INDONESIA adalah negeri yang kaya, dan kekayaan itu tak jarang membawa serta dilema. Salah satu yang paling mendesak saat ini terhampar di jantung Papua, tepatnya di Blok Wabu, Intan Jaya. Cadangan emas yang menggiurkan di sana telah membangkitkan ambisi Jakarta untuk eksploitasi, namun di sisi lain, menabrak tembok penolakan keras dari rakyat Papua sendiri. Inilah narasi yang patut kita renungi bersama, jauh melampaui sekadar angka cadangan emas dan potensi keuntungan.
Blok Wabu, yang dahulu merupakan bagian dari konsesi Freeport, diperkirakan menyimpan cadangan emas yang fantastis. Bagi pemerintah pusat, ini adalah peluang emas untuk mendongkrak perekonomian nasional, menambah devisa, dan memenuhi janji-janji pembangunan. Retorika yang sering kita dengar adalah bahwa kekayaan alam ini harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan. Argumentasi ini tentu memiliki pijakan kuat dalam konsep negara kesatuan.
Namun, realitas di lapangan berbicara lain. Bagi masyarakat adat di Intan Jaya dan sebagian besar rakyat Papua, Blok Wabu bukan sekadar angka di laporan geologis. Itu adalah tanah leluhur, sumber kehidupan, tempat bersemayamnya nilai-nilai budaya dan spiritual yang tak ternilai harganya. Mereka telah menyaksikan bagaimana eksploitasi sumber daya alam di masa lalu seringkali menyisakan kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan marginalisasi bagi penduduk asli. Janji-janji kesejahteraan seringkali hanya menjadi dongeng yang berujung pada penderitaan.
Penolakan rakyat Papua terhadap eksploitasi Blok Wabu bukanlah tanpa alasan. Mereka menuntut hak atas tanah ulayat, hak untuk menentukan nasib sendiri atas sumber daya alam mereka, dan hak untuk hidup dalam lingkungan yang lestari. Trauma masa lalu, di mana kekayaan alam justru membawa perpecahan dan kemiskinan bagi mereka yang berada di dekatnya, masih menghantui. Mereka melihat megaproyek ini sebagai ancaman terhadap keberlanjutan hidup mereka, bukan sebagai berkah.
Pemerintah Jakarta perlu belajar dari sejarah. Pendekatan top-down, yang memaksakan kehendak tanpa mendengarkan aspirasi lokal, hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan. Pembangunan yang berkelanjutan dan adil tidak bisa dicapai dengan mengabaikan suara-suara yang paling terdampak. Dialog yang tulus, inklusif, dan berlandaskan rasa saling percaya adalah kunci. Ini berarti mendengarkan bukan hanya sekadar formalitas, tetapi benar-benar memahami ketakutan dan harapan rakyat Papua.
Penting bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmen serius terhadap kesejahteraan rakyat Papua, bukan hanya dalam narasi tetapi dalam tindakan nyata. Transparansi dalam pengelolaan sumber daya, jaminan perlindungan hak-hak adat, dan pembagian keuntungan yang adil harus menjadi prasyarat mutlak. Tanpa itu, ambisi eksploitasi Blok Wabu akan tetap menjadi sumber ketegangan, bukan kemakmuran bersama.
Blok Wabu adalah ujian bagi komitmen Indonesia terhadap keadilan dan hak asasi manusia. Apakah kita akan mengulangi kesalahan masa lalu, ataukah kita akan memilih jalan yang lebih bijaksana, yang menghargai hak dan martabat setiap warga negara, termasuk mereka yang berada di garis depan dampak eksploitasi? Masa depan Blok Wabu tidak hanya tentang emas, tetapi tentang bagaimana kita mendefinisikan keadilan dan kemakmuran dalam bingkai Indonesia yang beragam. (Editor)