Orang Papua Menjadi Anak Kos di Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Orang Papua Menjadi Anak Kos di Papua

Ben Senang Galus, penulis buku Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ben Senang Galus

Penulis buku Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi;

tinggal di Yogyakarta

“..Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun ada orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri..”

(Pendeta Izaak Samuel Kijne, 1925)

KETIKA kita mendiskusikan Papua, entah di warung kopi, di bawah pohon atau di ruang ber-AC, yang pertama muncul dalam pikiran kita adalah konflik yang tak kunjung berakhir. Tak salah memang karena faktanya beberapa akhir dasawarsa ini pemerintah Indonesia gagal mewujudkan damai di Papua.

Sudah tujuh presiden Indonesia semuanya gagal menyelesaikan persoalan Papua. Tak terhitung seminar, pertemuan tak resmi, tak terhitung nyawa yang meninggal sia-sia, tak terhitung anggaran yang dikeluarkan untuk sekadar menyelesaikan masalah Papua.

Bahkan kita selalu disuguhkan dengan pemberitaan Papua yang melulu hujan anak panah, aksi penembakan oleh orang tak dikenal, pembakaran, benturan fisik antara masyarakat dan aparat dan sampai kepada aksi separatisme.

Konflik pada hakikatnya memang selalu akan ada di tengah masyarakat sosial. Seperti yang pernah ditegaskan oleh Karl Marx, bahwa konflik merupakan kenyataan masyarakat sosial. Menurutnya, konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperoleh aset-aset yang bernilai.

Konflik di Papua diibaratkan sebagai akar dari “pohon” gerakan sosial, protes ibarat sebagai batang dan gerakan adat ibarat ranting dan daun. Puncak pertumbuhan gerakan sosial adalah terbentuknya kelompok kepentingan atau gerakan politik.

Permasalahan Papua tidak lepas dari terjadinya konflik antara dua pihak yang berkpentingan. Pihak yang menamakan diri sebagai orang asli Papua di satu sisi dan pihak yang menamakan diri berkepentingan atas Papua (kaum kapitalis dan neolib).

Eksploitasi sumber daya alam (SDA) telah menampilkan suatu ketidakadilan. Berdasarkan fakta-fakta, masyarakat Papua sebagai pemegang sah hak adat atas SDA tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, padahal semua konsekuensi negatif pasti dipikul oleh mereka, bukan pengambil keputusan.

SDA merupakan sumber penghidupan utama bagi mereka dengan batas-batas pemilikan, pengakuan, dan penghargaan yang jelas dan tegas di antara para pemegang hak adat. Sebaliknya, agen-agen pembangunan yang mengeksploitasi SDA justru tidak memberikan pengakuan yang memadai terhadap hak-hak masyarakat asli Papua dan tidak memikirkan alternatif.

Sebagai contoh kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan penanaman kelapa sawit, transmigrasi, dan lainnya, telah mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi keluarga masyarakat Papua. Masyarakat kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein, kayu untuk bangunan, kayu api, rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber protein yang mendukung kehidupan masyarakat lokal, hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat.

Eksploitasi tambang juga memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal. Sebagai contoh: kasus Freeport, limbah tailing telah mencemari sumber-sumber ekonomi seperti moluska, sumber protein masyarakat Kamoro-Sempan di Omawita.

Demikian pula eksploitasi sumber daya laut seperti di Biak, Sorong, Merauke dan Fak-Fak juga merusak ekosistem dan mengganggu populasi ikan, penduduk lokal yang masih menggunakan teknologi penangkapan tradisional, makin sulit mengakses dan memanfaatkan sumber daya laut bagi kesejahteraannya.

Eksploitasi SDA oleh para kapitalis di bawah fasilitasi pemerintah, berlangsung secara cepat. Sementara, persiapan sosial yang dapat membantu menyiapkan dan memfasilitasi penduduk asli agar mengakses program-program atau proyek-proyek yang berhubungan dengan pengelolaan SDA tidak terjadi dan tidak akan pernah terjadi.

Akibatnya, masyarakat Papua menjadi penonton, terasing, menjadi tamu di tanahnya sendiri. Masyarakat Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi kesempatan.

Pendekatan profetik

Profetisme (profetik) dalam mengatasi masalah atau konflik adalah melihat secara komprehensif, tidak sepotong-sepotong, dan melihat sebagai satu kesatuan (dulu-sekarang-mendatang), begitu juga dalam konflik sosial masyarakat Papua. Konflik Papua yang sampai sekarang masih terus berlangsung adalah bentuk akumulasi pada peristiwa politik masa lalu yang tidak adil.

Masalah pokok yang terjadi sejak dulu hingga sekarang adalah hanya seputar keadilan dan kesejahteraan. Yang jelas fakta historis membenarkan kita bahwa masyarakat Papua sangat jauh dari kesejahteraan dan keadilan yang selama ini seharusnya mereka dapatkan.

Kalau kemudian semua masalah yang memicu konflik sosial adalah disebabkan kebijakan yang tidak pro-rakyat Papua, keadilan yang tidak ditegakkan, dan militerisme dan pendekatan state building dalam menangani masalah Papua maka itu semua adalah kezaliman yang diperbuat oleh pemerintah.

Pendekatan profetik sebagai sebuah paradigma berpikir, termasuk dalam menyikapi masalah konflik sosial masyarakat Papua adalah solusi yang bisa saja diterapkan dalam menyikapi konflik tersebut. Pertama, kita melihat bahwa benturan (konflik) yang ada bukan konflik keagamaan (Islam-Kristen) tetapi lebih kepada konflik rakyat-pemerintah, rakyat-kapitalis, aparat dengan rakyat, yang diwakili oleh OPM. Maka seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah bukan pendekatan militer atau state building melainkan dengan pendekatan profetik.

Dalam pendekatan ini kita dapat melihat upaya-upaya sebuah negara, dalam membentuk dan membangun dirinya menjadi sebuah negara yang “ideal”. Keberhasilan pendekatan profetik pada akhirnya menentukan apakah sebuah negara menjadi negara yang “ideal” atau menuju kegagalan yang berujung pada failing collapse dan akhirnya failed.

Dalam pendekatan profetik ini terbagi ke dalam dua tahap, yaitu tahapan internal yang dilakukan oleh negara itu sendiri dengan masyarakat asli Papua dan tahap eksternal dengan menggunakan bantuan pihak ketiga yaitu PBB.

Pendekatan profetik menjadi solusi tepat menyelesaikan persoalan Papua. Sebab pendekatan ini lebih pada bagaimana meletakkan kerangka strategis pembangunan Papua sebagai struktur kebudayaan yang kuat. Identitas kepapuaan menjadi identitas kultural dalam dimensi struktur kognisi maupun moral pembangunan.

Otensitas kultural Papua tidak dilenyapkan atau dikuburkan dalam mainstream kebijakan pembangunan, melainkan bagaimana membangun inner culture, lebih menghargai orang Papua sebagai natus: asal usul, tempat kelahiran, jati diri orang Papua.

Sebaliknya, jika menggunakan pendekatan state building erat kaitannya dengan motif ekonomi, eksploitasi SDA secara besar-besaran. Ketimpangan ekonomi dalam perspektif tersendiri, menjadi salah satu alasan utama konflik di Papua. Pendekatan ini harus disingkirkan, karena masyarakat Papua diukur dengan angka-angka, statistik.

Pendekatan ini lebih pada sekadar memuaskan birokrat pusat atau para kapitalis. Sementara orang asli Papua sebagai pemilik sah atas tanah Papua menjadi miskin, tersingkir. Pendekatan ini tidak membawa implikasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat Papua dan cenderung menggadaikan masyarakat Papua dengan sejumlah kebijakan dan rupiah.

Pendekatan profetik atau nation building mengindikasikan pada penjunjungan prinsip kemanusiaan universal. Artinya, tidak ada diksriminasi atau penindakan, penindasan di tanah Papua. Sebab selama ini yang terjadi, masyarakat Papua justru terdiksriminasi dan dianggap sebagai kelas rendah dibandingkan masyarakat non-Papua.

Padahal, merekalah yang memiliki semua kekayaan alam. Maka jelaslah sebagai pemilik akan merasa sangat marah jika harta mereka dirampas dan mereka tidak diperlakukan secara adil dan manusiawi.

Potensi tradisionalisme masyarakat Papua haruslah dilihat dalam sudut pandang bahwa nilai-nilai tradisonal tersebut adalah bagian dalam pembangunan masyarakat Papua, bukan sebaliknya. Tuntutan mewujudkan masyarakat yang egaliter, akses keadilan, kesejahteraan, dan tidak adanya diskriminasi adalah tuntutan yang dari dulu hingga sekarang terus diserukan oleh masyarakat Papua.

Kita harus segera mengambil sikap yang nyata, pro-rakyat Papua, dan tentunya bijaksana. Bukan sekadar untuk kepentingan Indonesia secara keseluruhan tetapi untuk masyarakat Papua pada khususnya. Jika tidak, maka kita masih akan menyaksikan konflik-konflik sosial yang judulnya masih tetap sama –pemerintah versus rakyat, aparat versus OPM– masih akan terus terjadi.

Perjuangan menegakkan kredibilitas penduduk aseli Papua adalah suatu pekerjaan mulia bagi setiap orang. Posisi penduduk asli Papua saat ini telah bergeser ke posisi pinggir, terpinggir, dan dipinggirkan, terasing di rumahnya sendiri, menjadi anak kost di Papua, sebagai akibat derasnya arus perkembangan yang mengeksploitasi sumber daya alam yang semakin menjadi-jadi.

Penduduk asli Papua semakin terisolasi dalam keterlibatan kegiatan pembangunan. Dengan demikian dianjurkan bahwa dalam derap pembangunan, selayaknya orang Papua tidak menjadi tersingkir atau disingkirkan ke posisi pinggir.

Alangkah berdosa kita, bilamana ekses pembangunan itu membawa korban semakin tersingkirnya saudara kita di Papua ke posisi terjepit, sesak napas, semakin tidak berdaya, semakin menjerit, akibat konser rock pembangunan yang tidak memperhatikan kemanusiaan manusia Papua.

Tinggalkan Komentar Anda :