Wilson Obrigados: Papua Sudah Habis Dibagi-bagi  - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Wilson Obrigados: Papua Sudah Habis Dibagi-bagi 

Penulis buku Papua Bergerak, Wilson Obrigados saat sesi wawancara dengan Tempo di kantor Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi), Tebet, Jakarta, 12 Juni 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Loading

JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Penulis buku Papua Bergerak, Wilson Obrigados, menjelaskan peran kaum muda Papua dan gangguan setelah peluncuran buku. Menulis buku Papua Bergerak merupakan cara Wilson Obrigados menyuarakan perjuangan masyarakat Papua. 

Dalam delapan bab bukunya, aktivis Reformasi 1998 itu mengulas peran anak muda sebagai kekuatan politik yang melawan praktik militerisme serta eksploitasi sumber daya alam di Papua. “Mereka unggul dalam gerakan politik menolak kolonialisme Jakarta,” ujarnya pada Kamis, 12 Juni 2025.

Wilson hendak membongkar persepsi bahwa membicarakan Papua adalah isu sensitif. Namun tak semua pihak bisa menerimanya. Diskusi bedah buku Wilson yang digelar di Menteng, Jakarta Pusat, pada Ahad, 18 Mei 2025, mendapat gangguan. Puluhan pengemudi bajaj dan ojek daring berbondong-bondong mendatangi Toko Buku Komunitas Bambu yang menjadi lokasi acara. Mereka terkecoh selebaran cetak dan digital dengan desain mirip undangan diskusi buku Papua Bergerak. Isi undangan palsu itu bukan acara bedah buku, melainkan bagi-bagi duit dan paket bahan kebutuhan pokok.

Sekitar tiga pekan kemudian, Wemison Enembe dan Yuberthinus Gobay mendapat teror. Aktivis dari Aliansi Mahasiswa Papua di Denpasar, Bali, itu menerima paket berisi kepala babi busuk. Pada kemasan paket kepala babi itu juga tertera tulisan buku Papua Bergerak karya Wilson. “Ruang demokrasi kita sedang terancam,” kata Wilson.

Wilson malang-melintang di bidang pergerakan, termasuk mengadvokasi isu Papua. Ia pernah terlibat dalam Jaringan Damai Papua, National Papua Solidarity, serta meneliti Papua secara khusus ketika menjadi anggota tim riset Pusat Kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tatkala aktif di Amnesty International Indonesia, lembaga masyarakat sipil yang berfokus pada isu hak asasi manusia, Wilson tekun mendokumentasikan rentetan kasus kekerasan yang dilakukan aparat di Papua.

Selama satu jam di kantor Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, Jalan Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan, Wilson menjelaskan proses kreatif penulisan buku dan arah pergerakan anak muda Papua kepada Sunudyantoro dan Yosea Arga Pramudita dari Tempo. “Gerakan politik dengan cara damai kini diisi anak muda,” katanya.

Anda menyoroti tiga isu krusial dalam buku Papua Bergerak: militerisme, kolonialisme, dan imperialisme. Apa alasannya?

Kekuasaan ekonomi politik sejak Orde Baru telah mengeksploitasi sumber daya alam dan menggunakan pendekatan militer di Papua. Militerisme menjadi wajah utama di Papua. Memori soal kehadiran militer di Papua dikenang oleh anak-anak muda karena hampir semua anak muda punya pengalaman dengan militer. Keluarga mereka menjadi korban kekerasan militer.

Apakah kesadaran anak muda tumbuh secara organik?

Antimiliterisme di kalangan anak muda tumbuh organik. Bukan sesuatu yang diciptakan. Mereka memiliki pengalaman masing-masing. Sedangkan kesadaran soal kolonialisme sudah jelas karena mereka melihat kekayaan alam dikeruk habis-habisan dan investasi besar masuk ke Papua. Ada penambangan mineral, kelapa sawit, dan belakangan proyek lumbung pangan. Semua investasi itu hanya untuk kepentingan pemilik modal, bukan untuk rakyat Papua.

Topik buku Anda sangat sensitif sehingga mendapat gangguan dan menjadi bahan teror ke aktivis…

Teror kepala babi dan gangguan dengan menyebarkan kabar pembagian paket bahan kebutuhan pokok adalah cara baru dari kekuatan konservatif untuk mempersempit ruang berekspresi. Ruang demokrasi kita sedang terancam. Ini bukan hanya masalah Wilson, tapi juga masalah bagi kawan-kawan di Papua.

Ada yang terganggu dengan karya Anda?

Ketika peluncuran buku itu, para narasumber yang hadir adalah orang-orang yang kritis dalam melihat persoalan Papua. Ada Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia, Surya Anta Ginting yang aktif di Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Adriana Elisabeth dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, serta teman-teman aktivis. Mereka adalah orang yang kritis terhadap isu hak asasi manusia di Papua dan pendekatan militeristis yang diterapkan Jakarta untuk Papua.

Padahal untuk menyelesaikan Papua secara adil mesti membicarakannya secara terbuka…

Berbicara mengenai Papua memang sensitif sekali. Ada teror dan sabotase yang mengiringinya. Tak terbilang berapa kali kami didemo dan dicap antek asing. Bagi kami berarti makin bagus karena laporan dan suara kami didengar. Pengalaman kami memang membicarakan isu Papua akan selalu menyinggung kelompok reaksioner. Kami menduga terkait dengan lembaga negara.

Bagaimana Anda menggali bahan untuk konten buku ini?

Saya bertemu dengan anak-anak muda yang menjadi pemimpin pergerakan di Papua. Saya mendapatkan dokumen-dokumen dari mereka serta menggelar diskusi kelompok terfokus. Saya menyimpulkan, dari fakta di lapangan, anak-anak muda ini unggul dalam gerakan politik menolak kolonialisme Jakarta. Framing Jakarta menyebut Organisasi Papua Merdeka itu adalah kelompok bersenjata yang melawan aparat. Padahal anak-anak muda Papua juga mengisi ruang gerakan masyarakat sipil dan politik dengan cara damai.

Bagaimana kaum muda Papua membayangkan nasionalisme mereka?

Nasionalisme mereka bukan lagi nasionalisme identitas ke-Papua-an berdasarkan suku atau budaya. Identitas nasionalisme mereka dibangun karena penindasan politik, militer, dan investasi asing. Mirip seperti para pendiri bangsa dulu mendefinisikan nasionalisme mereka. Definisi nasionalisme mereka sangat progresif, antimiliter, dan antikapital.

Dari mana referensi mereka?

Ada yang mengambil dari teologi pembebasan Kristen. Ada yang mengambil dari sejarah Amerika Latin. Ada yang mengambil dari sejarah di Indonesia atau Timor Leste.

Apakah ada kesamaan antara imaji anak muda Papua dan daerah lain?

Bayangan anak muda Papua itu nyaris sama dengan anak muda lain yang belakangan berdemonstrasi melawan rezim oligark yang tampak sejak kepemimpinan Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Visi masa depan Indonesia dan Papua mirip karena bahan bacaan mereka nyaris sama.

Anda juga memberi perspektif komparatif dengan gerakan kaum muda dan mahasiswa Timor Leste. Di mana titik temunya?

Anak-anak muda di Papua cukup solid. Yang menjadi masalah, mereka belum punya satu organisasi atau front nasional yang diterima oleh Jakarta untuk berdialog soal masa depan Papua. Di Timor Leste, ada Conselho Nacional de Resistência Timorense yang dipimpin Xanana Gusmao. Dalam kasus Gerakan Aceh Merdeka, ada Muzakir Manaf dan Hasan Tiro.

Banyak faksi di Papua sehingga masih ada kesan tak satu suara…

Mereka sudah punya sebenarnya. Pada 2016, mereka membentuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Organisasi itu yang sebetulnya menjadi anggota Melanesian Spearhead Group, lembaga internasional yang beranggotakan negara-negara Melanesia. Masalahnya, pemerintah Indonesia masih menolak ULMWP sebagai representasi politik gerakan di Papua.

Apakah pendekatan otonomi khusus dianggap efektif oleh anak muda di Papua?

Tidak ada titik temu karena persoalan hak asasi manusia itu yang semestinya diselesaikan oleh Jakarta. Itu yang dituntut anak-anak muda di Papua. Kejahatan hak asasi manusia itu dilakukan aparat keamanan. Selama Papua menjadi bagian Indonesia, pemerintah wajib mengusutnya sampai tuntas. Faktanya, tak ada sampai sekarang. Belakangan juga ada investasi besar-besaran dan proyek strategis nasional. Itu bukan pejabat dan orang Papua yang menentukan.

Apakah otonomi khusus seperti di Aceh layak dicoba di Papua, misalnya memberi ruang pada partai lokal?

Kalau Jakarta berani mengambil solusi itu atau menambahkan pasal dalam undang-undang khusus bahwa masyarakat boleh membuat partai politik lokal, ya patut dicoba. Kalau itu memang dianggap sebagai satu solusi agar politik di Papua lebih partisipatif dan lebih diterima oleh orang asli Papua. Namun Jakarta tak mau melakukan itu.

Pemekaran provinsi justru yang ditempuh…

Pemekaran provinsi itu untuk memecah-belah elite lokal di Papua. Pasti ada friksi di antara elite lokal yang berbasis kesukuan. Dampak lain adalah pos-pos militer yang makin banyak dan ini sebetulnya agenda utama dari pemekaran itu. Institusi militer makin banyak. Hal lain adalah upaya mengamankan investasi di Papua.

Bagaimana Anda melihat dampak investasi di Papua?

Papua itu sudah habis dibagi-bagi. Nyaris tidak ada ruang kosong lagi untuk orang Papua. Tanah ulayat sudah dirampas dalam proyek strategis pemerintah. Ujungnya hanya untuk kepentingan pemekaran, penambahan tentara, dan pengamanan investor.

 

Wilson Obrigados

Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 28 Maret 1968

Pendidikan:

Sarjana Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat

Pengalaman:

  • Staf Amnesty International Indonesia (2017-2018)
  • Anggota tim riset Pusat Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2014-2017)
  • Jaringan Damai Papua (2013-2017)
  • National Papua Solidarity (2011-2017)

Karya:

  • Papua Bergerak (2025)
  • Gerakan Rakyat, Politik Identitas, dan Hukum Kolonial (2023)
  • Politik Progresif Masih Ada: Dari Bolshevik hingga Bolivarian (2021)
  • A Luta Continua! Politik Radikal di Indonesia dan Pergerakan Pembebasan Timor Leste (2010)

Sumber: tempo.co, Minggu, 22 Juni 2025

Tinggalkan Komentar Anda :