OPINI  

Dua Tahun TV dan Narasumber Indonesia “Membantu” Hamas dengan Emosi

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)

DUA tahun telah berlalu sejak 7 Oktober 2023, hari ketika Hamas melancarkan serangan mengejutkan ke Israel. Peristiwa itu bukan hanya mengguncang Timur Tengah, tetapi juga meninggalkan jejak panjang di ruang publik Indonesia. Dari jalanan yang dipenuhi aksi solidaritas hingga layar televisi yang menyajikan debat panas setiap malam, gema perang Gaza begitu terasa di sini.

Dalam dua tahun terakhir, televisi dan narasumber di Indonesia seakan menjadi corong emosi. Mereka tidak mengirimkan senjata, tidak pula berperan dalam diplomasi, tetapi lewat air mata, teriakan, dan framing yang penuh simpati, mereka ikut memperkuat narasi Hamas. Konflik yang jauh di sana hadir di ruang keluarga kita sebagai drama yang menguras emosi, bukan sebagai diskusi yang mencerahkan.

Panggung Emosi yang Jadi Tontonan

Sejak hari-hari pertama perang, televisi Indonesia seperti menemukan bahan bakar baru. Program debat dan talkshow politik, yang memang sejak dulu mengandalkan tensi tinggi, kini punya isu yang mampu membakar emosi publik. Dari Oktober hingga Desember 2023, hampir tiap pekan topik Gaza menghiasi layar kaca.

Formatnya sudah bisa ditebak: narasumber pro-Palestina yang penuh api semangat dipertemukan dengan narasumber pro-Israel yang berusaha menjelaskan posisi berlawanan. Penonton menunggu bukan untuk mendengar analisis, melainkan siapa yang lebih keras bersuara, siapa yang lebih lantang membantah. Televisi pun tidak berusaha meredam tensi, malah seolah membiarkan drama itu berkembang.

Hasilnya, setiap episode jadi viral di media sosial. Potongan video beredar di WhatsApp, Instagram, hingga TikTok. Bukan argumen yang dikutip publik, melainkan teriakan, ekspresi marah, atau tangisan. Televisi menjual emosi, dan penonton membelinya dengan antusias.

Debat Panas, Ledakan Emosi, dan Tokoh yang Berulang

Salah satu momen yang paling diingat tentu saja debat pada 16 Oktober 2023. Di situ, ustaz Haikal Hassan berhadapan dengan aktivis pro-Israel Monique Rijkers. Apa yang semula dimaksudkan sebagai dialog soal status Hamas, dengan cepat berubah jadi adu suara. Argumen saling dipotong, tuduhan saling dilontarkan, dan suasana studio pun meledak. Tayangan itu viral keesokan harinya, ditonton jutaan kali, dan hingga kini masih terus diputar ulang.

Hanya dua minggu kemudian, pada 30 November 2023, suasana panas kembali tercipta. Seorang peneliti dari BRIN berdebat dengan aktivis pro-Israel dalam sebuah program malam. Kata “hoaks” dilontarkan berulang kali dengan nada meninggi, jari telunjuk saling mengarah, dan studio mendidih oleh suara-suara yang saling tindih. Potongan tayangan itu tersebar luas sejak awal Desember, dengan judul-judul yang menekankan betapa panasnya debat malam itu.

Tak lama berselang, pada akhir tahun yang sama, seorang relawan medis menceritakan penderitaan anak-anak Gaza. Gambaran rumah sakit yang kehabisan obat, korban yang berjatuhan, dan jenazah yang menumpuk membuat salah satu panelis tak kuasa menahan tangis. Adegan ini viral di TikTok pada minggu pertama Desember 2023 dan menjadi salah satu potongan televisi paling emosional sepanjang tahun itu.

Sepanjang 2024, wajah-wajah yang sama kembali memenuhi layar. Haikal Hassan terus hadir dengan retorika lantangnya, sementara Monique Rijkers tetap menjadi lawan setia dalam berbagai episode. Ade Armando sempat membuat heboh ketika menyebut Hamas sebagai organisasi yang salah arah, pernyataan yang memicu gelombang reaksi keras di media sosial. Syekh Ahmad Almisry tampil dengan gaya religius penuh emosi, suaranya meninggi saat membicarakan penderitaan rakyat Gaza. Di sisi lain, Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional, sering mengisi kursi debat dengan intonasi tegas. Dalam tayangan awal 2024 ia berulang kali meninggikan suara menolak klaim lawan, dan pada Juli 2024 ia tampil berapi-api dalam diskusi yang menuding Amerika berada di balik kekuatan Israel.

Tahun berikutnya, 27 September 2025, Hikmahanto kembali jadi sorotan. Kali ini komentarnya soal aksi walk out sejumlah negara terhadap pidato Perdana Menteri Israel di PBB dikutip luas media. Nada bicaranya masih sama: tegas, meninggi, dan penuh keyakinan.

Nama-nama inilah yang sejak 2023 hingga 2025 membentuk pola tontonan yang bisa ditebak. Drama mereka selalu sama, tetapi tetap laku di pasaran.

Presenter dan Framing Media

Namun panggung emosi itu tak hanya dimainkan oleh narasumber. Presenter televisi juga berperan mempertebal suasana. Sejak awal Oktober 2023, banyak acara dibuka dengan narasi yang sudah penuh emosi. Kata-kata seperti “kebiadaban militer Israel” atau “pembantaian di Gaza” mengisi kalimat pengantar. Intonasi yang menekan membuat penonton seakan diarahkan untuk sejak awal menaruh simpati pada Palestina.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pun sering berbeda arahnya. Narasumber pro-Palestina diberi ruang untuk memperluas narasi penderitaan, sementara narasumber pro-Israel kerap dipotong atau ditantang balik dengan nada tinggi. Dalam situasi seperti ini, presenter tidak lagi sekadar menjadi moderator, melainkan bagian dari dramatisasi itu sendiri.

Dari sisi visual, framing yang ditampilkan televisi pun nyaris seragam dari 2023 hingga 2025. Layar kaca dipenuhi gambar rumah yang hancur, anak-anak yang menangis, korban yang berjatuhan. Sebaliknya, suara dari pihak Israel sangat jarang mendapat ruang. Dengan kombinasi antara narasi presenter dan visual yang dipilih, arah emosi penonton pun jelas diarahkan pada simpati tunggal.

Dua Tahun Berlalu: Emosi yang Tak Pernah Padam

Kini kita berada di 7 Oktober 2025, tepat dua tahun setelah perang meletus. Jika kita menengok ke belakang, pola itu begitu jelas. Dari adu mulut Haikal Hassan dan Monique Rijkers pada Oktober 2023, perdebatan keras tentang hoaks di akhir November, hingga tangisan narasumber di Desember 2023, semuanya memperlihatkan televisi lebih senang menjual emosi daripada menghadirkan analisis.

Sepanjang 2024, nama-nama seperti Ade Armando, Syekh Ahmad Almisry, dan Hikmahanto Juwana kembali muncul dengan gaya bicara keras dan penuh emosi. Dan pada September 2025, Hikmahanto kembali menegaskan posisi emosionalnya lewat komentar tentang sidang PBB. Dua tahun penuh drama televisi, dua tahun penuh narasi emosional yang berulang-ulang.

Fenomena ini akhirnya memperlihatkan satu hal: televisi dan narasumber Indonesia tanpa sadar telah membantu Hamas lewat emosi. Mereka ikut membangun opini publik yang simpati, mengukuhkan narasi heroik Hamas, dan membuat polarisasi semakin dalam. Dukungan emosional itu tidak membuat Hamas menang di medan perang, tetapi membuat mereka menang di hati banyak orang Indonesia.

Pertanyaan besar yang tersisa: apakah media kita masih menjalankan fungsi jurnalisme untuk mencerdaskan publik, ataukah hanya menjual drama demi rating? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka bisa dipastikan suara meninggi di studio akan terus bersahut-sahutan dengan dentuman bom di Gaza, dan televisi Indonesia akan tetap menjadi panggung yang tanpa sadar membantu Hamas dengan emosi.