Merawat Demokrasi Bumi dan Air di Papua Masa Depan (1) - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Merawat Demokrasi Bumi dan Air di Papua Masa Depan (1)

Ben Senang Galus, penulis buku Demokrasi Bumi dan Air. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ben Senang Galus

Penulis buku Demokrasi Bumi dan Air; tinggal di Yogyakarta

TAHUN 1995, Wakil Presiden Bank Dunia Ismail Seralgedin melakukan prediksi mengenai masa depan perang. Seralgedin menyebut, jika perang-perang abad ini banyak diakibatkan oleh persengketaan minyak, perang masa depan akan dipicu oleh air.

Prediksi tersebut ternyata menunjukkan tanda-tanda ketepatannya, dan sekarang perang tersebut bahkan sudah berjalan. Konflik karena kekurangan air telah terjadi di Meksiko, Israel, India, Cina, Kanada, Bolivia, Ghana, dan Amerika Serikat. Mungkinkah akan terjadi di Indonesia atau di Papua?

Perang tentang perebutan air, yang sekarang muncul, meliputi dua hal, yaitu perang paradigma –konflik tentang bagaimana kita memahami fungsi air dan penggunaannya– dan perang dalam pengertian tradisional, yaitu perang yang disertai dengan penggunaan senjata. Berbagai perbenturan budaya air ini terjadi di semua masyarakat.

Kebudayaan Papua, misalnya, melihat air sebagai sesuatu yang sakral dan memperlakukannya sebagai tugas mewujudkan suaka hidup, sedangkan budaya lainnya memandang air sebagai komoditas, dan kepemilikan air berikut penjualannya merupakan hak fundamental korporat. Asusmsi pasar tentang air telah membutakan diri terhadap batas-batas ekologi.

Kebudayaan komodifikasi berperang dengan kebudayaan yang saling berbagi, menerima dan memberi air sebagai pemberian cuma-cuma. Budaya (kemasan) plastik yang merusak lingkungan dan tidak dapat didaur ulang berperang melawan peradaban yang didasarkan pada tanah, lumpur, dan budaya pembaruan dan peremajaan.

Terorisme ekologi

Bersamaan dengan paradigma ini, telah terjadi perang antarkawasan, di dalam negara maupun dalam komunitas, untuk memperebutkan air. Terlepas diakui atau tidak, yang pasti bahwa politik kekerasan acapkali muncul dari konflik-konflik atas sumber daya air yang langka namun vital.

Namun, banyak konflik politik atas sumber air yang bersifat laten. Mereka yang mengendalikan kekuasaan lebih suka menyelubungi perang perebutan air sebagai konflik etnis atau agama. Di Punjab, satu komponen penting dari konflik yang telah merenggut 15.000 nyawa sepanjang tahun 1980 itu adalah perselisihan tentang pembagian air sungai.

Namun, konflik yang dipusatkan pada berbagai ketidaksepakatan termasuk strategi pemanfaatan dan pembagian sungai Punjab itu dicirikan sebagai isu separatisme Kaum Sikh. Kasus yang sama menyangkut tanah dan air terjadi antara warga Palestina dan Israel.

Konflik atas sumber daya alam tersebut lebih banyak digambarkan sebagai konflik agama antara Muslim dan Yahudi. Maka tak urung kemudian munculah cap-cap fundamentalis dan teroris bagi mereka yang menuntut keadilan pembagian sumber daya alam, termasuk air. Tapi, siapa sebenarnya yang layak disebut teroris?

Perusakan sumber daya air, sumber daya hutan, tambang emas, tembaga, perak, adalah sebuah tindakan dengan sadar dan sengaja merusak dan mengeruk isi bumi Papua merupakan bentuk terorisme ekologi Papua. Meniadakan akses orang miskin pada air dengan privatisasi distribusi air atau mengotori sumber air dan sungai, juga merupakan bentuk terorisme ekologi.

Dalam konteks ekologis perang air, yang menjadi teroris bukan hanya mereka yang bersembunyi di gua-gua atau hutan-hutan di Papua. Sebagian di antara mereka bersembunyi di ruang-ruang direksi perusahaan dan di belakang peraturan perdagangan bebas yang disusun di ruangan gelap.  Mereka bersembunyi di balik persyaratan privatisasi.

Kerakusan dan perampasan jatah sumber daya berharga milik orang Papua merupakan akar konflik dan akar pemberontakan orang Papua. Tujuan “perang” terhadap kelompok bersenjata Papua adalah untuk mempertahankan “gaya hidup” kaum berdasi, mereka tengah mendeklarasikan perang melawan planet–perang melawan emas, air, dan keragaman hayatinya.

Gaya hidup 20 persen penduduk terkaya di Indonesia yang menggunakan 80 persen sumber daya alam Papua akan menyingkirkan 80 persen penduduk Papua dari jatah sumber dayanya dan pada akhirnya menghancurkan planet Papua. Kita tak bisa melangsungkan kehidupan kita, jika ketamakan terus dipertahankan, dan golongan yang rakus menetapkan aturan yang menentukan hidup dan mati kita.

Ekologi teror menunjukkan pada kita jalan menuju perdamaian. Kedamaian ada dalam pemberdayaan demokrasi ekologis dan demokrasi ekonomi serta pemeliharaan terhadap keragaman.

Demokrasi bukan hanya sebuah ritual pemilihan tapi juga kekuasaan rakyat untuk menentukan nasib mereka, menentukan bagaimana sumber daya alam mereka (Papua) bisa dimiliki dan dimanfaatkan, bagaimana dahaga bisa teredam, bagaimana makanan mereka diproduksi dan didistribusikan, dan kesehatan seperti apa dan sistem pendidikan macam apa yang mereka punyai.

Langka atau hilangnya air berarti derita perempuan, bagi petani gagal panen, bagi anak dehidrasi dan ancaman kematian dan bagi binatang dan tumbuhan adalah ancaman punah. Krisis air tidak bisa diselesaikan dengan logika pasar tetapi merupakan krisis ekologi dengan solusi “demokrasi ekologis” atau “demokrasi hijau”.

Demokrasi Bumi

Gagasan demokrasi bumi berasal dari salah satu pemikiran India kuno.  Gagasan ini mirip seperti yang dikatakan oleh Ketua Seattle tentang jaringan di bumi, di India menyebutnya vasudhaiva kutumbkam, yang berarti keluarga bumi.

Kosmologi orang Papua tak pernah memisahkan manusia dari non-manusia—manusia dan makhluk lain merupakan rangkaian kesatuan. Di Papua mengenal juga demokrasi bumi sejak beberapa abad lalu. Dalam kosmologi Papua dikenal dengan istilah kesatuan manusia dengan alam semesta.

Ketika isu tentang privatisasi air, misalnya, ada dua bentuk respon dari masyarakat yang menolak praktik privatisasi ini. Level pertama berupa perlawanan: privatisasi ini adalah tindakan amoral terhadap sumber daya air. “Kehidupan tidak boleh dimonopoli. Kalian tak bisa menjual kepada kami bahan-bahan yang juga kalian curi dari sisi kami, dan kalian tak dapat memberi kepada kami sejumlah royalti untuk produk-produk kearifan alam kami” (KR, 22 Mei 2019).

Level kedua adalah merebut-kembali demokrasi: rakyat merebut hak-hak untuk menjaga biodiversitas dan menggunakannya secara berkelanjutan. Ini merupakan hasil dari diskusi di kalangan gerakan yang sedang dibangun di level akar-rumput. Demokrasi hidup adalah demokrasi yang memelihara kekayaan kehidupan dimana manusia bergantung terhadapnya.

Krisis ekologi merupakan bentuk yang paling keras dari ketidakamanan, utamanya dalam kondisi kemiskinan ketika sungai-sungai tercemari atau diambil untuk industri dan manusia di sekelilingnya tak dapat meminum air bersih, ketika sumber mata air telah tandus dan populasi bisa mati atau sekurangnya bermigrasi. Tidak pernah ada ketidakamanan yang lebih dahsyat kecuali krisis ekologi.

Berbagai konflik yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia sangat berhubungan dengan praktik mengeksploitasi sumberdaya yang lebih cepat daripada yang bisa diperbaharui oleh alam atau praktik menyingkirkan sumberdaya alam dari masyarakat yang membutuhkannya. Di berbagai masyarakat, bendungan air telah menjadi sumber konflik yang utama, hal ini mungkin saja terjadi di wilayah Papua. (Bagian pertama)

Tinggalkan Komentar Anda :