Oleh: Yakobus Dumupa
(Pendiri dan pembina portal berita Odiyaiwuu.com)
SAAT ini, Tanah Papua tengah menghadapi luka kemanusiaan yang dalam. Ribuan warga sipil di berbagai kabupaten terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka, mengungsi ke hutan, pegunungan, atau wilayah lain yang dianggap lebih aman. Mereka meninggalkan rumah, ladang, hewan ternak, dan kehidupan yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Sebagian besar dari mereka bukan pejuang bersenjata, bukan aparat negara, bukan politisi. Mereka adalah rakyat biasa: anak-anak, perempuan, orang tua, dan petani kecil. Mereka adalah korban.
Penyebab utama dari gelombang pengungsian ini adalah konflik bersenjata antara TNI-POLRI dan TPN-OPM yang terus berlangsung di beberapa wilayah Tanah Papua. Perang ini bukanlah konflik yang baru. Ia telah berlangsung selama puluhan tahun, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, eskalasi kekerasan meningkat tajam, dan yang paling menderita adalah rakyat sipil. Namun yang lebih menyakitkan, negara justru melakukan dua kesalahan besar dalam merespons krisis ini.
Pertama, negara tidak mencari solusi damai. Pemerintah seolah mempercayakan seluruh penyelesaian masalah Tanah Papua hanya kepada pendekatan militer. Ketika perlawanan muncul, negara membalas dengan operasi keamanan. Ketika kontak senjata terjadi, jawaban yang diberikan adalah pengerahan pasukan tambahan. Tidak ada ruang yang cukup diberikan untuk pendekatan dialog, apalagi yang melibatkan semua pihak secara setara. Padahal, sejarah konflik di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa senjata tidak akan menyelesaikan persoalan akar.
Kedua, negara juga abai terhadap nasib para pengungsi. Tidak ada kebijakan darurat, tidak ada alokasi bantuan kemanusiaan yang memadai, dan tidak ada pendataan yang sistematis terhadap warga yang mengungsi. Banyak dari mereka hidup tanpa tenda, makanan, obat-obatan, dan akses pendidikan. Anak-anak kehilangan sekolah, ibu hamil kehilangan akses kesehatan, dan warga desa kehilangan hak dasarnya sebagai manusia. Ketika negara tidak hadir, maka penderitaan rakyat berlipat ganda.
Padahal, konstitusi Indonesia sangat jelas menyatakan bahwa negara berkewajiban melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk mereka yang ada di hutan-hutan Tanah Papua karena terpaksa mengungsi. Ketika negara diam, maka itu sama saja dengan menelantarkan rakyatnya sendiri.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah konkret. Pertama dan utama adalah membuka ruang dialog damai dengan TPN-OPM. Ini bukan bentuk kelemahan, tetapi justru keberanian dan kebijaksanaan. Dialog yang jujur dan setara, difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral dan dipercaya kedua belah pihak, bisa menjadi pintu masuk menuju perdamaian. Sudah saatnya pemerintah berhenti menstigmatisasi semua perlawanan sebagai kriminal, dan sebaliknya mengakui bahwa ada aspirasi politik dan sejarah yang harus dibicarakan.
Kedua, sambil menyiapkan proses dialog, pemerintah wajib segera memberikan perhatian serius terhadap para pengungsi. Ini adalah kewajiban kemanusiaan yang tidak bisa ditunda. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kabupaten harus turun tangan langsung, bukan hanya mengandalkan bantuan LSM atau gereja. Harus ada pendataan lengkap, distribusi logistik, layanan kesehatan dan pendidikan darurat, serta perlindungan hukum terhadap warga sipil di daerah konflik.
Ketiga, masyarakat sipil, gereja, dan tokoh adat di Tanah Papua perlu diberikan peran yang lebih besar. Mereka bisa menjadi jembatan antara pihak-pihak yang bertikai. Selama ini suara mereka sering diabaikan, padahal merekalah yang selama ini merawat perdamaian di akar rumput. Peran mereka tidak boleh dimatikan oleh logika keamanan semata.
Keempat, media nasional harus mengangkat isu ini secara jujur dan proporsional. Selama ini, kisah para pengungsi di Tanah Papua jarang sekali muncul di layar kaca atau halaman utama media. Ketika media diam, maka masyarakat Indonesia pun gagal memahami betapa seriusnya tragedi yang sedang berlangsung.
Tanah Papua tidak butuh lebih banyak senjata. Tanah Papua tidak butuh lebih banyak operasi militer. Tanah Papua butuh ruang dialog dan kehadiran negara yang manusiawi. Sudah terlalu banyak nyawa melayang, terlalu banyak anak kehilangan masa depan, terlalu banyak air mata yang ditumpahkan di tanah yang kaya ini.
Sudah saatnya semua pihak menghentikan perang, membuka jalan damai, dan menyelamatkan para pengungsi. Karena tugas negara yang paling utama adalah menjaga kehidupan, bukan mempertahankan kekuasaan dengan mengorbankan rakyat sendiri. Bila pemerintah dan OPM sungguh mencintai tanah ini, maka mereka harus duduk bersama dan memutuskan masa depan Tanah Papua tanpa menambah satu nyawa pun lagi sebagai korban.
Sudah waktunya. Jangan tunda lagi. Tanah Papua menunggu kedamaian sejati—bukan janji, bukan propaganda, tapi tindakan nyata.