DI BERBAGAI kota di Tanah Papua, aksi demonstrasi telah menjadi bagian dari dinamika sosial-politik masyarakat. Sejak masa reformasi hingga kini, ruang demokrasi telah memberi peluang lebih besar bagi warga Papua untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Namun, dalam praktiknya, demonstrasi di Tanah Papua nyaris selalu dikaitkan dengan kekerasan—baik verbal maupun fisik. Ini adalah “tradisi” yang tidak hanya merusak makna sejati dari demokrasi, tetapi juga mengoyak rasa keadilan dan kemanusiaan.
Dalam banyak kasus, aksi demonstrasi yang diawali dengan tuntutan damai berubah menjadi ajang saling lempar batu, baku dorong, dan adu kekuatan antara demonstran dan aparat keamanan. Korban seringkali berjatuhan dari kedua belah pihak—demonstran luka atau bahkan tewas, aparat keamanan cedera atau diprovokasi secara brutal. Seringkali pula warga sipil yang tak terlibat ikut menjadi korban karena situasi yang tak terkendali. Satu pertanyaan mendasar yang patut diajukan: sampai kapan tradisi kekerasan ini akan terus kita wariskan?
Perlu kita akui, ada luka sejarah, ketidakpercayaan, dan kecurigaan yang menjadi latar dari banyak demonstrasi di Tanah Papua. Tuntutan terhadap hak-hak dasar, keadilan sosial, penolakan terhadap tambang, atau desakan untuk dialog damai, sering kali berhadapan dengan pendekatan keamanan yang keras. Namun, kekerasan bukan jalan keluar. Kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru. Dan yang kalah bukan hanya pihak yang terluka, tetapi juga masa depan demokrasi itu sendiri.
Sudah saatnya masyarakat Papua dan aparat keamanan bersama-sama membudayakan demonstrasi damai. Demonstrasi bukan untuk menciptakan ketakutan, tapi untuk menyampaikan suara. Aparat bukan untuk membungkam suara, tapi untuk menjaganya tetap aman. Diperlukan pemahaman dan kepercayaan timbal balik. Demonstran perlu belajar menyampaikan aspirasi dengan tertib, tanpa provokasi dan kekerasan. Sebaliknya, aparat keamanan perlu mengedepankan pendekatan persuasif dan humanis, bukan intimidatif.
Pemerintah daerah, tokoh agama, adat, dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mendorong perubahan paradigma ini. Pendidikan tentang hak berdemonstrasi dan tanggung jawab sosial harus menjadi bagian dari pembelajaran politik warga. Media massa pun harus berperan adil: tidak memprovokasi, tidak menyudutkan, tetapi mendidik.
Tanah Papua yang kita impikan adalah tanah damai, bukan tanah luka. Marilah kita sudahi “tradisi” kekerasan dalam demonstrasi. Saatnya kita wariskan budaya dialog, penghormatan terhadap perbedaan pendapat, dan aksi damai yang bermartabat. Karena hanya dengan cara itu, Tanah Papua akan menjadi tempat yang layak bagi keadilan dan kemanusiaan bertumbuh subur. (Editor)