Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
Nanti dulu
biarkan aku sejenak terbaring di sini
ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Dalam Doaku
Dalam doa subuhku ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata,
yang meluas bening siap menerima cahaya pertama,
yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk pucuk cemara yang hijau senantiasa,
yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu,
yang tiba tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun disana,
bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya,
yang setia mengusut rahasia demi rahasia,
yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku
Aku mencintaimu,
itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu
Hanya
Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
Hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
Hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu
Sajak Kecil Tentang Cinta
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintai-Mu harus menjelma aku
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Sumber Hujan Bulan Juni (1989)
Sapardi Djoko Damono lahir 20 Maret 1943 di Solo, Jawa Tengah. Ia anak pertama dari dua bersaudara pasangan orangtua Sadyoko dan Sapariah. Sekolah mulai SD hingga SMA ia lalui di Solo kemudian merantau ke Yogyakarta ia diterima di jurusan Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada hingga meraih gelar tahun 1964.
Tahun 1970-1971, ia terbang ke Hawaii untuk menempuh pendidikan non gelar di University of Hawaii, Honolulu. Tahun 1989, Sapardi meraih gelar doktor (S-3) Universitas Indonesia (UI). Disertasinya membedah novel-novel di Jawa tahun 1950-an. Baru tahun 1995, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra kampus negeri itu.
Sapardi memiliki sejarah panjang pengabdiannya di jalur pendidikan. Ia guru di ruang kuliah dan guru di tengah masyarakat. Ia tentu mengajar bagaimana cara olah gerak mimik dan tubuh yang baik saat berpuisi bagi banyak orang terutama para penyair Indonesia bahkan dunia.
Tahun 2005, ia memasuki masa pensiun sebagai guru besar Fakultas Ilmu Budaya, UI. Ia pernah menjadi Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta (1973-1980), redaksi Horison (1973), Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin (sejak 1975), anggota Dewan Kesenian, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta (sejak 1987) dan lain-lain.
Tahun 1986, Sapardi mengemukakan perlunya mendirikan organisasi profesi kesastraan di Indonesia. Ia mendirikan Himpunan Sarjana-Kesusasteraan Indonesia (Hiski) pada 1988 dan terpilih sebagai Ketua Umum Hiski Pusat selama tiga periode.
Sapardi juga tercatat sebagai anggota Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), dan sebagai anggota Koninklijk Instituut vor Taal Land-en Volkenkunde (KITLV). Selain aktif di dunia sastra dalam negeri, Sapardi juga sering menghadiri berbagai pertemuan internasional, seperti Translation Workshop dan Poetry International di Rotterdam, Belanda (1971) dan Seminar on Literature and Social Exchange in Asia di Australia National University Canberra. Ia meninggal pada 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka BSD, Tangerang Selatan, Banten, setelah sempat dirawat karena penurunan fungsi organ tubuh.