Oleh Alex Runggeary
Pernah Bekerja di Freeport Indonesia dan The Irian Jaya Joint Development Foundation
PENULIS baru menyadari, ada dua tipe manusia di lingkungan sosial seperti disebutkan pada judul di atas. Tentu saja ini berdasarkan pengamatan dan interaksi dengan berbagai pihak.
Tulisan ini sebagai bagian dari tulisan terdahulu, Pembangunan Papua dan Kunci Yang Tertinggal tentang kedatangan KH Ma’ruf Amin, Wakil Presiden sekaligus Ketua Badan Pengarah Percepatan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) di Jayapura pada Senin (4/9).
Kembali ke judul di atas, saya terakhir bicara dengan Samy Korwa, eks surveyor UG Freeport Indonesia, utamanya tentang dua hal yang membuatnya frustrasi. Pertama, tentang pikirannya berdasarkan pengalaman kerjanya, “Om, saya pikir Jayapura masa depan, kita sudah harus berpikir tentang efisiensi pembangunan dan efeknya terhadap masyarakat luas.
Khususnya mengenai arus lalu lintas yang semakin padat. Saya pernah usul agar kita bangun terowongan dari belakang Bank Papua tembus di bawah Kantor Walikota Entrop. Hanya 1,7 kilo meter. Dalam terowongan bisa saja kita bangun cabang-cabang berbagai arah, termasuk pelabuhan.
Kedua, saya mau beli kapal untuk penangkapan ikan di perairan Biak. Rakyat kita miskin di atas potensi alamnya yang kaya karena kita tidak bisa membantu dengan cara yang benar.
Kita belum bicara potensi emas yang bertebaran di mana-mana. Saya sudah sampai diberbagai lokasi itu. Masyarakat tidak tahu. Mereka duduk di atas emas. Makan pinang dengan mereka sambil ngobrol di dapur. Kasih keluar rokok dan kopi. Mereka buat kopi kita minum.
“Model pengelolaan emas yang saya sarankan ini tetap akan menguntungkan pemilik hak ulayat karena selain mereka menerima uang hasil dulang, anak anak mereka dijamin sekolahnya dengan sistem bagi hasil”.
Setelah perbincangan kami, saya lalu merenung. Tidak hanya saya yang frustrasi dengan pembangunan di Papua, khususnya pembangunan ekonomi rakyat. Tetapi, Samy dan banyak Samy lain ternyata seperti saya yang tak digubris masukan kami. Mengapa ya? Sayapun berkesimpulan seperti judul di atas.
Dua alasan
Kelompok pertama terbentuk mentalnya demikian karena dua alasan utama. Pertama, mereka umumnya para profesional lulusan luar negeri. Kedua mereka yang bekerja sebagai karyawan pada perusahan asing berstandar internasional. Kedua kelompok ini pada umumnya, sekali lagi, umumnya, dalam cara berpikir dan mengadu argumen disadari atau tidak berorientasi pada hasil.
Karyawan perusahan asing sudah terbiasa bekerja dengan ukuran keberhasilan berupa key performance indicators (KPI). Pola kerja ini membekas dalam darah dan nafas mereka, kemanapun mereka pergi. Para profesional dan karyawan perusahaan asing ini memiliki apa yang disebut common denominator yaitu sedang atau pernah secara intens berinteraksi dengan nilai nilai standar internasional. Saya sebut manusia Y atau yield, hasil
Ketika mereka di tengah kehidupan keseharian dan harus bersama sesama teman lain di tengah masyarakat luas yang tak memiliki faktor Y, mereka cenderung frustrasi karena umumnya didominasi oleh manusia tipe kedua. Saya sebut kelompok ini manusia B. Banyak bicara tapi blur, tak berujung alias kabur. Mereka ini pintar bicara dan senang bicara kwalitatif. Biasa disebut motherhood statements. Nampak sekilas hebat berbobot. Tetapi bila ditelusuri lebih jauh, hampa tak berisi.
Sayangnya, ketika berbicara tentang pembangunan rakyat yang tak nampak hasil nyatanya, kelompok Y (pertama) selalu kalah dengan kelompok B (kedua). Mengapa bisa demikian? Bisa karena biasa! Semboyan motivasi diri yang keliru tempat.
Hampir kebanyakan orang berpikir dengan pola kedua ini karena hampir mereka menguasai semua lini kehidupan. Ketika pada kenyataannya fakta menunjukkan kegagalan pembangunan rakyat yang perlu perbaikan, mereka mendemonstrasikan pola pikir yang sama. Rumusan baru yang lebih canggih tetapi tetap tidak berorientasi hasil.
Ingat, hasil itu tidak semata mata penyerapan anggaran. Tetapi apa, siapa, berapa, di mana, kapan, hasil hasil pembangunan sebagaimana yang direncanakan dari awal telah dicapai. Ini disebut indikator dan ini hakekat pembangunan berorientasi hasil. Ternyata ini luput dari berbagai proses perbaikan pola pembangunan yang terjadi.
Kalau sudah seperti ini percaya atau tidak, rakyat kebanyakan akan semakin jauh dari sentuhan pembangunan yang diinginkan pemerintah. Apakah kita akan menjadi keledai yang terus terantuk pada batu yang sama? Semoga saja tidak. Tapi berdoa saja tidak cukup, harus ada tindakan nyata.