JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Tokoh Muslim Ustad Ismail Asso menuding Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia Bahlil Lahadalia biang kerok atau ‘pintu masuk’ di balik perampokan sumber daya alam (SDA) di tanah Papua.
Pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah Firdaus Asso Jayapura Ustadz Ismail Asso menyebut Bahlil sebagai menteri bahlul (bodoh) perlu segera dicopot Presiden Republik Indonesia H. Prabowo Subianto dari Kabinet Merah Putih.
“Menurut saya Bahlil atau bahlul (bodoh) ini cepat dicopot karena dia ‘pintu’ masuk perampokan SDA tanah Papua oleh oknum pejabat negara. Bahlil yang sejatinya bukan asli etnis Papua ini menjadi ‘pintu masuk’ perampokan SDA Papua,” ujar Ustadz Ismail Asso dari Jayapura, Papua, Rabu (2/6).
Tudingan Ismail, ulama putra asli Papua disampaikan karena Bahlil mengeluarkan sejumlah izin usaha pertambangan (IUP) yang melibatkan organisasi massa keagamaan atau ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan dan ormas agama lain.
“Di depan mata kita semua, terutama masyarakat Indonesia Menteri Bahlil nyata-nyata sedang menjual kekayaan alam tanah Papua yang saat ini terjadi di bumi Cenderawasih. Proses perampokan kekayaan alam Papua nyata,” kata Ismail Asso.
Ismail mengatakan, salah satu contoh kecil yang menyita perhatian publik adalah IUP pertambangan nikel di gugusan Kepulauan Raja Ampat yang terbukti merusak lingkungan kawasan eko wisata yang ujungnya IUP akhirnya dicabut.
Ismail juga menyebut Bahlil adalah menteri Kabinet Merah Putih paling berbahaya bagi masyarakat adat tanah Papua. Bahlil, lanjut Ismail sejatinya bukan etnis asli orang Papua tetapi dari Sulawesi Selatan. Bahlil Lahadalia hanya numpang besar di tanah Papua dan mengaku-ngaku diri sebagai orang asli Papua.
Majelis Pekerja Harian (MPH) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyoroti perkembangan mutakhir eksploitasi tambang nikel di kawasan gugusan pulau-pulau di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
MPH PGI mencermati bagaimana keindahan alam Raja Ampat yang selama ini menjadi tujuan wisata kelas dunia, situs warisan budaya adat, dan pusat keanekaragaman hayati global terancam oleh ekspansi industri pertambangan.
“Saat ini dunia mencermati meningkatnya ancaman perusakan yang nyata terhadap kawasan konservasi laut dan budaya maritim di kawasan (Raja Ampat) yang telah dikukuhkan Unesco sebagai Global Geopark pada 23 Mei 2023,” ujar Sekretaris Umum Majelis Pekerja Harian PGI Pendeta Darwin Darmawan, M.Th melalui keterangan tertulis yang diperoleh di Jakarta, Kamis (12/6).
Sedangkan di bagian lain di tanah air, lanjut Pendeta Darmawan, dari pertambangan serupa di Morowali, Sulawesi, Maluku hingga konflik agraria di Sumatera Utara antara pelaku industri dan komunitas adat menjadi bukti bagaimana industri berkarakter ekstraktif kerapkali mengorbankan hak-hak masyarakat adat.
Kemudian, menciptakan ketegangan sosial yang berlarut. Belum lagi persoalan aktivitas penanaman monokultur tanaman industri dan penebangan hutan yang telah mengancam biodiversitas alam.
“Pelajaran pencemaran Sungai Ajkwa di Tembagapura sampai Timika bahkan sampai di muara menuju Laut Arafura berdasarkan hasil penelitian Universitas Papua tahun 2022 perlu menjadi bahan evaluasi,” ujar Pendeta Darmawan.
PGI meyakini, masa depan bumi hanya dapat dijaga bila umat manusia kembali menata relasinya dengan alam dalam kerendahan hati dan tanggung jawab. Dengan perspektif ini, pihak PGI menyatakan keprihatinan mendalam atas semakin meluasnya praktik industri ekstraktif di Indonesia yang mengabaikan keberlanjutan ekologis, keadilan sosial, dan martabat kemanusiaan.
“PGI memandang saat ini Indonesia menghadapi krisis ekologis yang semakin serius. Hutan tropis dan pulau-pulau kecil dibuka untukpertambangan. Tanah, air, udara, dan semua ciptaan Tuhan yang wajib dijaga demi rumah bersama justru menjadi korban keserakahan atas nama pembangunan dan keuntungan material,” kata Darmawan.
Selain itu, kualitas air menurun akibat sungai tercemar limbah industri. Di mana-mana masyarakat adat kehilangan ruang hidup dan mata pencahariannya. Dengan berduka, publik menyaksikan krisis ekologis yang ditandai hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan ekosistem, perubahan iklim, dan ketidakadilan terhadap masyarakat lokal.
Krisis ekologis juga jauh sebelumnya menjadi sorotan Sidang Raya ke-XVIII PGI di Rantepao, Kabupaten Tana Toraja tahun 2024 bertajuk Hiduplah Sebagai Terang yang Membuahkan Kebaikan, Keadilan, dan Kebenaran. PGI mulai melihat terjadinya poli krisis, termasuk krisis ekologis yang menuntut komitmen kuat untuk meresponsnya.
Pesan Sidang Raya tersebut mendesak PGI, gereja-gereja, dan para mitra untuk merawat bumi sebagai rumah bersama dalam spirit keugaharian. Pesan tersebut mengajak umat melawan keserakahan oligarki yang melakukan eksploitasi alam secara berlebihan, serta menolak berbagai praktik destruktif terhadap alam ciptaan Tuhan.
Kasus-kasus yang terjadi di sejumlah pulau tersebut di atas menjadi potret nyata betapa industri ekstraktif di Indonesia belum ramah lingkungan dan memenuhi visi pemeliharaan alam berkelanjutan.
Kasus pertambangan yang terjadi dan heboh akhir-akhir ini memperlihatkan praktik-praktik eksploitasi sumber daya atas nama hilirisasi, namun berlangsung secara destruktif, tanpa visi pemulihan, penciptaan keadilan, dan pertimbangan moral-spiritualitas ekologis.
Pihak PGI menyebut, bukan hanya di daerah-daerah seperti di Raja Ampat dan Danau Toba tetapi praktik serupa juga terjadi di Teluk Weda, Halmahera (pertambangan nikel), di Pulau Kei Besar (pertambangan pasir dan batu), di Morowali, Sulawesi Tengah (pertambangan nikel), di Pulau Sangihe (pertambangan emas), di Bangka Belitung (pertambangan timah), di Pulau Buru (pertambangan emas), dan di daerah-daerah lain di tanah air.
PGI menegaskan, dalam hal spiritualitas ekologis bahwa alam adalah ciptaan Allah yang sakral, tempat di mana Allah turut berdiam bersama dengan manusia dan segala ciptaan. Karena itu, umat manusia dipanggil untuk mengusahakan dan memelihara alam secara bertanggung jawab dan berkelanjutan (bdk. Kejadian 2:15) dan bukan mengeksploitasi dalam nafsu kerakusan.
PGI juga menentang teologi antroposentris tentang alam. Manusia bukan pusat dan pemilik mutlak alam, tetapi merupakan bagian dari alam yang adalah rumah bersama dengan makhluk hidup lainnya.
Dalam rumah itu, manusia harus berbagi kehidupan dengan makhluk lain dalam keseimbangan ekologis. Itulah nilai kehidupan yang juga diwariskan para pendahulu melalui kearifan lokal masyarakat adat.
Kehidupan manusia bergantung pada keberlanjutan alam dan ekosistemnya. Manusia bukan tuan atas alam, melainkan sahabat penatalayan (steward) yang wajib merawat dan mendukung keseimbangan ekologis demi keberlangsungan hidup semua makhluk di bumi.
Berdasarkan keyakinan iman dan komitmen menjaga keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan, PGI menyampaikan seruan dan desakan.
Pertama, industri pertambangan di Indonesia agar secara serius menerapkan standar pertambangan yang bertanggung jawab (responsible mining), yang menghormati batas daya dukung lingkungan.
Setiap industri pertambangan kiranya menegakkan prinsip free, prior and informed consent (FPIC) sehingga kemitraan yang berkeadilan dengan komunitas lokal dan masyarakat adat menjadi norma yang dijunjung dalam relasi industri dengan masyarakat.
Dalam aktivitas pertambangan, hendaknya para pelaku industri pertambangan mengedepankan efisiensi sumber daya, meminimalisir terjadinya degradasi lingkungan, dan dengan sepenuh hati melakukan konservasi keanekaragaman hayati.
PGI mendesak dunia industri pertambangan di Indonesia, agar tidak hanya berorientasi pada keuntungan finansial jangka pendek, melainkan pada tanggung jawab sosio-ekologis jangka panjang, di mana keadilan dari generasi ke generasi terwujud.
Untuk itu, pelaku industri ekstraktif juga harus memastikan upaya-upaya reklamasi dan restorasi ekologis berjalan bersamaan dengan aktivitas ekstraktif sebagai wujud kearifan industrial, bukan sebagai beban pasca tambang.
Kedua, pemerintah pusat dan daerah kiranya lebih berhati-hati dan selektif dalam menerbitkan dan merekomendasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Kawasan Peruntukan Industri (KPI), khususnya di wilayah dengan status konservasi tinggi, wilayah adat, daerah tangkapan air, daerah sekitar pemukiman, dan lain-lain dengan sungguh-sungguh mematuhi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K).
PGI mendesak moratorium (jedah) penerbitan IUP dan KPI di kawasan-kawasan di mana terdapat kerawanan ekologis, misalnya hutan tropis, kawasan danau dan pesisir, juga pulau-pulau kecil.
PGI sangat mendukung program hilirisasi yang digelorakan pemerintah, namun penting untuk memastikan bahwa setiap aktivitas industri ekstraktif dalam kerangka hilirisasi senantiasa mengedepankan prinsip keadilan ekologis, transparansi dalam proses perizinan, menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati serta melibatkan masyarakat terdampak secara aktif sebagai mitra dalam memelihara kelestarian alam, kehidupan, dan mata pencaharian.
Terkait masalah di Raja Ampat, PGI mengapresiasi pemerintah yang telah mencabut IUP empat perusahan pertambangan di kawasan itu. Sekalipun demikian, PGI mendesak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengaudit dan meninjau ulang laporan hasil analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan juga laporan analisis mengenai dampak sosial (amdas) penambangan nikel secara menyeluruh di wilayah Kepulauan Raja Ampat.
Wilayah itu merupakan gugusan pulau-pulau kecil yang menjadi wilayah tempat berkembangnya berbagai biota laut yang hidup secara simbiosis mutualisme. Jika satu tercemari sedimentasi limbah beracun dari penambangan nikel maka tidak hanya biota laut di gugusan pulau-pulau kecil tersebut terkena dampak serius kesehatan tapi juga manusia yang hidup di atasnya.
“Pelajaran pencemaran sungai Ajkwa di Tembagapura sampai Timika bahkan sampai di muara menuju laut Arafura perlu menjadi bahan evaluasi berdasarkan hasil penelitian Unipa tahun 2022. Jadi bukan sekedar asumsi ‘aman’ karena berjarak 30-40 km dari wilayah konservasi pulau pulau Raja Ampat,” ujar Darmawan.
Hal ini juga perlu menjadi evaluasi terhadap industri ekstraktif di berbagai wilayah lainnya. Sebab itu jika terbukti ada pelaku industri ekstraktif yang melanggar prinsip-prinsip perlindungan dan pelestarian alam, pemerintah harus secara tegas memerintahkan penghentian aktivitas ekstraktif dimaksud, bahkan mencabut izin usahanya.
Pemerintah berkewajiban mempertahankan keutuhan alam daerah-daerah yang selama ini telah menjadi tujuan wisata terbaik serta memiliki biodiversitas yang tinggi seperti Raja Ampat, Danau Toba, Kepulauan Aru, Pulau Belitung, dan lain-lain, sehingga tidak terdampak aktivitas industri.
Bersamaan dengan itu, percepatan pembangunan, pemulihan lahan pasca tambang, dan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat yang berfokus pada pengembangan wisata alam perlu didukung serius oleh pemerintah daerah.
Ketiga, para pimpinan gereja harus menjadi pemimpin sekaligus teladan dalam mempraktikkan dan menyuarakan pertobatan ekologis. Gereja tidak boleh diam saja ketika alam terluka oleh berbagai praktik eksploitasi alam yang tidak bertanggung jawab, baik industri ekstraktif yang mencemari lingkungan, maupun ekspansi perkebunan yang mengakibatkan deforestasi dan dampak-dampak sosial lainnya.
Dalam hal ini, para pimpinan gereja harus teguh berdiri dengan integritas yang utuh dan tak terombang-ambing, baik oleh ancaman maupun iming iming dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, gereja menjadi pembawa pengharapan yang tangguh dan relevan sebagaimana dicita-citakan dalam visi PGI.
Gereja harus setia pada karya misinya yang merawat keutuhan ciptaan, menegakkan keadilan serta memastikan terpenuhinya hak-hak masyarakat di sekitar daerah di mana industri berada.
PGI ingin menegaskan spiritualitas keugaharian sebagai panggilan moral dan wujud kesalehan sosial, demi mencegah keserakahan, dan guna merawat hubungan antar manusia dan ciptaan. Gereja dipanggil bukan hanya untuk menyelamatkan jiwa tetapi juga untuk menyuarakan keadilan bagi bumi yang terluka.
PGI mendukung lembaga-lembaga dan aktivis-aktivis peduli lingkungan dan hak asasi manusia serta menyerukan kepada semua lapisan masyarakat untuk terus menyuarakan dan memperjuangkan keadilan ekologis, keutuhan ciptaan, dan terpenuhinya hak-hak masyarakat adat.
PGI percaya, masa depan bumi hanya dapat dijaga bila umat manusia kembali menata relasinya dengan alam dalam kerendahan hati dan tanggung jawab. Tuhan yang menciptakan langit dan bumi terus memanggil umat-Nya untuk menjadi penatalayan kehidupan, bukan pelaku kehancuran. (*)