KUNJUANGAN Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, Albert K. Barume, ke Papua pada 4–5 Juli 2025 adalah peristiwa penting yang mengangkat kembali suara orang asli Papua ke panggung internasional. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, pejabat independen dari Perserikatan Bangsa-Bangsa mendengar langsung kesaksian warga adat Papua tentang penderitaan dan ketidakadilan yang telah mereka alami selama puluhan tahun.
Selama ini, jeritan orang asli Papua kerap ditelan sunyi. Mereka hidup dalam tekanan struktural dan ketakutan akibat kebijakan negara yang lebih mengedepankan pendekatan keamanan dibanding pendekatan kemanusiaan. Banyak di antara mereka kehilangan hak atas tanah adat, sumber daya alam, dan lingkungan hidup yang selama ini menjadi dasar identitas dan penghidupan. Narasi pembangunan yang dibawa ke Papua sering kali mengabaikan keterlibatan aktif masyarakat adat sebagai subjek pembangunan.
Dalam kunjungannya, Barume mendengar langsung kisah tentang perampasan tanah, penggusuran paksa, kekerasan, dan kerusakan lingkungan. Ia juga mencatat keluhan masyarakat terkait minimnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan hak politik yang setara. Fakta-fakta ini memperkuat laporan dan sorotan sebelumnya bahwa Papua mengalami ketimpangan struktural yang sangat dalam. Namun suara rakyat Papua acap kali dibungkam atau dikerdilkan menjadi isu separatisme belaka.
Kehadiran Pelapor Khusus PBB ini memberikan harapan baru. Dunia mulai membuka telinga. Dan lebih dari itu, kunjungan ini memperlihatkan bahwa perjuangan orang asli Papua untuk keadilan bukan isapan jempol, melainkan realitas pahit yang telah lama mereka tanggung sendiri. Kunjungan ini juga memberi tekanan moral kepada negara agar lebih terbuka, adil, dan bertanggung jawab terhadap wilayah yang selama ini dianggap penuh tantangan politik dan keamanan.
Namun harapan saja tidak cukup. Kunjungan ini harus menjadi titik balik bagi pemerintah Indonesia untuk bersikap jujur dan terbuka terhadap sejarah, luka, serta aspirasi masyarakat Papua. Negara harus berpindah dari pendekatan kekuasaan menuju pendekatan keadilan dan penghormatan hak asasi manusia. Tidak ada pembangunan yang berhasil tanpa melibatkan dan menghormati pemilik tanah, apalagi jika dilakukan dengan kekerasan atau paksaan.
Orang asli Papua tidak menuntut lebih. Mereka hanya ingin hidup dengan martabat di tanah leluhur mereka sendiri, tanpa rasa takut dan tanpa kehilangan hak dasar mereka. Mereka ingin menjadi bagian dari masa depan yang mereka pahami, bangun, dan nikmati sendiri.
Kini, ketika dunia internasional mulai mendengar, Indonesia harus lebih dulu mendengar. Karena Papua bukan hanya bagian dari wilayah geografis negara ini, tetapi juga bagian dari nurani bangsa. Jika suara mereka terus diabaikan, sejarah akan mencatat bahwa bangsa ini gagal menjaga keadilan di dalam rumahnya sendiri. Saatnya mendengar Papua—bukan karena tekanan dunia, tetapi karena tuntutan hati nurani. (Editor)