DAERAH  

Kasus DPRK Paniai yang Menyeret Nama Gubernur Papua Tengah Akan Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Gedung Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Foto: liputan6.com, 29 Mei 2015

Loading

ENAROTALI, ODIYAIWUU.com — Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Manado dinilai melakukan penyelundupan fakta hukum terkait penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Paniai terpilih periode 2024-2029 jalur pengangkatan orang asli Papua (OAP) untuk keterwakilan perempuan.

Perkara yang teregister dengan Nomor 05/G/2025/PTTUN.MDO itu diajukan anggota DPRK Paniai Ance Boma selaku penggugat melawan Bupati Paniai selaku tergugat satu dan Gubernur Papua Tengah selaku tergugat dua.

Ance, anggota DPRK Daerah Pengangkatan (Dapil) Paniai II, melaporkan kasus itu ke Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung, Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia, dan akan dilaporkan juga ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Laporan itu dilayangkan karena para terlapor dinilai melakukan penyelundupan fakta hukum dalam putusan kasus DPRK Paniai yang menimpa Ance.

“Dugaan penyelundupan fakta hukum itu terlihat jelas dimana antara fakta hukum yang dimuat dalam putusan sangat bertentangan dengan bukti-bukti di persidangan,” ujar kuasa hukum Ance, Frederika Korain dari kantor hukum Veritas Law Office dari Enarotali, kota Kabupaten Paniai, Papua Tengah, Selasa (2/9).

Menurut Frederika, dalam persidangan para tergugat secara terang dan jelas sudah mengakui secara eksplisit melalui bukti dan daftar alat bukti bahwa hasil seleksi baru diumumkan tanggal 2 Mei 2025.

Hal ini, lanjut Frederika, dibenarkan pula oleh ketua panitia seleksi di muka persidangan. Anehnya, majelis hakim dalam putusan menyatakan bahwa hasil seleksi sudah diumumkan tanggal 10 Februari 2025.

“Majelis hakim menyatakan tergugat satu dalam hal ini Bupati Paniai tidak mengajukan bukti surat maupun saksi meskipun telah diberi kesempatan yang patut oleh pengadilan. Padahal faktanya, para tergugat sudah mengajukan bukti secara bersama-sama dengan kode bukti T-1 sampai dengan T-13,” kata Frederika.

Frederika menjelaskan, majelis hakim dalam putusannya tidak cermat dan hati-hati dengan menyatakan Gubernur Papua Papua Barat Daya menetapkan Panitia Seleksi Anggota DPRK Paniai melalui mekanisme pengangkatan. 

Padahal, faktanya Kabupaten Paniai merupakan kabupaten di wilayah Provinsi Papua Tengah. “Kejanggalan-kejanggalan dalam putusan itu begitu mudah dimanipulasi melalui dokumen-dokumen persidangan,” ujar Frederika lebih lanjut.

Menanggapi putusan itu kuasa hukum penggugat lainnya, Fatiatulo Lazira, SH menyatakan sudah menempuh upaya hukum. “Secara resmi, kami sudah mengajukan upaya hukum di Mahkamah Agung RI pada 25 Agustus 2025,” kata Fati.

Menurut Fati, putusan yang dinilai menyelundupkan fakta-fakta hukum itu telah mencederai rasa keadilan dan mengaburkan tegaknya kebenaran. Pihaknya juga sudah mengajukan pengaduan terhadap majelis hakim. 

Pengaduan tersebut dilayangkan kepada Bawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, termasuk mempersiapkan pengaduan atau laporan ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen.

“Kami juga minta agar Pengadilan Negeri Nabire tidak melakukan pelantikan terhadap anggota DPRK Paniai yang sedang dalam sengketa ini demi tegaknya hukum dan keadilan,” ujar Fati. (*)