Soeharto: Pahlawan atau Legitimasi Kekuasaan?

Siti Hardiyanti Rukmana dan Bambang Trihatmodjo berdiri di samping foto resmi Soeharto saat upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional di Istana Merdeka, Jakarta, 10 November 2025. Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana

PEMERINTAH Indonesia hari ini, 10 November 2025, memilih menempatkan nama Soeharto dalam daftar Pahlawan Nasional. Keputusan ini diumumkan tepat pada Hari Pahlawan—hari ketika bangsa seharusnya mengenang mereka yang berkorban demi kemerdekaan dan martabat manusia. Namun justru di hari yang penuh makna itu, negara memberi penghormatan tertingginya kepada sosok yang selama lebih dari tiga dekade dikaitkan dengan pelanggaran HAM, pembungkaman demokrasi, dan kekuasaan represif.

Keputusan ini langsung memantik gelombang penolakan di dalam dan luar negeri. Publik mempertanyakan logika moral pemerintah: bagaimana mungkin seseorang yang memimpin rezim yang menghilangkan nyawa, membatasi kebebasan, dan membungkam kritik dianggap pantas disejajarkan dengan para pahlawan sejati? Ironinya, keputusan itu muncul di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto—mantan menantu Soeharto—sehingga aroma nepotisme begitu kuat terasa. Kritik pun bermunculan: apakah gelar pahlawan kini hanya hadiah bagi keluarga dan kawan satu lingkaran kekuasaan?

Yang lebih menyakitkan bagi bangsa ini adalah pesan yang tersirat: bahwa penderitaan korban dianggap tidak penting, bahwa luka kolektif bangsa bisa dihapus dengan pena birokrasi, bahwa kekuasaan dapat menulis ulang sejarah sesuka hati. Seolah-olah negara ingin mengatakan bahwa pelanggaran HAM bisa dipoles menjadi jasa, dan otoritarianisme bisa dibungkus sebagai kepemimpinan visioner. Ini bukan sekadar pengkhianatan kepada para korban—ini pengkhianatan terhadap moralitas publik.

Lebih berbahaya lagi, keputusan ini membuka pintu bagi preseden buruk: hari ini Soeharto, besok entah siapa lagi. Jika hubungan keluarga dengan Presiden bisa membuka jalan menuju gelar pahlawan, maka masa depan bangsa ini sedang diarahkan menuju budaya penghormatan palsu. Gelar pahlawan kehilangan martabatnya ketika ia dapat diberikan bukan karena kebenaran sejarah, tetapi karena kedekatan politik. Dan bila negara terus melangkah ke arah itu, maka yang hancur bukan hanya memori sejarah, tetapi juga kompas moral bangsa.

Penetapan ini sekaligus mengirim pesan yang merusak kepada generasi muda. Mereka akan tumbuh dengan narasi yang kabur: bahwa pelanggaran HAM bisa dinegosiasikan, bahwa otoritarianisme bisa dirayakan, bahwa kekuasaan dapat membenarkan apa saja. Inilah bahaya utama: bukan hanya menyamarkan masa lalu, tetapi menciptakan masa depan yang tak menghormati nilai demokrasi, kemanusiaan, dan keberanian moral.

Gelar pahlawan adalah kehormatan tertinggi bangsa—ia bukan milik keluarga penguasa, bukan alat politik, bukan instrumen pencucian sejarah. Ia adalah milik rakyat, milik mereka yang berkorban tanpa pamrih, bukan mereka yang meninggalkan luka dalam sejarah bangsa.

Maka kritik ini harus ditegaskan: penetapan Soeharto sebagai pahlawan bukan penghormatan, tetapi manipulasi. Bukan kebesaran bangsa, tetapi pengecilan martabatnya. Bukan keputusan historis, tetapi keputusan politis. Dan jika bangsa ini tidak bersuara, maka hari ini bukan hanya gelar pahlawan yang jatuh—tetapi juga akal sehat dan harga diri kolektif kita. (Editor)