Surat dari Kampung kepada Ibu di Surga
Shalom…
Selamat bersua, ibu
Kemarin saya sudah memetik sayur yang ibu tanam
Sondega, anak tetangga kita, menanyakanmu
Saya hanya beritahu, ibu pergi jauh; entah ke mana
Anak itu menangis tanpa henti. Tanpa henti, ibu
Katanya, kenapa ibu lama sekali tak pulang-pulang
Petatas dan kasbi (ubi kayu) matang tak ada lagi di honai
Tak ada lagi air putih yang ibu siapkan sekadar satu tetes
Sondega menangis menunggumu saban pagi, ibu
Suara bocah ini memekakkan telinga, ibu
Sama seperti suara peluru merenggut nyawamu
Apakah ibu bisa pulang sekadar mencegah tangis anak ini?
Ko ator dia baik-baik to, katamu
Setiap saya hendak gendong dia malah semakin histeris, ibu
Dia tak mau kehilangan lagi denganmu, ibu
Sejak ayah dan ibunya menghilang ditelan binatang buas
Anak ini malah ingin kembali menelusuri gunung dan lembah
Ia ingin bertanya kepada senja di mana kedua orangtuanya berada
Tapi tak ada jawaban: gunung dan lembah membisu
Pohon keramat di ujung kebun di kampung kita
Ia datangi dan suaranya serak dalam tanya: kau lenyapkan ibu?
Kemarin pagi Sondega duduk di bibir telaga
Ia protes: katanya kedua orangtuanya tinggal di dasar telaga
Disembunyikan telaga tanpa alasan
Begitu katanya, ibu
Saya sudah ingatkan bocah ini, ibu
Telaga ini warisan Teteh Manis, Tuhan sang Sabda
Telaga tidak bunuh orangtuanya
Ia malah makin histeris: ia minta ibu segera pulang
Beritahu ibu agar minta ijin Tuhan. Katanya, ibu
Saya tak kuasa merayu bocah ini, ibu
Malah ia menuding saya sembunyikan ibu dan orangtuanya
Kalau Tuhan sudi: kembalikan mereka, katanya
Kini, Sondega dalam dekapanku, ibu
Tapi kami masih takut binatang buas kembali lagi ke honai kita
Memangsa tanpa ampun seperti memangsamu
Kalaupun surat ini tiba mohon ijin Tuhan, ibu
Kasi waktu sejenak ibu pulang kampung semenit
Bocah ini merindukanmu. Pun aku, ibu
Papua: Doa yang Bernyanyi di Bawah Langit-Nya
Di tepian matahari terbit, Tuhan menitipkan rindu
Papua —keping surga yang dirajut dari debu dan doa
Gunung-gunung menjulang, tegak sebagai mazmur syukur
Lembah-lembah menghampar, mencatat Firman yang tak terucap
Sungai-sungai mengalir, mengisyaratkan Kasih yang tak putus
Airnya jernih, membasuh lara, mengukir janji abadi
Cendrawasih berkidung, sayapnya menuliskan liturgi
Di dahan rindang, mereka pun berbisik: “Dia masih mendengar.”
Raja Ampat menari, cermin langit jatuh ke samudra
Karang-karang bernyawa, menyembah sang Pemeluk gelombang
Pasir putih bergetar, menyerap derap kaki yang berlari
Di sini, angin pun berzikir: Tanah ini terjaga dalam genggaman-Nya
Di balik kabut pagi, desa-desa tertidur tenang
Tifa dan tarian merangkai malam menjadi kidung syafaat
Leluhur berbisik di relung hutan yang sakral
Jangan takut, darahmu adalah madah yang mengalir di nadi-Nya!
Lihatlah! Matahari terbit selalu di ufuk yang sama
Menyinari luka, mengeringkan air mata yang tersembunyi
Bahkan duri di jalanan pun bersujud pada sang fajar
Sebab Tuhan masih ada: Dia hitung setiap rintih dan rindu
Papua…. Tak usah cemas ditelan sunyi dan terlupakan
Langitmu biru adalah kain sembahyang yang tak pernah koyak
Pesona hutan, gunung, bukit, telaga, perut bumi nan kaya raya adalah tangan-Nya yang merentang
Memeluk rahasia, menumbuhkan benih harap yang tak kan gugur
Jagalah ia, seperti Tuhan menjagamu dalam diam
Dalam rintik hujan, dalam akar yang merambat ke jantung bumi
Sebab elokmu adalah kitab yang terbuka bagi dunia
Dari ufuk timur, surga masih bernafas —dan doa masih terdaras
Rindu yang Terhampar di Bumi Cendrawasih
Di ufuk timur, sunyi memanggil namamu
Papua —hamparan rindu yang selalu merenda kabut duka
Di balik pegunungan yang menjulang menyentuh langit biru
Hutan membisikkan syair abadi nan teduh; kepada-Nya muara doa
Keagungan nama-Nya menyatu dalam rongga batin anak-anak Melanesia
Sungai-sungaimu mendendangkan tembang purba
Menyentuh batu, mengukir cerita yang tak ternoda
Burung Cendrawasih menari manja di rimbun pepohonan
Sayapnya merentang laksana pelangi indah yang tertahan di bola mata
Raja Ampat mengirim pesona senja ke dalam samudra
Ikan-ikan berkilau adalah mutiara yang terpendam
Angin laut membelai pasir putih nan lembut
Memeluk jejak kaki yang lelah, lalu menghilang perlahan
Di lereng lembah, desa-desa tersenyum tenang
Tarian adat tersaji, merajut kearifan lokal warisan leluhur
Suara tifa menyatu dengan gemericik hujan
Melukis menambah indah kelam yang diselimuti gemintang
Papua, pesonamu adalah ayat-ayat semesta
Anugerah-Nya yang dititipkan di potongan surga beta
Jagalah ia seperti kau jaga nafas sendiri
Agar rupanmu tetap abadi, tak dimangsa oleh jejak waktu kadang bengis
Jangan biarkan luka menggores wajahmu yang suci
Hijau daun, biru langit, harus tetap bersemi
Papua dikau bukan sekadar tanah yang elok di mata peziarah
Tapi doa yang hidup, warisan untuk anak cucu di penghujung musim
Karubaga, medio Mei 2025
Dr Yosua Noak Douw, S.Sos, M.Si, MA lahir di Karubaga, Tolikara, 18 November 1982. Masuk SD Negeri Karubaga tahun 1989-1991, SD YPPGI Tulem tahun 1991-1992, dan SD Inpres Porome, Distrik Kelila, Kabupaten Jayawijaya tahun 1992-1994.
Kemudian masuk SLTP Negeri 2 Wamena, Jayawijaya tahun 1994-1997 dan SMU Negeri 1 Wamena tahun 1997-2000. Kuliah pada Fisip Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura tahun 2000-2004 dan meraih Magister Ilmu Ekonomi Uncen tahun 2011-2013. Tahun 2023 meraih doktor (S3) di Uncen.
Menikah dengan gadis pilihannya, Novita Ronsumbre, dan dikaruniai anak-anak: Hadasah Douw, Priskila Douw, Yusuf Douw, Beruriah Douw, David Douw, Yuliana Douw, dan Yehoshua Douw. Yosua terlahir dari pasangan suami-isteri: Yerry Douw, S.Th, MA, M.Th dan Yuliana Agapa.
Ayahnya adalah seorang guru perintis pendidikan sekaligus hamba Tuhan di Tolikara. Sedangkan sang bunda, ibu rumah tangga. Yosua adalah seorang ASN penikmat sastra. Ia lama mengabdi di birokrasi dengan sejumlah penugasan. Kini, menjabat Sekda Tolikara, Papua Pegunungan dan satu-satunya Sekda termuda di seluruh tanah Papua.
Puisi-puisi karyanya ini atas keindahan dan kekayaan alam dan budaya tanah Papua. Karya itu merangkum kerinduan atas Papua sebagai tanah terberkati, menegaskan keyakinan bahwa Tuhan selalu menyertai, mendengar, dan memelihara kehidupan di atas tanah itu. Alam dan budaya yang elok digambarkan sebagai bagian dari rencana Ilahi yang harus dijaga dan dicintai meski harus terluka.