HARI ini, sejarah baru ditorehkan dalam perjalanan Gereja Katolik di Tanah Papua dengan pentahbisan Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, O.S.A sebagai Uskup Timika. Sebuah peristiwa penuh harapan, namun sekaligus menjadi panggilan berat bagi seorang gembala yang diutus ke ladang pelayanan yang penuh luka dan air mata. Tanah Papua bukan sekadar medan pastoral biasa; ia adalah ladang duka yang disirami darah dan tangis, tempat di mana domba-domba Allah hidup dalam ketakutan, sementara serigala-serigala berkeliaran tanpa rasa bersalah.
Timika, dan Tanah Papua pada umumnya, adalah wajah tragis dari sebuah negeri yang kaya namun dikutuk oleh kekerasan, pengabaian, dan ketidakadilan. Di balik sumber daya alam yang melimpah, tersembunyi penderitaan rakyat kecil yang setiap hari menghadapi intimidasi, kekerasan bersenjata, dan penghilangan hak-hak dasar mereka. Di tengah pusaran konflik bersenjata, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan, suara kebenaran dan kasih terasa semakin sayup.
Dalam konteks inilah, kehadiran Mgr. Bernardus bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, melainkan sebagai simbol harapan dan keberanian. Ia datang bukan untuk mencari kenyamanan, tetapi untuk menjadi gembala yang berjalan di depan kawanan domba, melindungi mereka dari bahaya, dan menyuarakan kebenaran dengan kasih. Tantangannya bukan kecil: bagaimana menyampaikan suara Injil di tengah peluru, menyemai damai di tengah dendam, dan menyalakan harapan di tengah gelapnya keputusasaan.
Gereja Katolik di Papua, sejak awal, telah berusaha berdiri di sisi rakyat yang menderita. Kini, di bawah kepemimpinan Uskup Bernardus, semangat itu diharapkan menemukan bentuk-bentuk baru yang lebih kontekstual, berani, dan profetik. Ia harus mampu membangun jembatan antar manusia yang tercerai-berai oleh kekerasan, serta merangkul semua pihak—baik yang terluka maupun yang melukai—dalam semangat pertobatan dan rekonsiliasi sejati.
Namun Uskup Bernardus tidak berjalan sendiri. Ia adalah bagian dari Gereja yang hidup, dan Gereja itu adalah umat yang menderita. Oleh karena itu, umat di Keuskupan Timika dan seluruh Tanah Papua pun dipanggil untuk tidak diam. Mereka harus menjadi mitra sejati dalam pewartaan kasih, keadilan, dan perdamaian. Setiap paroki, komunitas, dan keluarga Katolik harus menjadi medan sakral tempat kasih Allah bekerja melawan ketakutan dan kekerasan.
Selamat berkarya, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, O.S.A. Tugas Anda bukan hanya memimpin misa dan memberkati umat, tetapi juga menyalakan lilin harapan di tengah gelapnya malam panjang Papua. Gereja, rakyat, dan sejarah menunggu langkah-langkah profetik Anda—di tengah domba yang tak berdaya dan serigala yang berkeliaran. (Editor)