Masalah Papua: Dialog atau Perang? - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Masalah Papua: Dialog atau Perang?

Masalah Papua: Dialog atau Perang? Gambar Ilustrasi: Istimewa

Loading

SEJAK integrasi Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, masalah Papua belum pernah benar-benar selesai. Ketegangan politik, konflik bersenjata, pelanggaran hak asasi manusia, serta ketimpangan pembangunan menjadi luka yang terus terbuka. Bahkan hingga hari ini, perang senyap dan terbuka antara aparat negara (TNI–POLRI) dan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN–OPM) terus berlangsung. Tidak sedikit anggota TNI–POLRI dan pejuang TPN–OPM yang berguguran. Lebih menyedihkan lagi, warga sipil—baik orang asli Papua maupun non-Papua—sering kali menjadi korban kekerasan dan pembunuhan yang tidak berkesudahan.

Situasi ini mengundang pertanyaan mendasar: apakah negara menghendaki penyelesaian masalah Papua melalui dialog atau perang?

Jika kita mengacu pada konstitusi dan prinsip demokrasi yang dianut Indonesia, maka jalan dialog seharusnya menjadi pilihan utama dan mutlak. Konstitusi mengamanatkan perlindungan terhadap seluruh warga negara tanpa terkecuali, termasuk masyarakat adat Papua. Namun realitas di lapangan tidak selalu mencerminkan hal ini. Pendekatan keamanan yang dominan justru memperparah ketegangan dan memperkuat kecurigaan bahwa negara tidak berniat mendengar jeritan rakyat Papua secara tulus.

Padahal, kita tidak bisa menutup mata bahwa di sebagian wilayah Papua, aspirasi kemerdekaan tetap hidup dan kuat. Ini adalah fakta politik yang tidak dapat diselesaikan dengan kekuatan senjata atau pelabelan semata. Sejarah bangsa ini mencatat bahwa ketidakadilan dan kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah luka dan memperpanjang penderitaan. Maka pertanyaannya kini bukan lagi apakah rakyat Papua bersalah karena ingin merdeka, tetapi apakah negara telah cukup adil dan terbuka terhadap aspirasi mereka?

Dialog bukan berarti menyerah pada tuntutan separatisme. Dialog justru adalah cara negara yang beradab untuk menyelesaikan masalah yang berakar panjang dan dalam. Dialog membuka ruang untuk saling mendengar, memahami, dan mencari solusi bersama tanpa saling melukai. Dialog dapat dimulai dari pengakuan akan adanya ketimpangan, evaluasi pelaksanaan otonomi khusus, perlindungan terhadap hak-hak dasar, serta penghormatan terhadap budaya dan martabat orang asli Papua.

Memilih perang berarti memperpanjang penderitaan dan memperluas jurang pemisah. Tapi memilih dialog adalah tanda keberanian moral dan kematangan politik. Negara seharusnya tidak takut untuk berdialog dengan rakyatnya sendiri—termasuk mereka yang memiliki pandangan berbeda tentang masa depan Papua.

Sudah saatnya negara menunjukkan sikap yang lebih manusiawi, terbuka, dan demokratis. Dialog yang tulus dan bermartabat adalah satu-satunya jalan untuk menciptakan Papua yang damai, adil, dan sejahtera dalam bingkai NKRI yang utuh. Perang mungkin bisa menguasai wilayah, tetapi hanya dialog yang bisa merebut kembali hati rakyat Papua. (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :