Menjemput Harapan, Menghentikan Luka: Mengatasi HIV/AIDS di Tanah Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Menjemput Harapan, Menghentikan Luka: Mengatasi HIV/AIDS di Tanah Papua

Yakobus Dumupa, Pendiri dan pembina portal berita Odiyaiwuu.com. Foto: Dok. Odiyaiwuu

Loading

Oleh Yakobus Dumupa
(Pendiri dan Pembina Portal Berita Odiyaiwuu.com)

DI ATAS tanah yang Tuhan percayakan kepada leluhur kita, tumbuh hutan-hutan suci, sungai-sungai yang mengalir jernih seperti air mata kehidupan, dan gunung-gunung yang menjulang tinggi seakan memeluk langit. Tanah Papua bukan sekadar tempat tinggal, melainkan tanah kelahiran, tanah warisan, dan tanah roh. Ia adalah rumah yang menyimpan cerita tentang asal-usul, kebanggaan, dan perjuangan. Namun di balik semua keindahan yang terlihat oleh mata, tersimpan luka yang tak tampak oleh pandangan biasa. Luka yang perlahan-lahan tumbuh di tubuh dan hati banyak anak Papua, yang diam-diam mencabut harapan, menyisakan duka, dan mengancam masa depan. Luka itu bernama HIV/AIDS.

Di banyak kampung dan kota di Tanah Papua, virus ini menyebar dalam diam. Ia tidak datang dengan bunyi keras atau amarah terbuka, tapi merayap senyap dari satu tubuh ke tubuh lain, dari satu pelukan ke pelukan lain, dari satu ciuman kasih menjadi perpisahan duka. Banyak dari kita tidak tahu, dan yang tahu pun sering kali memilih diam. Kita tumbuh dalam budaya malu bicara soal tubuh, soal hubungan, soal luka yang berasal dari darah dan cairan tubuh. Kita takut, bahkan pada kebenaran. Padahal justru karena takut itu, virus ini mendapat ruang. Karena diam, ia bergerak bebas tanpa perlawanan.

Setiap tahun, jumlah saudara kita yang terinfeksi HIV/AIDS terus bertambah. Dan ini bukan hanya soal statistik di atas kertas. Ini tentang mama yang meninggal tanpa sempat memeluk anak-anaknya untuk terakhir kali. Ini tentang anak-anak kecil yang hidup dalam ketidaktahuan, mendadak menjadi yatim, lalu terlempar dari masa kanak-kanaknya terlalu dini. Ini tentang anak muda yang seharusnya sedang menulis mimpi, malah harus menelan pil setiap hari hanya untuk bertahan hidup. Ini bukan cerita jauh. Ini cerita di sekitar kita. Cerita tentang orang kita sendiri. Dan ini bukan sekadar soal penyakit. Ini soal kemanusiaan.

Banyak dari mereka yang terjangkit HIV tidak pernah punya niat atau pilihan. Ada yang tertular karena tidak tahu. Ada yang menjadi korban ketidaksetiaan pasangan. Ada juga yang hanya ingin bertahan hidup dalam dunia yang tak memberi mereka banyak pilihan. Banyak perempuan muda, bahkan yang masih di usia sekolah, terjerumus ke dalam lingkaran prostitusi—bukan karena mereka ingin, tapi karena hidup menekan mereka ke sudut yang gelap. Mereka datang dari kampung-kampung yang miskin, kota-kota yang sepi pekerjaan, dan keluarga-keluarga yang rapuh. Mereka menjual tubuh bukan karena kehilangan harga diri, tapi karena tidak punya jalan keluar. Di sisi lain, banyak lelaki dari luar datang membawa uang, membawa kuasa, dan membawa kehancuran. Dalam pertemuan yang tanpa perlindungan, tanpa kasih, tanpa kejelasan, virus itu berpindah. Dan dari situlah luka bermula.

Yang paling menyakitkan bukan hanya virusnya, tetapi juga sikap kita terhadap mereka yang terinfeksi. Masih terlalu banyak dari kita yang menganggap HIV sebagai kutukan. Masih banyak yang memandang mereka yang sakit dengan jijik, mencibir dari belakang, atau bahkan mengusir mereka dari lingkungan. Mereka dijauhi, dibisiki, dicurigai. Mereka bukan hanya kehilangan kesehatan, tapi juga kehilangan harga diri. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka bukan musuh, bukan beban, dan bukan ancaman. Mereka adalah manusia—yang ingin dicintai, didengarkan, dan diberi kesempatan seperti kita semua.

Kita sering lupa bahwa luka mereka adalah luka kita juga. Bahwa ketika satu orang Papua jatuh, yang lain pun akan ikut merasakan akibatnya. Kita sering lupa bahwa kasih jauh lebih besar daripada ketakutan. Kita terlalu cepat menghakimi, dan terlalu lambat memeluk. Kita terlalu sering bicara tentang dosa, tapi lupa menunjukkan kasih. Padahal kasih adalah inti dari semua ajaran yang kita imani. Kita tidak akan pernah bisa menyembuhkan Tanah Papua jika kita masih menutup hati pada mereka yang paling membutuhkan uluran tangan.

Itulah sebabnya, kita harus berani membuka mulut dan hati. Kita harus bicara. Kita harus belajar. Kita harus peduli. Pendidikan seksual bukanlah hal yang tabu, melainkan jalan menuju penyelamatan nyawa. Kita harus mulai mengajarkan pada anak-anak kita bahwa tubuh adalah karunia, dan karunia itu harus dijaga dengan hormat dan tanggung jawab. Kita harus memberikan informasi yang benar, bukan hanya larangan kosong. Kita harus menciptakan ruang aman di rumah, di sekolah, di gereja, dan di balai adat, tempat di mana anak-anak muda bisa bertanya dan belajar tanpa takut dihakimi.

Pemerintah harus hadir lebih dari sekadar slogan. Jangan hanya bangun jalan dan jembatan, tapi bangun juga kesadaran dan kepedulian. Layanan kesehatan harus menyentuh kampung-kampung, bukan hanya kota. Obat ARV, layanan VCT, dan pendampingan psikososial harus tersedia dan bisa diakses tanpa diskriminasi. Tenaga medis perlu dilatih untuk tidak hanya mengobati, tapi juga mendengar, memahami, dan memeluk dengan hati. Orang yang datang mencari pertolongan tidak hanya membawa tubuh yang sakit, tapi juga hati yang remuk.

Gereja, sebagai tempat yang paling dipercaya di Tanah Papua, juga harus bersuara. Gereja harus menjadi pelindung, bukan penghakim. Yesus tidak datang untuk menolak orang yang terluka, tapi untuk menyembuhkan. Jika gereja menutup pintu bagi mereka yang hidup dengan HIV/AIDS, maka gereja telah kehilangan roh kasih yang menjadi intinya. Gereja harus menjadi tempat di mana setiap orang, termasuk yang sakit dan terbuang, bisa merasa aman, didengar, dan diberkati.

Para pemimpin adat dan tokoh masyarakat juga memegang peran penting. Mereka memiliki pengaruh kuat dalam tatanan sosial kita. Mereka bisa mengubah budaya diam menjadi budaya bicara, budaya malu menjadi budaya peduli. Mereka bisa melindungi anak-anak muda dari eksploitasi. Mereka bisa mengangkat kembali nilai-nilai luhur bahwa tubuh adalah rumah roh, bahwa perempuan bukan barang dagangan, dan bahwa setiap manusia layak hidup dengan martabat.

Dan kita semua, sebagai sesama anak Papua, sebagai manusia, sebagai ciptaan Tuhan, punya tanggung jawab yang sama. Orang yang hidup dengan HIV/AIDS tidak minta dikasihani. Mereka hanya ingin diterima. Mereka ingin tetap bisa bermimpi, mencintai, bekerja, dan menyumbangkan sesuatu bagi dunia ini. Mereka ingin tahu bahwa mereka tidak sendiri. Bahwa ada saudara-saudara yang tetap berdiri di samping mereka.

Tanah Papua tidak akan pernah benar-benar damai kalau anak-anaknya masih hidup dalam ketakutan dan pengucilan. Kita tidak akan pernah bahagia sepenuhnya jika satu saudara kita hidup dalam penderitaan yang kita tolak untuk lihat. Kita tidak akan menjadi manusia seutuhnya jika kita masih membagi kasih hanya pada mereka yang sehat dan kuat.

Kita bisa sembuhkan Tanah Papua. Bukan hanya dengan obat atau teknologi, tapi dengan hati yang lembut, tangan yang terbuka, dan suara yang jujur. Kita bisa hentikan luka ini jika kita mau saling peluk, saling jaga, dan saling ingat bahwa setiap nyawa di tanah ini berharga. Mari kita lawan stigma. Mari kita putus rantai prostitusi dan eksploitasi. Mari kita sebarkan pengetahuan. Mari kita temani mereka yang terluka, dan katakan dengan tulus: “Kamu tetap anak Papua. Kita tetap bersamamu.”

Karena selama masih ada cinta, harapan tidak pernah benar-benar hilang. ***

Tinggalkan Komentar Anda :