Oleh Dr Edi Hardum, SIP, SH, MH
Advokat dan pengamat hukum
SEJAK dua hari belakangan sebagian masyarakat Indonesia resah menunggu sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Undang-Undang ini mengatur sistem Pemilu dengan proporsional terbuka.
Keresahan itu menjadi-jadi ketika pakar Ilmu Hukum Tata Negara, Denny Indrayana “memprovokasi” bahwa MK telah memutuskan sistem Pemilu dengan proporsional tertutup. Denny mengaku mengaku mendapat informasi dari orang yang kredibel.
Mereka yang resah terutama bakal calon legislatif dari seluruh partai politik (parpol), terutama yang mendapat nomor urut sementara dua ke atas.
“Kalau MK memutuskan sistem Pemilu proporsional tertutup, maka saya mundur dari bakal caleg. Ya, memang saya sudah mengeluarkan uang sudah ratusan juta,” kata seorang bakal caleg DPR RI dari sebuah parpol dari Dapil Nusa Tenggara Timur (NTT) 1 kepada penulis, Senin (28/5).
Bakal caleg kabupaten lainnya dari sejumlah daerah media akun media social mereka seperti facebook mengungkapkan kekhawatiran mereka dengan mengutuk parpol yang mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK. Padahal MK sendiri belum memutuskan hal tersebut.
Tak hanya caleg dibuat resah. Namun, pimpinan parpol terutama parpol-parpol yang elektibilitas kecil, mengandalkan perolehan suara dari kerja para caleg. Bahkan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sebagai petinggi Partai Demokrat kelihatan ikut resah.
Sedangkan yang agak diliputi sukacita bila MK memutuskan sistem Pemilu adalah proporsional tertutup adalah bakal caleg yang sudah mendapatkan nomor urut sementara 1 (satu) dan merasa dekat dengan pengurus parpol.
“Kalau saya senang sekali kalau MK memutuskan sistem pemilu proporsional tertutup. Itu berarti saya tak perlu kerja keras lagi dan tidak usah banyak keluar uang lagi untuk beli suara,” kata seorang bakal caleg dari sebuah parpol untuk satu kabupaten di NTT.
Sistem Pemilu
Sistem proporsional terbuka adalah sistem Pemilu di mana pemilih memih langsung wakil-wakil legislatifnya. Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politik.
Pihak yang mengajukan permohonan uji materi terhadap UU tersebut di atas beralasan, selama ini sistem proporsional terbuka banyak membawa mudarat dibanding manfaat.
Penulis sendiri berpendapat, selama ini dengan sistem proporsional tertuka banyak menghasilkan kualitas orang yang terpilih menjadi anggota dewan terutama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sungguh memprihatikan.
Hal ini disebabkan karena mayoritas masyarakat memilih caleg bukan pada kualitas diri tetapi karena memiliki tali temali kekerabatan karena di sana caleg menebar. Karena itulah, banyak sekali manusia (maaf) berkelas preman menjadi anggota dewan terutama untuk daerah.
Ekses lain dari proporsional terbuka adalah terseretnya tokoh agama dalam politik uang. Seperti di NTT tidak sedikit pastor paroki menjadi “kaki tangan” caleg bahkan parpol. Pastor bangga sekali dekat caleg, jadi jurkam caleg dengan cara sembunyi-sumbunyi atau jurkam kepala daerah dari parpol tertentu. Tuan pastor ini menggunakan mimbar kotbah untuk kampanye dan mengancam umat yang tidak mengikuti kemauannya. Ia menganggap umatnya yang kritis kecil.
Terseretnya tokoh agama seperti pastor dalam politik akibat sistem proporsional terbuka ini juga terjadi di Papua, Sulawesi, dan daerah lainnya. “Oh, bukan saya terjadi di NTT, bro. Di Papua juga banyak pastor jadi tim kampanye caleg. Ini bahaya,” kata seorang wartawan, teman penulis.
Ekses lainnya adalah tersobeknya kohesitas (kerekatan) soal di masyarakat. Paman bisa bermusuhan sama keponakan, bahkan bapak dan anak bermusuhan, gara-gara beda pilihan caleg, termasuk calon presiden (capres).
Dampak negatif lainnya dengan sistem proporsional terbuka selama ini adalah penyakit masyarakat seperti judi, malas dan mabuk-mabukan tidak bisa diberantas karena dipelihara para caleg atau anggota DPR/DPRD terpilih.
Pasalnya, suara satu orang baik seperti rajin bekerja dengan seorang pemalas dan penjudi sama. Jadi seorang caleg tidak mungkin mengkritisi perjudian karena takut kehilangan suara. Makanya di daerah yang judinya marak akan tetap marak.
Kelemahan lain sistem proporsional terbuka sebagaimana disampaikan pihak yang mengajukan uji materi UU tersebut di atas sebagai berikut. Pertama, membutuhkan modal politik yang cukup besar sehingga peluang terjadinya politik uang sangat tinggi.
Kedua, penghitungan hasil suara rumit. Ketiga, sulit menegakkan kuota gender dan etnis. Keempat, muncul potensi mereduksi peran parpol. Kelima, persaingan antarkandidat di internal partai.
Namun, kelebihan sistem proporsional terbuka juga ada. Pertama, mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan. Kedua, terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan kandidat.
Ketiga, pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada kandidat yang dikehendakinya. Keempat, partisipasi dan kendali masyarakat meningkat sehingga mendorong peningkatan kinerja partai dan parlemen.
Sedangkan, kelemahan sistem proporsional tertutup sebagai berikut, Pertama, pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa kandidat caleg yang dicalonkan dari partai politik. Kedua, tidak responsif terhadap perubahan yang cukup pesat.
Ketiga, menjauhkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pascapemilu. Keempat, potensi menguatnya oligarki di internal parpol. Kelima, munculnya potensi ruang politik uang di internal parpol dalam hal jual beli nomor urut.
Kemudian, kelebihan sistem proporsional tertutup adalah sebagai berikut. Pertama, memudahkan pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas karena partai politik yang menentukan calon legislatifnya.
Kedua, bisa meminimalisasi praktik politik uang. Ketiga, meningkatkan peran parpol dalam kaderisasi sistem perwakilan dan mendorong institusionalisasi parpol.
Harus terima
Dalam ilmu hukum ada prinsip hukum yang berbunyi, res judicata pro veritatae habitur, yang berarti putusan hakim harus dianggap benar.
Putusan hakim hanya bisa dibatalkan dengan upaya hukum juga. Seperti putusan pengadilan negeri hanya bisa dibatalkan dengan putusan banding di pengadilan tinggi, dan putusan banding hanya bisa dibatalkan dengan putusan kasasi (Mahkamah Agung).
Putusan kasasi hanya bisa dibatalkan oleh putusan peninjauan kembali (PK), yang merupakan upaya hukum luar biasa. Namun, itu semua proses hukum di pengadilan umum di bawah MA sampai MA sendiri.
Beda dengan putusan hakim MK, putusannya final and binding (terakhir dan mengikat). Tidak ada upaya hukum lagi atas putusan MK.
Karena itulah, kita sebagai rakyat di negara hukum Indonesia harus taati dan jalankan putusan MK. Kalau MK memutuskan proporsional tertutup, ke depan kita terus awasi parpol agar parpol merekrut orang-orang berkualitas menjadi anggota dewan. Jangan sampai parpol memilih “preman” dan orang tak berkualitas menjadi anggota DPR.
Kita tentu berharap agar parpol benar-benar menjalankan tugasnya yakni merekrut calon pemimpin yang berkualitas. Pemimpin di sini selain kepala daerah dan presiden bersama wakil presiden juga orang-orang yang duduk menjadi anggota dewan.
Kalau MK menolak permohonan pemohon uji materi tersebut di atas, kita sebagai rakyat harus memilih orang berkualitas jadi anggota dewan bukan karena anggota keluarga atau karena uang (no money, no honey).
Ingat, pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun daerah dapat menjalankan tugas dengan baik tidak terlepas dari keberadaan dan fungsi legislatif (DPR/DPRD).
Fungsi legislatif sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 adalah legislasi (merancang Undang-Undang bersama pemerintah dan mengesahkannya, kalau di daerah merancang Perda), menetapkan anggaran, dan melakukan pengawasan atas kerja pemerintah. Kalau DPR/DPRD berkualitas maka Indonesia akan maju. Semoga!