OPINI  

Papua Tak Ingin ‘Dipercepat’, Papua Justru Ingin Didengar

Jannus TH Siahaan, Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Foto: Istimewa

Oleh Jannus TH Siahaan

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran

MASALAH di Papua bukan hanya tentang jalan yang belum diaspal, rumah yang belum berdiri permanen, atau angka kemiskinan yang masih tinggi. Masalah paling besar di tanah ini adalah ketidakpercayaan kepada Jakarta dan Indonesia.

Orang Papua sudah terlalu lama merasa diperlakukan sebagai anak tiri di rumah besar yang mereka sebut Republik Indonesia. Sudah terlalu sering mereka dijanjikan “pembangunan”, tetapi yang datang justru proyek-proyek yang lebih menguntungkan pihak luar.

Selama puluhan tahun, orang Papua melihat tambang-tambang raksasa berdiri di tanah mereka, hutan-hutan dijarah, laut dikuras, tapi kehidupan masyarakat tetap saja miskin.

Mereka melihat pejabat datang silih berganti, berbicara tentang kemajuan, tetapi di kampung mereka, anak-anak masih harus berjalan berjam-jam untuk sampai ke sekolah, ibu-ibu masih melahirkan tanpa bidan, dan pemuda-pemuda terus kehilangan harapan karena tidak ada lapangan kerja yang layak.

Di situlah letak lukanya. Bukan hanya soal ekonomi, tapi soal martabat. Dari luka itulah tumbuh keraguan terhadap Jakarta. Di dalam hati mayorita orang Papua, Indonesia belum sepenuhnya menjadi rumah. Kebanyakan orang Papua masih merasa sebagai tamu di negerinya sendiri.

Ketika mereka bicara tentang keadilan dan hak menentukan nasib sendiri, yang datang adalah pasukan dan proyek pembangunan. Ketika mereka bicara tentang sejarah dan penghormatan terhadap leluhur, yang datang adalah rencana investasi. Maka yang lahir bukan kepercayaan, tapi jarak yang semakin lebar antara Papua dan Indonesia.

Komite Percepatan Otsus Papua

 Dalam suasana yang penuh ketegangan batin tersebut, Presiden Prabowo Subianto baru saja mengumumkan pembentukan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2024. Tujuannya terlihat mulia, mempercepat pembangunan Papua, memastikan pelaksanaan Otonomi Khusus berjalan efektif, dan mengoordinasikan kebijakan lintas kementerian.

Adapun komite ini diketuai oleh Velix Vernando Wanggai, mantan Penjabat Gubernur Papua Pegunungan, dengan sembilan anggota lain dari berbagai latar belakang, mulai dari birokrat, mantan pejabat, perwira militer,  sampai tokoh publik.

Nama-nama seperti John Wempi Wetipo, Ignatius Yogo Triyono, Paulus Waterpauw, Ribka Haluk, Ali Hamdan Bogra, Gracia Josaphat Jobel Mambrasar, Yanni, John Gluba Gebze, dan Ari Sihasale menjadi bagian dari komite.

Di atas kertas, mereka tampak mewakili keberagaman. Tapi jika dilihat lebih dalam, mayoritas adalah figur yang lebih dikenal karena kedekatannya dengan pusat kekuasaan di Jakarta, masih cenderung bisa diperdebatkan soal kedekatannya dengan masyarakat Papua di akar rumput.

Inilah persoalan klasik dari setiap lembaga baru yang dibentuk untuk “mengurus Papua”: banyak nama besar, tapi sedikit yang benar-benar hidup dan bekerja di tengah rakyat Papua. Banyak pejabat, tapi sedikit yang paham bagaimana rasanya menjadi orang Papua yang hidup di distrik-distrik pedalaman yang selama ini diabaikan. Banyak perintah dari atas, tapi sedikit ruang untuk suara dari bawah.

Komite eksekutif ini, kalau dilihat dari tugasnya, lebih mirip lembaga administratif ketimbang lembaga strategis. Ia bertugas mengoordinasikan program, memantau pembangunan, dan memberikan masukan kebijakan,  hal-hal yang sebenarnya sudah dilakukan oleh berbagai instansi seperti Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, atau BP3OKP (Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua).

Tidak ada satu pun mandat eksplisit untuk menyentuh inti persoalan, yakni soal ketidakpercayaan, konflik politik, dan luka sosial yang belum pernah disembuhkan. Karena itu, agak sulit berharap komite ini akan menghasilkan perubahan yang nyata.

Pengalaman menunjukkan bahwa setiap kali pemerintah pusat membentuk lembaga baru untuk Papua, hasilnya serupa, yakni rapat-rapat rutin, laporan administratif, dan sedikit sekali aksi yang dirasakan di lapangan. Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dulu juga lahir dengan semangat besar, tapi mati perlahan karena terjebak di labirin birokrasi. Kini, Komite Eksekutif berpotensi menempuh jalan yang sama, aktif di atas kertas, tapi hampa di hati rakyat.

Masalahnya bukan semata pada niat, tapi pada paradigma. Pemerintah pusat masih memandang Papua sebagai wilayah pembangunan, bukan sebagai komunitas politik yang memiliki sejarah, harga diri, dan pengalaman ‘terluka’.

Selama paradigma ini tidak berubah, setiap kebijakan akan tetap bersifat top-down dan setiap lembaga baru akan menjadi wajah lama dengan nama (casing) baru.

Bila pemerintah serius ingin mempercepat perubahan di Papua, semestinya momen pembentukan Komite Eksekutif ini dijadikan titik balik untuk melibatkan lebih banyak tokoh Papua yang benar-benar hidup di tanah Papua dan mekar di hati mayoritas orang Papua.

Orang-orang yang mengenal gunung dan lembahnya, yang memahami bagaimana berbicara dengan kepala suku dan pemimpin adat, yang bisa mendengar bahasa hati orang Papua sendiri. Tokoh-tokoh itu mungkin tidak terkenal di Jakarta, tapi mereka dipercaya oleh rakyat di sini. Tanpa kehadiran mereka, komite ini hanya akan menjadi alat administrasi, bukan wadah transformasi.

Selain itu, fokus komite seharusnya tidak berhenti pada pembangunan fisik dan ekonomi. Papua sudah terlalu penuh dengan proyek. Jalan, jembatan, dan gedung memang dibutuhkan, tetapi itu tidak cukup untuk menyatukan bangsa. Yang lebih penting sekarang adalah membangun rasa percaya dan rasa keadilan.

Karena itu, komite ini harus berani keluar dari jalur sempit pembangunan teknokratis dan masuk ke wilayah yang lebih substantif: diplomasi, dialog, dan rekonsiliasi. Papua membutuhkan ruang aman untuk berbicara tentang masa lalunya,  tentang rasa sakit, kehilangan, dan kekecewaan terhadap negara.

Tanpa itu, semua program pembangunan hanya akan menjadi kosmetik yang menutupi luka yang masih berdarah. Komite Eksekutif semestinya mengambil peran itu, yakni menjadi jembatan antara Jakarta dan masyarakat Papua, bukan hanya dalam program pembangunan, tetapi juga dalam penyembuhan hubungan sosial dan politik.

Kita tahu bahwa sebagian anggota komite berasal dari kalangan militer atau birokrat yang selama ini berperan dalam struktur pemerintahan pusat. Ini bukan kesalahan, tapi tantangan. Mereka harus membuktikan bahwa kehadiran mereka tidak untuk “mengatur”, melainkan untuk “mendengar”. Mereka harus memahami bahwa kepercayaan tidak bisa dibangun dengan program, melainkan dengan penghormatan terhadap martabat orang Papua sebagai manusia dan warga negara yang setara.

Papua bukan wilayah yang perlu dikasihani. Papua adalah bagian dari Indonesia yang kaya dan kuat, hanya saja selama ini, kekuatan itu belum pernah benar-benar diakui. Jika orang Papua mengatakan bahwa Jakarta justru yang membutuhkan Papua, boleh jadi banyak benarnya. Maka tugas Komite Eksekutif seharusnya bukan sekadar mempercepat pembangunan, tetapi mempercepat pengakuan bahwa Papua punya hak untuk didengar, untuk dihormati, dan untuk menentukan masa depannya bersama Indonesia, bukan di bawah Indonesia.

Jika komite ini gagal membaca arah itu, maka ia akan berakhir seperti tim-tim khusus sebelumnya, sibuk membuat laporan, menghabiskan anggaran, lalu menghilang tanpa jejak di tengah frustrasi rakyat. Dan setiap kali itu terjadi, jarak antara Papua dan Jakarta akan semakin lebar.

Pada akhirnya, pembentukan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua sesungguhnya berangkat dari satu kesadaran lama yang tak kunjung menemukan bentuk efektifnya bahwa disparitas antara Papua dan daerah-daerah lain di Indonesia adalah luka struktural yang menuntut perhatian lebih dari sekadar proyek pembangunan. Papua tidak hanya tertinggal dalam angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dalam rasa memiliki terhadap Indonesia.

Oleh karena itu, sangat urgen untuk mengutamakan mandat strategis seperti yang sudah di bahas di atas. Semua itu akan berakhir sebagai ritus administratif belaka jika tidak diawali dengan langkah yang lebih mendasar, yakni rekonsiliasi dan integrasi sosial-politik yang dilandasi kejujuran dan ketulusan.

Papua tidak akan bisa “dibangun” hanya dengan instrumen pembangunan, melainkan harus “dipulihkan” melalui dialog, pemulihan kepercayaan, dan pengakuan atas luka kolektif masa lalu.