Ketua SKP Keuskupan Agats-Asmat Pastor Lukas Lega Sando, Pr Dianiaya Hingga Patah Tulang Hidung

Ketua Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agats-Asmat sekaligus Anggota Tim Seleksi Festival Asmat Pokman (FAP) 2025 Pastor Lukas Lega Sando, Pr tengah menjalani perawatan medis. Pastor Lukas dan Direktur Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat John Ohoiwirin dianiaya di Kampung Youw, Distrik Betcbamu, Kabupaten Asmat, Papua Selatan, Sabtu (16/8). Sumber foto: tiffanews.co.id, Sabtu, 23 Agustus 2025

Loading

ASMAT, ODIYAIWUU.com — Ketua Komisi Kebudayaan Keuskupan Agats-Asmat John Ohoiwirin dan Ketua Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agats-Asmat Pastor Lukas Lega Sando, Pr, Sabtu (16/8) dianiaya di Kampung Youw, Distrik Betcbamu, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Selatan.

John Ohoiwirin adalah Direktur Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat sekaligus Ketua Tim Seleksi Festival Asmat Pokman (FAP) Tahun 2025. Sedangkan Pastor Lucky —sapaan akrab Lukas Lega Sando, Pr— adalah Anggota Tim Seleksi Festival Asmat Pokman.

FAP merupakan ajang kebudayaan rutin digelar dan menjadi kebanggaan masyarakat Asmat. Namun, buntut penganiayaan tersebut FAP tahun 2025 berada di ujung tanduk. Harapan besar untuk melestarikan seni, ukiran, dan tradisi leluhur Asmat terancam kandas setelah dua tokoh kunci penyelenggara mengalami penganiayaan.

John Ohoiwirin dan Pastor Lukas Lega Sando diserang oleh sekelompok warga dari Kampung Warkai sebelum proses seleksi dimulai. Serangan itu meninggalkan luka fisik maupun batin. John mengalami luka di kepala dan memar di tubuh akibat hantaman benda tumpul. Sedangkan Pastor Lucky menderita patah tulang hidung.

Kedua korban sempat mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Perpetua J Safanpo Agats sebelum akhirnya dirujuk ke Timika, kota Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah untuk menjalani perawatan lebih lanjut. Meski sudah ditangani pihak medis, korban dan keluarga masih mengalami trauma.

“Untung saja ada Pastor Lucky (Pastor Lukas Lega Sando, Pr) dan dua dewan gereja yang langsung melindungi saya. Waktu itu saya sudah lemas,” ujar John Ohoiwirin dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca mengutip keuskupanagats.or.id, laman resmi Keuskupan Agats-Asmat di Agats, Kabupaten Asmat, Papua Selatan, Sabtu (23/8).

John juga mengungkapkan kesedihan hatinya mengingat ia sudah lebih dari 20 tahun bekerja untuk Asmat dan kebudayaan setempat. Namun, kali ini ia mengalami peristiwa yang memilukan dan merasa trauma. Bahkan John mengaku ikhlas untuk tanah ini dan percaya bahwa leluhur Asmat tahu peristiwa kelam yang menimpanya. 

“Untuk sekadar mendapat untung, saya memilih untuk tidak ikut menjaga, merawat, dan melestarikan budaya ini karena ada pekerjaan lain yang cukup menjanjikan. Namun saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan budaya ini,” ujar John, pria yang pernah belajar tentang tata kelola museum, dan display di Queensland University, Australia.

Seleksi Festival Asmat Pokman sejatinya sudah berjalan pada beberapa titik seleksi seperti di Bayun Krongkel, Primapun, dan Basim Fait. Namun akibat peristiwa penganiayaan ini, sejumlah titik lain di Asmat tertunda. Waktu pelaksanaan semakin dekat, namun ketidakpastian makin terasa.

Kekerasan ini tidak hanya melukai tubuh dua tim seleksi, keluarga maupun pihak Keuskupan Agats tetapi juga melukai harapan seluruh masyarakat Asmat yang mendambakan ruang untuk menampilkan karya dan menjaga jati diri mereka melalui festival tersebut. 

Apa yang terjadi menjadi tamparan keras bahwa merawat budaya membutuhkan keberanian menghadapi tantangan bahkan dari dalam rumah sendiri. Kini, Asmat menunggu, apakah festival akan tetap berjalan atau trauma dan kekerasan ini akan memadamkan api semangat yang telah dijaga turun-temurun. (*)