Puisi Karya Yosua Noak Douw: Surat dari Kampung kepada Ibu di Surga - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Puisi Karya Yosua Noak Douw: Surat dari Kampung kepada Ibu di Surga

Dr Yosua Noak Douw, S.Sos, M.Si, MA, penikmat sastra. Foto: Istimewa

Loading

Surat dari Kampung kepada Ibu di Surga

 

Shalom…

Selamat bersua, ibu

Kemarin saya sudah memetik sayur yang ibu tanam

Sondega, anak tetangga kita, menanyakanmu

Saya hanya beritahu, ibu pergi jauh; entah ke mana

 

Anak itu menangis tanpa henti. Tanpa henti, ibu

Katanya, kenapa ibu lama sekali tak pulang-pulang

Petatas dan kasbi (ubi kayu) matang tak ada lagi di honai

Tak ada lagi air putih yang ibu siapkan sekadar satu tetes 

Sondega menangis menunggumu saban pagi, ibu

 

Suara bocah ini memekakkan telinga, ibu

Sama seperti suara peluru merenggut nyawamu

Apakah ibu bisa pulang sekadar mencegah tangis anak ini?

Ko ator dia baik-baik to, katamu

 

Setiap saya hendak gendong dia malah semakin histeris, ibu

Dia tak mau kehilangan lagi denganmu, ibu

Sejak ayah dan ibunya menghilang ditelan binatang buas

Anak ini malah ingin kembali menelusuri gunung dan lembah

 

Ia ingin bertanya kepada senja di mana kedua orangtuanya berada

Tapi tak ada jawaban: gunung dan lembah membisu

Pohon keramat di ujung kebun di kampung kita

Ia datangi dan suaranya serak dalam tanya: kau lenyapkan ibu?

 

Kemarin pagi Sondega duduk di bibir telaga

Ia protes: katanya kedua orangtuanya tinggal di dasar telaga

Disembunyikan telaga tanpa alasan

Begitu katanya, ibu

 

Saya sudah ingatkan bocah ini, ibu

Telaga ini warisan Teteh Manis, Tuhan sang Sabda

Telaga tidak bunuh orangtuanya

Ia malah makin histeris: ia minta ibu segera pulang

 

Beritahu ibu agar minta ijin Tuhan. Katanya, ibu

Saya tak kuasa merayu bocah ini, ibu

Malah ia menuding saya sembunyikan ibu dan orangtuanya

Kalau Tuhan sudi: kembalikan mereka, katanya

 

Kini, Sondega dalam dekapanku, ibu

Tapi kami masih takut binatang buas kembali lagi ke honai kita

Memangsa tanpa ampun seperti memangsamu

Kalaupun surat ini tiba mohon ijin Tuhan, ibu

Kasi waktu sejenak ibu pulang kampung semenit

Bocah ini merindukanmu. Pun aku, ibu

 

Papua: Doa yang Bernyanyi di Bawah Langit-Nya 

 

Di tepian matahari terbit, Tuhan menitipkan rindu

Papua —keping surga yang dirajut dari debu dan doa

Gunung-gunung menjulang, tegak sebagai mazmur syukur

Lembah-lembah menghampar, mencatat Firman yang tak terucap

 

Sungai-sungai mengalir, mengisyaratkan Kasih yang tak putus

Airnya jernih, membasuh lara, mengukir janji abadi

Cendrawasih berkidung, sayapnya menuliskan liturgi

Di dahan rindang, mereka pun berbisik: “Dia masih mendengar.”

 

Raja Ampat menari, cermin langit jatuh ke samudra

Karang-karang bernyawa, menyembah sang Pemeluk gelombang

Pasir putih bergetar, menyerap derap kaki yang berlari

Di sini, angin pun berzikir: Tanah ini terjaga dalam genggaman-Nya

 

Di balik kabut pagi, desa-desa tertidur tenang

Tifa dan tarian merangkai malam menjadi kidung syafaat

Leluhur berbisik di relung hutan yang sakral

Jangan takut, darahmu adalah madah yang mengalir di nadi-Nya!

 

Lihatlah! Matahari terbit selalu di ufuk yang sama

Menyinari luka, mengeringkan air mata yang tersembunyi

Bahkan duri di jalanan pun bersujud pada sang fajar

Sebab Tuhan masih ada: Dia hitung setiap rintih dan rindu

 

Papua…. Tak usah cemas ditelan sunyi dan terlupakan

Langitmu biru adalah kain sembahyang yang tak pernah koyak

Pesona hutan, gunung, bukit, telaga, perut bumi nan kaya raya adalah tangan-Nya yang merentang  

Memeluk rahasia, menumbuhkan benih harap yang tak kan gugur  

 

Jagalah ia, seperti Tuhan menjagamu dalam diam

Dalam rintik hujan, dalam akar yang merambat ke jantung bumi

Sebab elokmu adalah kitab yang terbuka bagi dunia

Dari ufuk timur, surga masih bernafas —dan doa masih terdaras  

 

Rindu yang Terhampar di Bumi Cendrawasih

 

Di ufuk timur, sunyi memanggil namamu

Papua —hamparan rindu yang selalu merenda kabut duka

Di balik pegunungan yang menjulang menyentuh langit biru

Hutan membisikkan syair abadi nan teduh; kepada-Nya muara doa 

Keagungan nama-Nya menyatu dalam rongga batin anak-anak Melanesia  

 

Sungai-sungaimu mendendangkan tembang purba

Menyentuh batu, mengukir cerita yang tak ternoda

Burung Cendrawasih menari manja di rimbun pepohonan

Sayapnya merentang laksana pelangi indah yang tertahan di bola mata

 

Raja Ampat mengirim pesona senja ke dalam samudra

Ikan-ikan berkilau adalah mutiara yang terpendam

Angin laut membelai pasir putih nan lembut

Memeluk jejak kaki yang lelah, lalu menghilang perlahan

 

Di lereng lembah, desa-desa tersenyum tenang

Tarian adat tersaji, merajut kearifan lokal warisan leluhur

Suara tifa menyatu dengan gemericik hujan

Melukis menambah indah kelam yang diselimuti gemintang

 

Papua, pesonamu adalah ayat-ayat semesta

Anugerah-Nya yang dititipkan di potongan surga beta

Jagalah ia seperti kau jaga nafas sendiri

Agar rupanmu tetap abadi, tak dimangsa oleh jejak waktu kadang bengis

 

Jangan biarkan luka menggores wajahmu yang suci

Hijau daun, biru langit, harus tetap bersemi

Papua dikau bukan sekadar tanah yang elok di mata peziarah

Tapi doa yang hidup, warisan untuk anak cucu di penghujung musim  

Karubaga, medio Mei 2025

Dr Yosua Noak Douw, S.Sos, M.Si, MA lahir di Karubaga, Tolikara, 18 November 1982. Masuk SD Negeri Karubaga tahun 1989-1991, SD YPPGI Tulem tahun 1991-1992, dan SD Inpres Porome, Distrik Kelila, Kabupaten Jayawijaya tahun 1992-1994.

Kemudian masuk SLTP Negeri 2 Wamena, Jayawijaya tahun 1994-1997 dan SMU Negeri 1 Wamena tahun 1997-2000. Kuliah pada Fisip Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura tahun 2000-2004 dan meraih Magister Ilmu Ekonomi Uncen tahun 2011-2013. Tahun 2023 meraih doktor (S3) di Uncen.

Menikah dengan gadis pilihannya, Novita Ronsumbre, dan dikaruniai anak-anak: Hadasah Douw, Priskila Douw, Yusuf Douw, Beruriah Douw, David Douw, Yuliana Douw, dan Yehoshua Douw. Yosua terlahir dari pasangan suami-isteri: Yerry Douw, S.Th, MA, M.Th dan Yuliana Agapa.

Ayahnya adalah seorang guru perintis pendidikan sekaligus hamba Tuhan di Tolikara. Sedangkan sang bunda, ibu rumah tangga. Yosua adalah seorang ASN penikmat sastra. Ia lama mengabdi di birokrasi dengan sejumlah penugasan. Kini, menjabat Sekda Tolikara, Papua Pegunungan dan satu-satunya Sekda termuda di seluruh tanah Papua. 

Puisi-puisi karyanya ini atas keindahan dan kekayaan alam dan budaya tanah Papua. Karya itu merangkum kerinduan atas Papua sebagai tanah terberkati, menegaskan keyakinan bahwa Tuhan selalu menyertai, mendengar, dan memelihara kehidupan di atas tanah itu. Alam dan budaya yang elok digambarkan sebagai bagian dari rencana Ilahi yang harus dijaga dan dicintai meski harus terluka.

Tinggalkan Komentar Anda :