Oleh Hyron Ladoangin, SH
Praktisi hukum, tinggal di Papua
SEBAGAI negara yang berdasar atas hukum, Indonesia wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) yang tercermin dalam berbagai produk hukum yang dibentuk. Dalam konteks penegakan hukum, prinsip due proccess of law berpijak prosedur yang proper dan harus dijalankan dengan benar. Hal itu perlu karena di sana ada jaminan atas akses keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat konstitusi.
Due process of law merupakan kerangka dasar pendirian sistem peradilan yang tertib, meliputi administrasi dan kebebasan seseorang. Untuk membicarakan masalah keadilan dalam proses peradilan tidak abai terhadap due process of law, yang menurut Tobias dan Petersen berasal dari Magna Charta tahun 1215 di Inggris yang mulai membatasi kekuasaan raja yang absolut sehingga warga negara tidak terlindungi dengan baik.
Pedoman sistem peradilan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) didesain untuk menjadi pedoman dalam proses peradilan. Meskipun masih ada banyak kekurangan di dalamnya, namun upaya penyempurnaan terus dilakukan dengan banyaknya upaya judicial review, ujian materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ada beberapa asas penting yang dianut KUHAP antara lain adalah asas legalitas yang termaktub dalam Pasal 3 yang menyebutkan, peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Secara a contrario dapat dimaknai bahwa proses peradilan tidak boleh dilakukan dengan cara-cara di luar ketentuan dalam KUHAP.
Kemudian ada asas diferensiasi fungsional yang bermakna tiap-tiap tahapan pemeriksaan dilakukan oleh institusi yang berbeda. Penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, dan pemeriksaan sidang oleh pengadilan.
Pengecualian terhadap asas diferensiasi fungsional adalah untuk tindak pidana tertentu yang ditangani hanya oleh satu institusi. Perkara korupsi ditangani dapat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau kejaksaan sejak penyelidikan sampai pada tahap penuntutan.
Independensi penyidik
Salah satu tahapan penting dalam proses peradilan adalah penyidikan. KUHAP memberikan definisi penyidikan dalam Pasal 1 angka 2 sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Demikian halnya dengan BAB XIV Bagian Kedua, Pasal 106 sampai dengan Pasal 136 KUHAP yang mengatur tentang penyidikan, semua tindakan dalam rangka proses penyidikan dilakukan oleh penyidik, tidak yang lain yang bukan penyidik! Ingat ketentuan asas legalitas di Pasal 3.
Di sini terlihat bahwa para pembentuk UU paham betul pentingnya independensi penyidik dalam penanganan perkara. Intervensi pihak lain selain penyidik adalah pelanggaran terhadap asas legalitas dan dapat dikategorikan sebagai bentuk obstruction of justice.
Pengujian alat bukti
Dalam perkara pidana berlaku asas in criminalibus, probantiones bedent esse luce clariores yang berarti bahwa dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang daripada cahaya. Untuk dapat menentukan seseorang sebagai pelaku tindak pidana maka semua bukti harus dengan jelas membuktikan bahwa orang tersebut adalah benar-benar pelakunya.
Secara doktrinal, kebenaran material belum menjadi fakta hukum yang utuh jika belum mendapatkan bentuknya dalam suatu kebenaran formal. Dalam hal ini alat bukti dapat dipandang sebagai kebenaran materil yang harus diuji kebenarannya melalui proses pembuktian (proses formal) untuk mendapatkan fakta hukum yang utuh.
Pengujian alat bukti ini dilakukan dalam tiap tahapan pemeriksaan perkara. Di tahap penyidikan lazim disebut gelar perkara dan dapat dilakukan beberapa kali. Gelar perkara ini nantinya akan menentukan status dari suatu perkara. Apakah perkara itu akan terus dilanjutkan ke tahap berikutnya atau bisa jadi perkara tersebut dihentikan dengan beberapa kriteria sebagaimana disebutkan dalam Pasal 109 ayat 2.
Penegakan hukum di Papua
Ada fenomena menarik dalam penegakan hukum —tidak saja di Papua tapi hampir di seluruh Indonesia— yakni pendekatan hukum pidana dalam semua kasus yang seharusnya dapat diselesaikan secara administrasi ataupun perdata. Hukum pidana yang seharusnya berfungsi sebagai ultimum remedium, oleh para penegak hukum justru difungsikan sebagai primum remedium.
Penegakan hukum yang seharusnya berpegang pada due process of law berubah menjadi arbitrary process, proses penegakan hukum sewenang-wenang yang membuka peluang terjadinya tindakan-tindakan yang mengarah pada obstruction of justice.
Khusus di Papua, ada beberapa pernyataan di media oleh pejabat Kejaksaan Tinggi Papua tentang progres penanganan perkara yang justru mengindikasikan adanya praktik intervensi terhadap proses penyidikan.
Pertama, pernyataan Kasipenkum Kejati Papua Aguwani, SH yang dimuat sejumlah media online pekan ketiga Novemver lalu bahwa instansinya sudah mengantongi nama calon tersangka dalam kasus pesawat milik Pemda Mimika. Saat itu, Kejati Papua masih dipimpin Nikolaus Kondomo. Pernyataan ini jelas merupakan penggiringan opini yang menyesatkan.
Jika Kejati Papua sudah melakukan gelar perkara, maka hasilnya sepatutnya diumumkan ke publik. Publik tidak boleh diajak untuk berteka-teki tentang siapa nama tersangka yang ada dalam kantung Kejati.
Tetapi jika gelar perkara belum dilakukan, maka sudah jelas bahwa ini bentuk intervensi terhadap proses penyidikan. Interpretasi atas pernyataan ini tentu saja adalah pesan kepada penyidik agar harus ada tersangka setelah gelar perkara dilakukan.
Hingga kini, nama yang ada dalam kantungnya tersebut tidak kunjung dikeluarkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gelar perkara di tahap penyidikan memang belum dilakukan untuk kasus tersebut.
Setali tiga uang, Kajati Papua yang baru saat ini juga memberikan pernyataan yang hampir sama sebagaimana diberitakan sebuah media online beberapa waktu lalu. Kajati Papua menyampaikan bahwa untuk kasus pesawat, akan dilakukan gelar perkara pada Januari 2023 untuk menetapkan tersangka. “Alat bukti sudah ada. Januari kami akan gelar perkara dan menentukan siapa tersangka dalam perkara itu,” kata Kajati Papua (JPPN.com, 30/12 2022).
Sekali lagi, ini adalah pernyataan yang menyesatkan. Gelar perkara adalah ajang pengujian terhadap alat bukti, bukan ajang untuk menetapkan tersangka karena hasil gelar perkara bisa bermacam-macam seperti sudah saya sebutkan di atas.
Pernyataan dari seorang pejabat yang secara hierarki merupakan atasan dari penyidik yang mendahului hasil dari sebuah proses yang bahkan belum dilaksanakan adalah bentuk intervensi yang nyata.
Di sisi lain, ada perkara dugaan korupsi pengelolaan dana Sentra Pendidikan di Timika yang ditangani oleh Polda Papua hingga saat ini jalan di tempat, meskipun sudah sejak lama ada tersangka. Si tersangka bahkan pernah “dipromosi” menduduki jabatan strategis di lingkup Pemkab Mimika meski masih berstatus tersangka.
Hal-hal seperti ini merupakan akrobat penegakan hukum. Publik disuguhkan akrobat yang jauh dari koridor hukum acara dan mencederai rasa keadilan masyarakat.