OPINI  

Doa dan Asa di Tengah Wajah Paradoks Papua

Dr Yosua Noak Douw, S.Sos, M.Si, MA, Doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua. Foto: Istimewa

Oleh Yosua Noak Douw

Doktor lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua

TANAH Papua kembali berada di babak menentukan sejarahnya: persimpangan antara doa dan darah, antara harapan yang dirawat dan kekerasan yang diwariskan. Selama puluhan tahun, mata Masyarakat bumi Cenderawasih menyaksikan satu pola berulang. Ketika peluru dilepaskan, layanan publik berhenti.

Ketika operasi keamanan digelar, rasa aman warga luntur. Di balik setiap tembakan ada kelas yang kosong, Puskesmas yang gelap, pasar yang sepi, dan keluarga yang mengungsi. Pertanyaannya sederhana tetapi menuntut keberanian moral: apakah kita akan melanjutkan pola yang sama dengan berharap hasil yang berbeda?

Peluru tidak pernah menyelesaikan masalah. Sejarah dunia menyingkap satu hukum sederhana: senjata hanya menciptakan kemenangan sesaat dan luka menganga lebar dalam durasi panjang. Papua tidak membutuhkan “kemenangan” seperti itu. Ia memerlukan kedamaian yang disemai dan ditanam dari akar budaya, adat, dan iman. Pun kedamaian yang lahir dari pengakuan martabat setiap manusia —orang asli Papua (OAP) dan non-OAP— sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Karena itu, jeda kemanusiaan harus menjadi langkah pertama. Tanpa hening senjata, dialog bukan berujung jargon. Jeda bukan sekadar berhenti menembak, tetapi membuka lorong kemanusiaan hakiki. Akses kesehatan dipulihkan, sekolah dibuka, nadi pasar kembali berdenyut, jalan darat seperti koridor Nabire–Meuwo diamankan bersama. Jeda kemanusiaan juga menjadi pagar agar konflik vertikal tidak menetes menjadi konflik horizontal antarsuku yang akan memecah serat sosial kita sendiri.

Kekerasan berentet

Kita juga perlu jujur pada fakta pahit bahwa kekerasan akan melahirkan kekerasan baru berentet. Tubuh warga sipil dan militer rubuh lalu mau menjemput akibat konflik kekerasan. Ketika perjuangan diangkat dengan senjata, negara menjawab dengan kekuatan bersenjata pula. Lalu lahirlah semacam lingkaran setan kriminalisasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Dalam lingkaran itu, rakyat menjadi korban dua sisi —dituduh simpatisan di satu pihak dan mata-mata di pihak lain. Ini tragedi yang tidak boleh terus dibiarkan. Rakyat kecil di kampung hanya ingin hidup damai. Saban musim menanam ubi, menjual sayur, membayar sekolah, dan beribadah dengan tenang.

Era ini adalah era diplomasi, bukan peluru. Dunia mendengar argumen berbasis data, moral, dan hukum jauh lebih daripada suara senjata di hutan. Saluran-saluran legal internasional —dari forum HAM hingga mahkamah— dibangun untuk menyelesaikan akar masalah secara bermartabat.

Diplomasi tidak berarti menyerah. Diplomasi adalah seni memperjuangkan kepentingan dengan menjaga nyawa. Di meja perundingan, semua pihak diuji. Seberapa serius komitmen kita pada martabat manusia, bukan sekadar posisi politik.

Sementara itu, biaya ekonomi dari konflik nyata di pelupuk mata. Ketika jalur darat tak aman, harga barang melonjak, logistik macet, dan beban hidup meningkat. Satu letusan senjata bisa memutus rantai pasok beras, obat, dan bahan bakar minyak (BBM).

Kemiskinan pun diwariskan lintas generasi. Bukan karena orang Papua malas, tetapi karena akses dasar diputus oleh ketakutan. Pada titik ini, perang bukan hanya soal ideologi. Ia berubah menjadi industry. Ada yang diuntungkan dari amunisi, proyek, dan akses sumber daya alam namun ada yang buntung. Ketika darah menjadi komoditas, kemanusiaan mati pelan-pelan.

Karena itulah, orang asli Papua harus menjaga yang sedikit ini. Kita kecil dalam jumlah, tetapi besar dalam martabat. Menjaga “yang sedikit” berarti menolak untuk saling menghabisi. Ia menuntut disiplin moral: menghentikan miras, narkoba, perjudian, kekerasan dalam rumah tangga, dan perilaku yang merusak tanah dan tubuh ini. Tidak ada damai sejati tanpa pertobatan sejati. Doa dan puasa tidak boleh berhenti di bibir. Ia harus menjelma menjadi karakter: jujur, menahan diri, dan berbelas kasih.

Tindakan Nyata

Namun doa yang benar selalu melahirkan kerja nyata. Karena itu, seruan damai perlu diterjemahkan menjadi tindakan nyata. Paling kurang ada yang dapat dicatat di sini. Pertama, jeda kemanusiaan terukur. Tetapkan koridor-koridor aman untuk layanan dasar semisal sekolah, Puskesmas, pasar, dan Posyandu. Dorong kesepakatan lokal berbasis adat: zona netral di sekitar gereja, sekolah, dan fasilitas kesehatan. Pemerintah daerah, tokoh gereja, dan dewan adat menjadi penanggung jawab moralnya.

Kedua, dialog berjenjang dan terstruktur. Mulai dari kampung dan distrik: dengarkan keluhan tanpa stigma, dokumentasikan aspirasi, dan rujuk ke forum provinsi berbasis data, bukan amarah. Prinsipnya: “dengar dulu, jawab kemudian”. Komite dialog harus inklusif —melibatkan perempuan, pemuda, dan penyintas kekerasan— agar suara yang paling menderita tidak kembali tersisi.

Ketiga, diplomasi berbasis bukti. Kita perlu policy brief yang jernih. Memetakan dampak konflik pada pendidikan, kesehatan, ekonomi rumah tangga. Menghitung biaya kemanusiaan pengungsian. Menakar risiko jangka panjang terhadap kualitas generasi. Dokumen-dokumen ini menjadi amunisi damai untuk advokasi ke tingkat nasional dan internasional.

Keempat, keadilan yang memulihkan. Hukuman tanpa pemulihan hanya melahirkan dendam baru. Restorative justice dengan kerangka adat —perdamaian, ganti rugi, pemulihan nama baik— harus diberi ruang. Rekonsiliasi lokal bukan pengganti hukum. Ia adalah jembatan yang memulihkan martabat sambil menutup celah balas dendam.

Kelima, ekonomi damai. Prioritaskan program mata pencaharian cepat pulih: kebun pangan lokal, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ibu-ibu, koperasi gereja, dan padat karya pemulihan infrastruktur kecil (jalan kampung, jembatan gantung, air bersih). Sertai dengan jaminan harga dasar untuk komoditas primer agar petani tidak kembali kalah oleh biaya transportasi.

Keenam, pendidikan dan kesehatan sebagai mandat suci. Pastikan sekolah tidak pernah tutup dengan skema guru rotasi, kelas darurat di gereja, dan pengajar dari komunitas. Puskesmas keliling dengan logistik aman menjadi prioritas. Anak yang terus belajar dan ibu yang sehat adalah indikator paling nyata bahwa damai sedang tumbuh.

Ketujuh, literasi damai dan iman yang dewasa. Kampanye “Doa untuk Damai Papua” harus melampaui poster. Ia dihidupkan melalui forum interdenominasi gereja, kelompok pemuda, dan kelas keluarga. Mengajar keterampilan mediasi, manajemen emosi, dan pengampunan. Di mimbar, doa tidak boleh memanaskan dendam. Ia harus menyejukkan, menegur, dan menuntun.

Jika agenda-agenda ini berjalan, kita akan melihat perubahan wujud damai. Dari slogan menjadi system dan dari harapan menjadi kebiasaan. Tentu, akan ada yang sinis —mereka yang selama ini diuntungkan oleh konflik. Mereka akan meremehkan jeda kemanusiaan, memprovokasi di media sosial, menempelkan label “lemah” pada dialog. Tetapi sejarah menunjukkan, yang sungguh kuat adalah mereka yang mampu menahan diri. Yang sungguh berani adalah mereka yang berani memaafkan tanpa melupakan kebenaran.

Pada akhirnya, damai Papua tidak akan datang hanya dari Jakarta atau tempat manapun. Damai Papua akan lahir dari hati orang Papua sendiri. Ketika kita memutuskan untuk berhenti menumpahkan darah saudara kita, ketika kita memilih memulihkan daripada menghakimi, ketika doa dan puasa menjadi gaya hidup, bukan sekadar acara.

Mari kita ingat: tanah ini tidak butuh lebih banyak pasukan, melainkan lebih banyak pengampunan. Ia tidak memerlukan lebih banyak senjata, melainkan lebih banyak dekapan kasih yang tulus. Jika kita sepakat untuk menutup lingkaran kekerasan mulai saat ini, anak-anak kita akan membuka lingkaran harapan besok pagi.

Semoga Tuhan memberi waktu pengampunan bagi kita semua —waktu di mana air mata menjadi benih, dan benih itu tumbuh menjadi pohon damai yang menaungi seluruh tanah ini.