Tak Sekadar Memandang Tanah Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Tak Sekadar Memandang Tanah Papua

Loading

Judul              : Dengarkan Papua: Catatan-catatan Politik dan Hak Asasi Manusia

Penulis           : Amiruddin al Rahab
Tahun terbit   : Februari 2021
Pengantar     : Philips J Vermonte
Penutup        : Muhammad Najib Azca
Penerbit        : Quantum, Yogyakarta.
Tebal             : xviii + 156 halaman
ISBN             : 978-602-5908-347

PAPUA selalu bergelimang kisah unik dan menarik bagi siapa saja. Plus dinamika pembangunan yang menyertainya sejak bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Pulau (kerap disebut benua) paling timur Indonesia menyimpan aneka suku dengan bahasa berbeda-beda. Meski terpaut jauh ribuan kilometer dalam jarak dari Jakarta bahkan ujung benua manapun, misalnya, Papua tetap dan selalu dekat (di hati). Ia tetap menyihir rasa ingin tahu.

Pesona alam dan budaya menyihir nyaris separuh manusia di muka bumi mengakrabinya. Papua ibarat besi berani, magnet yang menarik serpihan besi di sekitarnya. Ia laksana potongan surga kecil yang jatuh ke bumi. Ia juga selalu memantik rasa ingin tahu para aktivis dan peneliti berlama-lama mengakrabi lalu menelusuri setiap sudut. Kemudian menulisnya dalam laporan-laporan untuk publik bahkan kajian akademik.

Amiruddin al Rahab, peneliti senior di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan anggota Tim Peneliti Papua di Pusat Penelitian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) adalah satu dari sekian yang memiliki perhatian, concern terhadap isu-isu Papua. Amiruddin tak sekadar mengakrabi lalu mendengarkan dari dekat geliat pembangunan.

Sejauh saya tahu, ia adalah salah satu dari sekian banyak warga bangsa yang mengulas berbagai isu yang menyertai geliat pembangunan Papua beserta dinamika yang menyertainya melalui analisa di media massa maupun berbagai forum diskusi ilmiah. Amiruddin, sang penulis buku juga bukanlah analis baru urusan Papua. Ia malah terlibat dan menjadi salah seorang inisiator dan koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Papua, di mana sumbangan pemikirannya juga sudah mewujud buku.

Sekadar menyebut beberapa buku karya Amiruddin al Rahab di antaranya ialah Wacana Revisi UU Otsus: Mengapa Menimbulkan Gejolak di Papua? (2007); Inkonsistensi dan Separatisme Jakarta: Mengapa Tanah Papua Terus Bergejolak (2006); Perjuangan Amungme antara Freeport dan Militer (2003); Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma, dan Separatisme; dan lain-lain. Buku-buku karyanya itu menambah buku referensi lainnya terkait Papua karya sejumlah penulis seperti Pdt Dr Benny Giyai, Pdt Dr Socratez Sofyan Yoman, Pastor Dr Neles Kebadaby Tebai, Pr, Markus Haluk, dan lain-lain.

Buku Dengarkan Papua: Catatan-catatan Politik dan Hak Asasi Manusia merupakan karya terbaru Amiruddin al Rahab yang menyoroti pelbagai isu aktual yang terjadi beberapa tahun belakangan. Kepingan-kepingan opini tersebut pernah terbit di sejumlah koran cetak dan online nasional seperti The Jakarta Post, Koran Tempo, Koran Sindo, detik.com, geotimes.co.id, prisma.com, dan lain-lain.

Amiruddin al Rahab menyebut, perkembangan dinamika sosial-politik dan sosial-ekonomi di Papua selalu menarik disimak Dalam dinamika itu selalu ada kejutan yang mengundang perhatian, sebab isu-isu hak asasi manusia selalu menyertainya. Isu hak asasi manusia di Papua dan permasalahannya begitu mendalam dan melebar. Sampai-sampai begitu sulit untuk melakukannya mana yang sebab dan mana yang akibatnya.

“Semuanya seperti saling membelit. Semua persoalan seakan-akan menyeruak ke permukaan dengan derajat yang setara untuk mendapat perhatian. Tak jarang semua langkah terasa sia-sia. Permasalahanya laksana nilon yang kusut, sudah tak tampak mana ujung dan pangkalnya,” ujar Amiruddin al Rahab (hlm. xi). Sepintas, si penulis tak sekadar mengabrabi lalu menuangkan dinamika yang menyertai tanah Papua.

Ia (penulis), hemat saya seolah mengajak dalam nada paksa: dengarkan Papua! seperti judul buku bersampul gelap dengan ilustrasi seorang anak kecil berseragam sekolah dasar berada di atas ketinggian gunung atau bukit; memandang ke alam bebas seolah menyampaikan pada semesta agar sudi mendengar(kan) Papua, tanah leluhurnya. Bukan sekadar mengakrabi tanah bertabur emas, perak, tembaga, uranium hingga pesona pantai dan pegunungan alam nan eksotik yang melingkupinya.

Apa kata Philips J Vermonte, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), mari kita dengar saja testimoninya atas buku ini. Kata Vermonte, isu Papua adalah isu teramat penting yang harus dibicarakan dan diperdebatkan terus-menerus di dalam ruang publik. Telah ada banyak kajian ilmiah diterbitkan mengenai Papua dengan beragam perspektif. Akan tetapi, buku ini berbeda karena ia merekam pergulatan penulisnya yang telah bergelut dengan persoalan Papua dalam beragam kapasitas berbeda.

“Sebagai penulis buku ini, Amiruddin al Rahab telah menggeluti isu Papua sejak lama dan tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ia adalah salah satu dari sedikit orang yang bukan orang asli Papua atau OAP yang pandangannya mengenai problematika dan dilema masalah Papua dianggap otoritatif. Penulis telah mencermati dan mengadvokasi masalah Papua sejak saat aktif sebagai pegiat masyarakat sipil di Elsam, terlibat dalam Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang dibentuk di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam usaha menyelesaikan masalah Papua melalui pendekatan pembangunan,” ujar Vermonte (hlm. v-vi).

Hemat saya, buku ini sangat penting dibaca tak hanya bagi masyarakat Indonesia umumnya dan tanah Papua khususnya. Buku ini perlu juga dibaca pemerintah pusat dan daerah serta seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Bahkan lebih dari itu, tak sekadar pula mengakrabi lalu mengeksploitasi sumber daya alam tanah Papua melalui berbagai korporasi global dan nasional. Lalu membiarkan potongan surga itu tengkurap tak berdaya di tengah kekayaan emas dan perak melimpah seperti dikandung perut Nemangkawi di tanah ulayat suku Amungme dan Komoro, Kabupaten Mimika, misalnya.

Papua butuh didengar negara tentang ketertinggalan di berbagai sektor pembangunan, selain tentu kemajuan yang dianggap belum maksimal terutama masyarakat lokal. Pun manusia Papua yang saban tahun bergelimang dengan kekerasan tiada henti. Papua butuh itu. Rasa aman, damai, dan sejahtera adalah kerinduan kolektif masyarakat nun jauh di ujung timur negeri. Sudikah negara melalui para pemangku kekuasaan memandang dan mendengar Papua? Wallahu a’lam bishawab. Hanya Tuhan yang tahu.

Peresensi Ansel Deri
Jurnalis Odiyaiwuu.com

Tinggalkan Komentar Anda :