Negara Diduga Berskenario dan Gembira Atas Tewasnya Guru di Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Negara Diduga Berskenario dan Gembira Atas Tewasnya Guru di Papua

Marthen Goo, SH, MH, aktivis kemanusiaan. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Marthen Goo, SH, MH

Aktivis kemanusiaan

PAPUA yang malang, itulah istilah yang bisa kita sebut sejak keberadaan Indonesia di tanah Papua dengan tindakan koloni melalui penguasaan militer dan pendudukan. Kebijakan negara yang dilakukan pertama kali oleh Soekarno melalui maklumat presiden 19 Desember 1961 yang dikenal dengan istilah Trikora telah memberikan perintah untuk mobilisasi penduduk dan operasi militer yang membuat banyak rakyat Papua mati dibunuh oleh Indonesia.

Rakyat Papua yang tidak pernah melakukan kesalahan kepada Indonesia harus mati sia-sia di tangan kekuasaan yang menginginkan Papua menjadi daerah koloni baru Indonesia pasca Indonesia merdeka. Soekarno kala itu memberikan wajah sesungguhnya Indonesia yang tidak mau dijajah tapi mau menjajah bangsa lain. Tentu operasi militer tidak berhenti sampai saat itu tapi masih terus dilakukan sampai saat ini.

Pemimpin negara di Jakarta tidak pernah melakukan pendekatan damai seperti melalui dialog atau perundingan untuk menyelesaikan masalah di Papua. Pendekatan yang dilakukan selalu adalah pendekatan yang membuat masalah, pendekatan yang menguasai, pendekatan yang rasis dan mengabaikan kehidupan bangsa lain. Walau semangat musyawarah dikenal sebagai nilai, ada tujuan negara dalam konstitusi, semua diabaikan hanya karena keinginan untuk menindas.

Pendekatan yang sangat jahat dan tidak manusiawi selalu dilakukan berulang-ulang. Dampak dari pendekatan tersebut banyak rakyat tidak berdosa harus menjadi korban. Negara tetap tersenyum tanpa berpikir cara menyelesaikan masalah. Konflik kombatan pun di antara kombatan harus menjadi korban, negara tetap tersenyum menyaksikan konflik tersebut. Bahkan kali ini, banyak nakes yang jadi korban, guru menjadi korban, negara diduga tetap tersenyum dan bahagia agar pendidikan dan kesehatan tidak berjalan baik di Papua.

Guru Dibunuh Karena Negara Bersekario dan Menghendakinya

Atas kematian guru Rosalina Sogen di Yahukimo, rakyat Papua menyampaikan turut berduka yang sangat mendalam, dan bagi keluarga yang tinggalkan semoga diberikan kekuatan, terkhusus buat mama dan bapak dari korban. Tuhan senantiasa memberkati keluarga korban dan menerima korban di sisi kanan-Nya. Tentu semua sudah terjadi dan tidak menutup kemungkinan peristiwa yang sama akan terus terjadi di tanah Papua karena negara mengabaikan pendekatan kemanusiaan melalui perundingan.

Dan jika didalami dengan seksama dari adanya korban guru, tentu dipengaruhi oleh pernyataan panglima yang menyebutkan bahwa semua itu anggotanya dan dengan bangganya menyebutkan multifungsi. Sementara pada video lain, Tentara Pembebasan Nasional Papua (TPN) menyebutkan bahwa mereka melakukan penembakan karena pernyataan dari panglima TNI. Pernyataan panglima tersebut harus dimintai pertanggungjawaban. DPR harus memanggil panglima beserta presiden, semestinya.

Korban tidak akan mungkin ada jika presiden melakukan pendekatan dialog atau perundingan seperti yang dijanjikan saat debat kandidat, bukan pendekatan operasi militer dan perubahan UU yang justru membuat banyak korban dari berbagai lapisan. Ini bukan operasi pertahanan tapi lebih pada operasi ugal-ugalan dan diduga hanya sebagai upaya untuk menguasai tanah adat, pengurasan SDA tapi mengorbankan rakyat, nakes, pendidik dan bahkan para kombatan.

Negara dapat disimpulkan menghendaki adanya korban dikarenakan petinggi negara tidak pernah menghendaki cara-cara martabat menyelesaikan masalah di Papua. Di jaman presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) saat berjumpa kedua presiden di jaman mereka, disampaikan bahwa cara bermartabat selesaikan masalah di Papua adalah dialog Jakarta-Papua. Itu cara yang dipakai masyarakat adat dalam menyelesaikan masalah (para-para-adat).

Kedua presiden tetap cuek, masa bodoh. Hal itu dibuktikan dengan tidak pernah ada dialog Jakarta-Papua yang dilakukan. Sehingga, masalah di Papua diperlihatkan di publik sebagai hal yang sengaja dibiarkan terjadi, apalagi kebijakan negara yang terus makin menghancurkan Papua dengan pendudukan, operasi militer dan pengurasan SDA, sementrara penduduknya makin marjinal dan miskin di atas limpahnya kekayaan.

Kali ini, di masa kepemimpinan Prabowo, di publik (saat debat calon presiden) presiden menjanjikan bahwa ia akan menyelesaikan masalah di Papua melalui dialog. Sayangnya, setelah menjadi presiden, malah mengirim pasukan ke Papua. Bukan dialog untuk menyelesaikan masalah tapi melakukan pendekatan yang bikin masalah di Papua. Pendekatan militer ke Papua merupakan kebijakan yang melahirkan berbagai masalah di Papua, seperti perampasan tanah adat.

Dari semua kebijakan yang dilakukan oleh presiden ganti presiden, tidak ada presiden yang benar benar mau selesaikan masalah di Papua. Semua presiden sama, menjadikan daerah Papua menjadi lumbung masalah. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (saat itu) merumuskan 4 masalah besar di Papua. 4 masalah besar itu dibuat oleh Indonesia saat menjadikan Papua daerah koloni baru Indonesia. Berbagai kebijakan adalah kebijakan yang turut membuat masalah.

Hari ini seorang guru mati ditembak hanya karena presiden ganti presiden tidak pernah melakukan pendekatan kemanusiaan dan pendekatan dialog/perundingan dalam menyelesaikan masalah di Papua, belum lagi pernyataan panglima yang menstigmatisasi guru dan nakes. Pada hal, setiap kekerasan akan melahirkan kekerasan baru, dan pernyataan salah akan berdampak buruk. Para pembuat kebijakan hanya menikmati indahnya AC dengan tempat tidur yang empuk, dan membiarkan korban berjatuhan, serta agar pendidikan dan kesehatan di Papua terus buruk.

Kejahatan HAM dan Rumitnya Masalah di Papua yang Dibuat Negara

Tugas presiden adalah mewujudkan perdamaian dan perlindungan terhadap warga negara. Ketika presiden mengabaikan dan tidak melakukannya maka, itu merupakan kejahatan terhadap Konstitusi dan kejahatan terhadap hak asasi manusia. Operasi militer merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia apalagi tidak pernah dilakukan syarat-syarat mewujudkan perdamaian seperti musyawarah untuk mufakat, dialog atau perundingan. Pada hal hal itu perintah konstitusi dan syarat nilai Pancasila.

Dengan negara mengabaikan tanggungjawab utamanya yakni melindungi segenap warga negara, kemudian penjajahan dihapuskan, maka, pemimpin negara pun telah dengan sadar sudah melakukan kejahatan terhadap hak asasi manusia. Bahkan dengan mengabaikan atau tidak melaksanakan upaya-upaya damai pun merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia. Mestinya, agar tidak terjadi lagi korban berjatuhan, negara sudah harus melakukan perundingan/dialog.

Jika negara masih mengabaikan hal itu terus menerus dan masih mengedepankan kejahatan di Papua, memberikan gambaran bahwa negara menghendaki banyak korban agar ada alasan pendekatan kekerasan terus dilakukan walau diketahui bahwa kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Korban dianggap bagian dari cara oknum-oknum orang di kekuasaan negara melahirkan skenario dan kebijakan buruk di tanah Papua. Atas semangat itu, sudah semestinya publik membuka mata dan melihat bahwa ini skenario kejahatan.

Tidak ada nasionalis dan patriotik dari skenario dan kebijakan negara itu, apalagi menjajah Papua dan menjadikan Papua sebagai daerah koloni baru Indonesia. Karenanya jika dari dulu negara sudah melakukan perundingan dan melakukan pendekatan-pendekatan humanis, mungkin banyaknya korban yang sudah berjatuhan masih selamat. Negara masih menjadikan korban rakyat sipil, guru dan kombatan adalah harga tawar negara untuk terus melakukan kebijakan operasi militer dan menggenosidakan Papua agar kekayaan bisa dikuasai dan dikuras. 

Tinggalkan Komentar Anda :