Kantor Staf Presiden Tidak Berguna

Kantor Staf Presiden Tidak Berguna. Gambar ilustrasi: Istimewa

Loading

KANTOR Staf Presiden (KSP) dibentuk dengan misi mengawal kebijakan presiden, memastikan program strategis berjalan, dan mengurai belitan birokrasi. Namun, sejak kelahirannya, lembaga ini lebih banyak menjadi simbol pencitraan ketimbang motor kerja negara. Di atas kertas tampak penting, tetapi dalam praktik sehari-hari, KSP nyaris tidak berguna bagi rakyat.

Pertama, KSP hanyalah bayangan presiden. Ia berdiri tanpa landasan hukum kuat, hanya berpegangan pada Peraturan Presiden. Tidak ada kewenangan mengikat, tidak ada taring untuk memaksa kementerian dan lembaga melaksanakan rekomendasi. Semua keputusan tetap kembali ke presiden. Dengan kondisi demikian, KSP hanyalah “pembisik istana” yang rajin tampil di media, tetapi kosong dalam hasil. Retorika gemerlap, realitas gulita.

Kedua, fungsi KSP tumpang tindih dengan kementerian yang sudah ada. Mengendalikan kebijakan adalah tugas Kementerian Sekretariat Negara. Mengkoordinasikan program berada di tangan Kementerian Koordinator. Analisis kebijakan menjadi ranah Bappenas. Dengan hadirnya KSP, negara hanya menambah lapisan birokrasi, menduplikasi fungsi, dan menghamburkan anggaran. KSP tidak mempercepat kerja, justru memperlambat dengan menambah jalur baru yang tidak perlu.

Ketiga, KSP lebih sibuk dengan seremoni dan narasi ketimbang substansi. Publik lebih sering disuguhi konferensi pers, klaim keberhasilan, atau pernyataan politik dari staf KSP. Tetapi ketika rakyat menuntut penyelesaian konflik agraria, pelanggaran HAM, atau masalah lingkungan akibat tambang, KSP memilih bungkam. Lembaga ini lebih cocok disebut kantor propaganda presiden ketimbang pengawal kebijakan negara.

Keempat, KSP menjelma sebagai instrumen politik. Ia menjadi ruang parkir elit, aktivis, atau akademisi yang dirangkul agar jinak di lingkaran kekuasaan. Dengan kursi nyaman di KSP, suara kritis bisa dipadamkan, oposisi bisa dilunakkan. Alih-alih bekerja untuk kepentingan rakyat, KSP dipakai untuk melanggengkan kepentingan penguasa.

Akhirnya, pertanyaan besar harus diajukan: siapa yang diuntungkan oleh KSP? Jelas bukan rakyat. Rakyat tetap menghadapi pelayanan publik yang lamban, kebijakan yang kacau, dan janji presiden yang tak kunjung dipenuhi. Yang diuntungkan hanyalah presiden, karena memiliki instrumen tambahan untuk mengelola citra dan mengamankan politik.

Maka jelaslah, KSP tidak berguna bagi demokrasi, tata kelola negara, maupun kesejahteraan rakyat. Ia tidak memiliki taring hukum, menumpuk birokrasi, hanya sibuk dengan seremoni, dan berfungsi sebagai alat politik. Negara tidak butuh lembaga kosmetik yang sekadar mempercantik wajah kekuasaan.

Sudah saatnya publik berani menggugat keberadaan KSP. Untuk apa rakyat membiayai lembaga yang tidak memberikan manfaat substantif? Untuk apa negara menanggung gaji staf yang pekerjaannya hanya merias citra presiden? Bila jawabannya sekadar politik, maka KSP adalah beban—dan beban semacam ini memang layak dibubarkan. (Editor)