Setelah Pemilik Ulayat dan Tokoh Masyarakat Tolak, Uskup Jayapura: Jangan Paksa Bangun Kantor Gubernur di Atas Tanah Adat

Uskup Keuskupan Jayapura Mgr Dr Yanuarius Theofilus Matopai You. Foto: Istimewa

JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Uskup Dioses Jayapura Mgr Dr Yanuarius Theofilus Matopai You meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Pegunungan tidak memaksakan diri membangun kantor gubernur di atas lahan masyarakat adat Walesi dan Wouma, Kabupaten Jayawijaya.

“Jangan dipaksa karena itu lahan untuk berkebun masyarakat. Lahan masyarakat diganggu, saya tidak akan diam. Sekian lama mereka pakai (lahan itu untuk) berkebun. (Kami menolak lahan itu dijadikan kantor, namun) bukan berarti kami tolak pembangunan,” ujar Mgr Matopai dalam diskusi Quo Vadis Papua Tanah Damai? yang digelar Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua mengutip jubi.id Rabu (31/1).

Uskup Matopai menegaskan, pemerintah tidak boleh memaksakan pembangunan kantor itu di tanah adat Walesi dan Wouma. Pemerintah sebelumnya berencana membangun kantor gubernur di atas tanah seluas 108 hektar milik masyarakat adat Walesi dan Wouma.

Rencana itu menuai polemik karena ada pemilik keberatan tanah ulayatnya dijadikan lokasi kantor gubernur. Uskup putra asli Papua itu khawatir akan menimbulkan konflik. Karena itu, ia mengusulkan lokasi pembangunan dipindahkan ke kabupaten lain.

“Apakah penentuan lokasi pembangunan itu mengambil lahan kebun masyarakat merupakan keputusan terakhir DPR, para bupati di Papua Pegunungan atau keinginan dari beberapa orang atau oknum? Cek baik itu. Masih ada lokasi di wilayah lain, kenapa harus dipaksakan? Kenapa (misalnya) tidak di Yahukimo atau Tolikara,” katanya.

Uskup Matopai menambahkan, harus ada pembicaraan bersama terkait rencana pembangunan kantor Pemprov Papua Pegunungan tersebut. Pembangunan kantor gubernur itu perlu dibicarakan dan disepakati bersama dalam forum resmi.

“Harus disetujui bersama dalam forum terhormat yang bersama para bupati, DPR, dan tokoh adat. Lihat tempat yang baik yang tidak membuat konflik. Kalau mendatangkan konflik jangan dipaksakan,” ujarnya.

Benyamin Lagowan, salah seorang pemilik ulayat adat Wouma masih mempersoalkan lokasi pembangunan kantor pusat pemerintahan Pemprov Papua Pegunungan di Wouma-Welesi.

Lagowan lalu melayangkan surat terbuka kepada Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Isi surat itu meminta Ma’ruf Amin meninjau kembali rencana penempatan pusat kantor Pemprov Papua Pegunungan di tanah masyarakat adat Wouma-Welesi.

“Di sekitar lahan adat Wouma-Welesi punya nilai Sejarah. Lahan adat itu tempat sakral dari suku-suku di Wamena,” ujar Lagowan dalam surat terbuka yang salinannya diterima Odiyaiwuu.com dari Wamena, Jayawijaya, Papua Pegunungan, Senin (28/8).

Menurut Lagowan, lahan yang akan dipakai merupakan lahan kosong tersisa yang hampir sepenuhnya, 90 persen digunakan oleh masyarakat adat untuk menanam tanaman pangan lokal seperti ubi jalar, keladi, singkong, sayur-sayuran dan buah-buahan. Masyarakat, katanya, masih menggunakan sistem pertanian berpindah-pindah sehingga semua lahan yang ada masih dikelola.

Pascapengesahan Papua Pegunungan sebagai provinsi baru, Penjabat Gubernur Nikolaus Kondomo bersama sejumlah pimpinan dinas dan instansi terkait mempersiapkan lahan pembangunan kantor gubernur di Walesi. Namun, pilihan lokasi pembangunan itu menuai kritik tokoh masyarakat asal Papua Pegunungan.

“Penempatan lokasi pembangunan kantor Gubernur Papua Pegunungan tidak strategis. Letaknya (di Walesi) terlalu di bawah kaki gunung, sulit untuk pengembangan kota ke depan,” ujar tokoh masyarakat asal Papua Pegunungan Paskalis Kosay kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Selasa (7/2).

Paskalis juga mempertanyakan apa dasar pertimbangan Pemprov Papua Pegunungan memilih Welesi yang masih bersengketa sebagai lokasi pembangunan gedung kantor Gubernur Papua Pegunungan.

Padahal, ujar Paskalis, bila ditinjau dari berbagai aspek daerah Welesi tidak memadai, sempit, dan merupakan lokasi tempat masyarakat lokal berkebun dan sering terjadi sengketa kepemilikan antara masyarakat Welesi dengan masyarakat Wouma.

“Idealnya, lokasi yang sangat strategis itu di lahan milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Gunung Susu. Lokasi ini sudah dilepas masyarakat adat kepada LIPI sehingga sudah menjadi milik negara. Pilihan lokasi di Gunung Susu ideal karena tanpa resiko biaya maupun tuntutan ganti rugi masyarakat,” katanya.

Selain itu, kata Paskalis, kemungkinan pengembangan kota masih terbuka luas sehingga sebaiknya Pemprov Papua Pegunungan segera meninjau kembali penentuan lokasi pembangunan kantor gubernur yang lebih strategis.

Pilihan lokasi strategis tersebut dengan penting dilihat dari aspek kepentingan ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan keamanan. Artinya, penentuan lokasi dimaksud bukan sekadar memilih tempat tetapi tidak memberikan dampak positif bagi kepentingan umum dalam jangka panjang.

“Saya mendapat informasi (Selasa, 7/2) pagi, masyarakat bersama mahasiswa dan tokoh-tokoh yang memandang tanah dan adat Welesi bukan hak perorangan tetapi tanah sengketa yang dipropaganda pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan. Tidak semua tanah di Welesi disepakati untuk dibarter atau dijual, apalagi hibah,” lanjut Paskalis.

Penjabat Gubernur Papua Pegunungan Nikolaus Kondomo ketika dikonfirmasi soal pilihan lokasi di Welesi yang masih menuaki kritik, belum merespon pesan singkat (SMS) yang dikirim media ini. Lokasi Walesi, dikritik tokoh asal Papua Pegunungan Paskalis Kosay lokasi tanah itu masih dalam sengketa antarwarga. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)