Dua Wartawan Australia yang Sukses Menembus Belantara Papua Raih Penghargaan Jurnalistik - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Dua Wartawan Australia yang Sukses Menembus Belantara Papua Raih Penghargaan Jurnalistik

Dua jurnalis Paradise Broadcasting Sydney, Australia Kristo Langker (tengah, kanan) dan Kirsten Felice (tengah, kiri) peraih Penghargaan Oktovianus Pogau dari Yayasan Pantau berada di antara anggota TPNPB OPM di belantara Papua. Kristo dan Kirsten meraih penghargaan tersebut karena keberanian dalam menyajikan laporan jurnalistiknya dari bumi Cenderawasih. Foto: Istimewa

Loading

JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Kristo Langker dan Kirsten Felice, jurnalis Paradise Broadcasting, Jumat (31/1) meraih Penghargaan Oktovianus Pogau dari Yayasan Pantau karena keberanian dalam menyajikan laporan jurnalistiknya.

Kristo dan Kirsten, jurnalis media yang berbasis di Sydney, Australia, sukses berjalan kaki hingga menembus belantara Papua hingga tapal batas RI-Papua Nugini dan mewawancarai militan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM).

Kedua jurnalis berusia belia itu sukses menyajikan hasil liputan di medianya terkait pemakaian roket dan mortar oleh aparat keamanan Indonesia terhadap orang asli Papua di Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan. 

“Yayasan Pantau menghargai karya Kristo Langker dan Kirsten Felice, yang melintasi hutan dan sungai, berjalan kaki melintas tapal batas negara tetangga Papua Nugini dan Republik Indonesia tanpa visa Indonesia,” ujar Yuliana Lantipo dari Yayasan Pantau kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Jumat (31/1).

Selain itu, ujar Yuliana, Kristo dan Kirsten berhasil menemui belasan militan TPNPB OPM guna menerangkan pertempuran ‘asimetris’ mereka dengan aparat keamanan Indonesia di Pegunungan Bintang.

“Salut buat Kristo dan Kirsten, dua jurnalis muda yang sangat berani. Mendatangi wilayah konflik di Papua bukan hal yang mudah dan tidak murah, ditambah resiko keamanan yang sulit, apalagi mereka warga negara asing,” kata Yuliana, jurnalis muda asli Papua.

Paradise Broadcasting didirikan Kristo tahun 2023. Kristo membuat liputan khusus yang panjang sesudah membuat liputan kasus penculikan Captain Pilot Philip Mark Mehrtens di Pegunungan Tengah dengan judul Hostage Land: Why Papuan Guerrilla Fighters Keep Taking Hostages

Dalam liputan tersebut, Kristo menerangkan bagaimana orang asli Papua menyekap Mehrtens, captain pilot berkebangsaan Selandia Baru guna mendapatkan perhatian dari luar Indonesia. 

Hal itu juga mencerminkan tindakan serupa tahun 1996 saat gerilyawan OPM pimpinan Kelly Kwalik yang menyekap belasan peneliti biologi mancanegara di Mapenduma, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan. 

Pada 2024, Kristo dan Kirsten masuk ke Pegunungan Bintang kemudian membuat film Frontier War: Inside The West Papua Liberation Army. Dalam film tersebut, kedua wartawan ini menemukan empat jenis bahan peledak yang dipakai aparat Indonesia saat menyerang wilayah Kiwirok di Pegunungan Bintang pada September dan Oktober 2021. 

Jenis bahan peledak itu yaitu mortir modifikasi krusik 81mm buatan Serbia, roket udara bersirip lipat merk Thales FZ 68 buatan Perancis, granat pindad 40mm, dan sirip ekor plastik yang belum dapat diidentifikasi. 

Kristo dan Kirsten mengatakan, sudah banyak liputan media Indonesia soal mortir buatan Serbia dipakai oleh Badan Intelijen Negara (BIN). Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertanyakan keterlibatan aparat BIN di Kiwirok. Kedua wartawan menemukan bukan saja selongsong mortir tapi juga roket Thales. 

Mereka juga mendapatkan video bahwa aparat Indonesia memakai drone buatan Tiongkok merk Ziyan model Blowfish A3. Helikopter yang dipakai buat menembakkan roket Thales adalah Airbus H125M atau H225M. Pemerintah Indonesia minta YouTube memblokir Frontier War

Pada 2024, Kristo dan Kirsten sengaja memilih jalan kaki, naik gunung dan turun lembah, sesudah naik beberapa penerbangan di Papua Nugini, berjalan seharian, masuk ke Pegunungan Bintang. 

“Melintasi perbatasan PNG-Indonesia dan berjalan kaki ke Pegunungan Bintang untuk liputan bagaimana aparat Indonesia memakai roket dan mortar, serta helikopter dan drone, buat apa yang mereka sebut ‘penegakan hukum’ adalah keberanian dalam jurnalisme,” kata Yuliana.

Liputan jurnalis negeri Kanguru itu, ujar Yuliana, sangat sulit karena sejak tahun 1967 Indonesia membatasi wartawan asing buat masuk ke semua wilayah Papua Barat. 

Selain itu, sudah banyak cerita bagaimana wartawan asing dipersulit dapat visa, ditangkap, ditahan bahkan yang sudah punya surat jalan juga ditangkap atau minimal dikuntit saat mereka masuk ke Papua Barat. 

Pada 13 September 2021, kelompok bersenjata pimpinan Lamek Taplo menyerang pos militer dan polisi Indonesia di Kiwirok, Pegunungan Bintang, dekat perbatasan dengan Papua Nugini. 

Ini puncak dari ketegangan antara kelompok Lamek Taplo dari Kiwirok dengan pihak Indonesia. Baku tembak seharian penuh mengakibatkan tewasnya seorang militan Papua dan luka-luka seorang tentara Indonesia. 

Massa juga membakar puluhan properti dan fasilitas umum di Kiwirok serta Okyop, termasuk sejumlah rumah, beberapa kantor pemerintah, delapan sekolah, dua klinik, satu rumah sakit, satu bank dan Pasar Kiwirok. 

Militan Papua juga menyerang Rumah Sakit Kiwirok, membakar rumah sakit dan asramanya serta dua klinik kecil. Mereka diduga memukuli tiga perawat perempuan dan dua perawat laki-laki. Jenazah perawat Gabriela Meilani ditemukan dua hari kemudian.

Kelompok TPNPB mengatakan, pasukannya hanya menyerang pos keamanan serta membantu ‘mengamankan perawat Gerald Sokoy’, yang melarikan diri selama serangan dan dijemput oleh pemerintah setempat dua minggu setelah serangan dan kembali ke rumah. 

Serangan tersebut membuat pihak Indonesia melancarkan serangan udara, termasuk dengan helikopter dan drone, terhadap Kiwirok. Pada 10 Oktober, militer Indonesia mengerahkan helikopter Angkatan Udara lalu menjatuhkan 14 mortir buatan Serbia di Kiwirok. Panglima Indonesia di Papua Mayjen Yogo Triyono mengaku, pengeboman tersebut namun membantah bahwa bom diarahkan ke masyarakat sipil. 

Menurut organisasi HAM setempat, sekitar 1.000 keluarga telah melarikan diri dari Kiwirok ke Oksibil, kota Kabupaten Pegunungan Bintang. Diperkirakan 180 keluarga telah melarikan diri melintasi perbatasan ke Papua Nugini. Banyak yang kekurangan makanan, tempat tinggal, dan bantuan medis. 

Pada 25 Oktober, militan menembak mati seorang polisi Indonesia dalam baku tembak di Kiwirok. Yogo menegaskan, Pemerintah Indonesia perlu melakukan ‘dialog politik’ untuk menyelesaikan masalah keamanan di Papua. Ia menambahkan, prajuritnya juga mulai ‘lelah dengan baku tembak’.

Kedua wartawan muda tersebut kelahiran Sydney. Saat ini Kristo tengah merampungkan studi di University of Sydney. Sedang Kristen, jurnalis berusia 25 tahun, adalah wartawan video jebolan Torrens University, Australia. 

Penghargaan Oktovianus Pogau

Oktovianus Pogau seorang jurnalis putra asli Papua. Pogau lahir di Sugapa tahun 1992. Pogau meninggal di Jayapura 31 Januari 2016 dalam usia yang menyentuh angka 23 tahun. Penghargaan ini diberikan setiap tahun guna mengenang keberanian Pogau. Suara Papua juga terlibat dalam pembuatan penghargaan pada 2017 namun penilaian dan pengumuman dilakukan Yayasan Pantau. 

Pada Oktober 2011, Pogau melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang asli Papua ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Ia merekam suara tembakan. 

Tiga orang Papua meninggal dan lima orang dipenjara dengan vonis makar. Pogau gelisah karena tak banyak media Indonesia memberitakan kasus pelanggaran tersebut sehingga mendorongnya mendirikan Suara Papua pada 10 Desember 2011.

“Saya bertemu Octo pertama kali di Jogja tahun 2008 saat dia diundang oleh organisasi mahasiswa di Jogja sebagai pembicara dalam sebuah seminar,” kata Yuliana, jurnalis saat ini menjabat redaktur Tabloid Jubi di Jayapura. 

Yuliana mengatakan, waktu itu Pogau masih siswa SMA tapi sudah jadi pembicara dimana-mana. Berbagai artikelnya juga dipublikasi di beberapa media. “Saya lihat dia (Pogau) anak muda pemberani dan kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Keberanian Kristo dan Kirsten mengingatkan saya pada sosok Octo,” kata Yuliana.

Kristo dan Kirsten sesudah wawancara dengan Lamek Taplo dari TPNPB dan Juru Bicara TPNPB Sebby Sambom yang menemani kedua wartawan Australia itu, menyeberang dari PNG ke Papua Barat pada September 2024. 

Kristo dan Kirsten berada di Pegunungan Bintang, berjalan kaki melintasi perbatasan PNG dan Indonesia, memilih tak melamar visa wartawan dari Indonesia karena pembatasan yang sangat sulit dari Pemerintah Indonesia buat wartawan asing masuk ke Papua Barat

Juri Penghargaan Pogau terdiri dari Andreas Harsono (Jakarta), Alexander Mering (Pontianak), Coen Husain Pontoh (New York), Made Ali (Pekanbaru), dan Yuliana Lantipo (Jayapura). Yayasan Pantau merupakan sebuah lembaga yang gigih mendorong perbaikan mutu jurnalisme di Indonesia melalui program pelatihan wartawan, konsultan media, riset, penerbitan, serta diskusi terbatas. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :