiaannya secara utuh. Filsuf Indonesia bernnama Nikolas Driyarkara menyebutnya dengan dua kata, yakni hominisasi dan humanisasi.

Hominisasi adalah proses pemanusiaan pada umumnya. Driyarakara menyatakan bahwa manusia berbeda dengan makhluk lainnya, seperti binatang ataupun tumbuhan, manusia tidak akan sampai pada fase ‘ke-manusiaannya’ tanpa pendidikan. Lain halnya dengan binatang. Binatang tidak perlu pendidikan, karena pada hakikatnya tidak memiliki akal budi.

Manusia secara fisik terus mengalami pertumbuhan, bahkan penyempurnaan diri terus menerus. Ia merawat tubuhnya, mempercantik dirinya dan mengolah raganya. Kesehatan raga justru menjadi elemen komplementer bagi pembentukan kepribadian manusia. Mens sana in corpore sano (Bahasa Latin), jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat. Adagium ini menggambarkan bahwa manusia juga perlu mengolah ketubuhannya. Upaya ini tentu bagian dari pemanusiaannya. Tubuh sendiri seperti diakui oleh Driyarkara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pribadi manusia itu. Manusia adalah jiwa yang bertubuh atau tubuh yang berjiwa. Ini berarti manusia dapat merealisasikan dirinya justru melalui gerakan-gerakan biologisnya. Inilah hominisasi.

Sedangkan humanisasi merupakan proses lanjutan, setelah hominisasi. Dalam proses ini manusia mampu mencapai perkembangan lebih lanjut, realisasi diri dalam laju budaya dan ilmu pengetahuan. Untuk melacak ciri-ciri pendidikan yang memiliki nuansa humanis dalam ungkapan bahwa badan dan jiwa satu kesatuan. Dengan hominisasi dan humanisasi, pembentukan keahlian saja tidak cukup. Keahlian idealnya harus dibarengi dengan pendidikan pribadi. Dalam istilah Driyarkara, “Pintar tanpa kesusilaan hanya akan menjadi minteri (menyalahgunakan kepandaian)”.

Memberi perhatian yang seimbang pada tiga aspek, yakni kognitif, afektif dan psikomotorik, sekali lagi mengisyaratkan bahwa pendidikan adalah kegiatan humanisasi dan hominisasi, yakni proses di mana seorang anak membentuk jadi dirinya sebagai manusia yang utuh mewujud.

Secara konkret dapat dikatakan bahwa dengan pendidikan, anak muda (anak didik) menyadari bahwa dirinya bukan manusia yang sempurna, melainkan berada dalam suatu proses menuju kesempurnaan. Ia juga menyadari bahwa ia bersama dengan orang lain, dan bersama orang lain ia berkembang dan maju membangun dunianya. Ia juga menyadari bahwa dirinya adalah makhluk terbatas, dan keterbatannya hanya bisa diatasi ketika ia menggantungkan dirinya kepada Kekuatan yang melampaui dirinya. Ia juga menyadari bahwa ia hidup dalam situasi sosial yang sarat dengan nilai-nilai yang menjadi prinsip dan pegangan hidupnya bersama dengan orang lain.

Singkatnya humanisasi dan hominisasi adalah proses penyadaran akan hakikat kemanusiaannya sebagai makhluk personal, sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk kultural serta sebagai makhluk religius etis sekaligus pembentukan seluruh kejasmaniannya secara utuh karena hakikat mutu kepribadian seseorang adalah keutuhan dalam perawatan badan dan jiwa yang seimbang.

Bertand Russell dalam On Education: Filosofi Pendidikan dan Jalan Menuju Kehidupan yang Baik (2025), menyatakan bahwa anak-anak haruslah menjadi tujuan, bukan sarana. Artinya, kepribadian anak itulah yang harus diberi tempat dalam pendidikan. Pembentukan kepribadian itu tentunya tidak bisa terjadi kalau tidak ada penempaan. Russel bahkan lebih lanjut mengingatkan bahwa tidak cukup hanya mengasihi mereka yang masih muda, tetapi juga penting untuk memiliki konsepsi yang benar tentang keunggulan manusia, yang berbeda dengan mengajari hewan. Poin penting dalam pendidikan itu adalah vitalitas, keberanian, kepekaan dan kecerdasan, di samping pengasuhan fisik, emosional dan intelektual yang tepat bagi kaum muda.

Apa yang ingin ditegaskan oleh Russel adalah sederhana, yakni keutuhan kepribadian sebagai esensi pendidikan. Guru-guru yang memiliki rasa tanggungg jawab besar untuk hal itu tentu akan melakukan yang terbaik demi masa depan anak-anaknya. Seyogianya para orang tua menyadari betul akan hakikat pendidikan di atas dan mendukung para pendidik untuk mewujudkan tanggung jawabnya sebagai pendidik, apalagi kalau mereka telah dipercayakan untuk menjalankan tanggung jawab itu. Kalau tidak, silahkan para orang tua mendidik sendiri anak-anaknya di rumah, jangan antar anak-anak ke sekolah.