Oleh Dr Methodius Kossay, SH, M.Hum
Koordinator Penghubung Komisi Yudisial RI Wilayah Papua
Hakim merupakan profesi mulia. Profesi ini dijalankan orang-orang terpelajar, kaum inteletual bergelar sarjana. Dalam menjalankan profesi, hakim wajib menjaga integritas, memerlukan ketelitian, ketekunan, dan dedikasi tinggi menegakkan keadilan. Selama menjalankan profesi mulianya, hakim juga harus menjaga rambu-rambu saat menjalankan tugas pokok dan fungsinya serta kode etik profesi.
Ada organisasi atau lembaga eksternal yang dibentuk untuk melakukan pengawasan dan memberikan sanksi terhadap hakim bila ia melanggar kode etik. Lembaga pengawasan dimaksud yaitu Komisi Yudisial Republik Indonesia (selanjutnya, KY). KY memiliki kewenangan mengawasi hakim dalam bidang etik seorang hakim (perilaku hakim).
Tujuannya, menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim sehingga ia tidak melanggar kode etik pedoman perilaku dan pengawasan hakim secara internal dari Mahkamah Agung Republik Indonesia terutama terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim serta teknis peradilan, administrasi dan keuangan.
Dengan demikian, seorang hakim dituntut untuk harus bisa mendorong, menegakkan, dan meningkatkan jaminan independensi dalam pelaksanaan tugas peradilan yang baik secara individu maupun kelembagaan.
Independensi hakim
Di dalam amandemen keempat UUD 1945 Pasal 24 ayat 1 ditegaskan sifat dan karakter kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat 1 menyatakan, “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dalam negara demokrasi, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip yang penting.
Simon Shetreet dalam Judicial Independence: New Conceptual Dimensions and Contemporary Challenges (1985) membagi independensi peradilan (independence of the judiciary) menjadi empat hal. Pertama, substantive in independence atau independensi dalam memutus perkara.
Kedua, personal independence. Misalnya adanya jaminan masa kerja dan jabatan, internal independence, misalnya independensi dari atasan dan rekan kerja. Ketiga, collective independence. Misalnya, adanya partisipasi pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan budget pengadilan.
Kata “yang merdeka “ dalam uraian di atas merupakan prinsip dasar dari kekuasaan kehakiman agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik secara langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain.
Termasuk teman sejawat, atasan, keluarga, serta pihak-pihak lain di luar peradilan. Sehingga hakim dalam memutus perkara hanya demi keadilan berdasarkan hukum, hati nurani dan moralitas dalam menjaga wibawa peradilan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kekuasaan kehakiman
Dalam mewujudkan peradilan yang bersih dan bebas dari KKN, hakim dalam lingkungan Mahkamah Agung wajib menjaga independensi kekuasaan kehakiman dalam konteksi negara hukum Indonesia. Perlu usaha yang harus dilakukan untuk menjaga kemandirian badan peradilan di Indonesia dalam konteks independensi peradilan.
Professor Ilmu Sosial California Institute of Technology John A. Ferejohn mengemukakan, secara prinsip tujuan dari kemerdekaan yudisial adalah untuk memfasilitasi tiga nilai. Pertama, kemerdekaan yudisial merupakan kondisi yang diperlukan untuk memelihara negara hukum.
Kedua, dalam suatu pemerintahan, hanya hukum yang secara konstitusional memiliki legitimasi yang harus ditegakkan dan pengadilan harus memiliki kemampuan untuk melakukan tugas dalam memutuskan hukum tersebut. Karena itu, terdapat kebutuhan agar pengadilan memiliki kemerdekaan untuk membatalkan aturan hukum yang melanggar nilai-nilai tersebut.
Ketiga, dalam negara demokrasi, pengadilan harus memiliki otonomi yang kuat dalam menolak godaan untuk memberikan penghormatan terlalu banyak ada pemegang kekuasaan ekonomi atau politik.
Integritas hakim
Independensi hakim harus ditegakkan oleh individu hakim dan institusinya. Dalam menjaga dan menegakkan independensi hakim berpengaruh terhadap situasi dan kondisi budaya masyarakat setempat. Di Papua, misalnya, banyak masyarakat dari luar Papua datang dan tinggal dengan orang asli Papua atau masyarakat lokal.
Proses penyelesaian masalah di pengadilan yang tidak fair sehingga banyak masyarakat yang mengeluh terkait independensi hakim. Maka kemandirian atau independensi peradilan harus dijaga dari segala tekanan, pengaruh dan campur tangan dari siapapun.
Karena independensi peradilan merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum yang merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan.
Prinsip ini harus melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi peradilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.
Hakim tidak berpihak
Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik secara individunya, maupun institusi dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim.
Misalnya, intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik dan ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik tertentu yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, dan bentuk lainnya.
Kemerdekaan hakim sangat berkaitan dengan sikap tidak berpihak atau sikap imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya.
Demikian pula lembaga peradilan yang tergantung pada orang lain dalam bidang tertentu tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugas.