MOWANEMANI, ODIYAIWUU.com — Komunitas masyarakat suku Mee di wilayah Meepago memiliki banyak cerita unik dan inspiratif yang dapat dijadikan pedoman atau pelajaran hidup. Namun, berbagai kisah tersebut masih sebatas cerita lisan dan belum terdokumentasi dalam bentuk buku.
“Kali ini lahir buku Amoye Melawan Anak Raja Iblis dan Dongeng-Dongeng Lainnya yang ditandai dengan acara peluncuran. Setiap keluarga wajib menceritakan kepada anak-anak mereka tentang berbagai kisah perjalanan suku Mee,” ujar Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Dogiyai Wilhelmus Petege, S.Pd saat membuka acara peluncuran dan bedah buku Amoye Melawan Anak Raja Iblis dan Dongeng-Dongeng Lainnya di Mowanemani, kota Kabupaten Dogiyai, Papua, Selasa (16/8).
Menurut Wilhelmus, semua pihak khususnya warga Dogiyai harus memulai mendokumentasikan berbagai kisah unik suku Mee dan mulai menulisnya dalam bentuk buku sehingga kisah-kisah itu tidak hilang. Kehadiran buku yang mendokumentasikan kisah-kisah unik suku Mee sangat positif sehingga di masa akan datang generasi muda termotivasi menulis lebih banyak lagi tentang suku Mee.
“Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Dogiyai menyampaikan apresiasi kepada penulis Topilus Bastian Tebai atas terbitnya buku ini. Buku ini akan menjadi bahan koleksi di perpustakaan untuk dibaca semua kalangan. Beberapa waktu lalu buku itu diserahkan kepada kami. Dinas belum bisa membantu biaya cetaknya karena anggaran minim. Kami juga belum memiliki kantor sendiri,” ujar Wilhelmus lebih jauh.
Fredy Yobee, S.Pd, salah seorang pamateri saat peluncuran mengapresiasi Bastian Tebai, muridnya semasa ia mengajar Bahasa dan Sastra di SMP YPPK Santo Fransiskus Mowanemani yang diakui sangat piawai merekam baik berbagai kisah unik suku Mee sehingga mampu menulis dan menerbitkannya dalam bentuk buku.
Yobee yang juga Kepala SMA Negeri 2 Dogiyai menyambut baik tiga buku karya Bastian Tebai, mantan muridnya di SMP YPPK Santo Fransiskus Mowanemani. Buku-buku karya itu yaitu Aku Peluru Ketujuh, Nemangkawi, dan Amoye Melawan Anak Raja Iblis dan Dongeng-Dongeng Lainnya.
“Komunitas suku Mee memiliki banyak cerita yang belum terdokumentasi dalam bentuk buku. Dalam kisah lisan itu, terkandung nasehat dan petuah yang bisa dijadikan pelajara hidup. Mereka yang memahami dan menjalankan nasehat, pesan dari cerita itu dia adalah tonowi, orang besar suku Mee,” ujar Yobee.
Pemateri lainnya, pendiri Gerakan Papua Mengajar (GPM) Agustinus Kadepa, S.Pd mengatakan, banyak generasi muda sudah lupa aneka kisah unik dan sarat pesan kehidupan karena belum terdokumentasi dalam bentuk buku.
“Buku Amoye Melawan Anak Raja Iblis dan Dongeng-Dongeng Lainnya sangat membantu masyarakat, terutama dunia pendidikan mengetahui kisah-kisah unik dan inspiratif suku Mee. Dari buku ini penulis berbagi informasi untuk dijadikan sumber bacaan menarik,” kata Agustinus.
Buku ini diakui Agustinus menjadi bahan bagi orang tua mengajari anak-anak mereka mengetahui aneka kisah unik suku Mee. Ketika orangtua membaca kisah-kisah dalam buku tersebut, mereka bisa melanjutkan kepada anak-anak mereka.
Papua khususnya di wilayah adat Meepago menyimpan banyak bukan hanya kisah kekayaan alam tetapi juga budaya yang khas. Misalnya, tentang pesona wisata Raja Ampat, Mansren Koreri di Biak, Koyei di Meepago, dan cerita-cerita lainnya.
“Aneka kekayaan budaya warisan orangtua kita berpotensi hilang bila kita semua tidak membiasakan diri mencinta literasi. Saya banyak belajar dari kaka-kaka dari Dogiyai meski saya orang Enarotali, Paniai,” lanjut Agustinus.
Bastian Tebai mengaku, niat menulis kembali aneka kisah unik suku Mee dalam bentuk buku terdorong dari cerita kedua orang tua yang sering ia dengar sore hari. Kisah tersebut dalam rencana diterbitkan di Kompas setelah diperiksa editor Johannes Supriyono, tapi gagal.
“Laptop saya sempat saya gadai. Celakanya, data dan naskah hilang. Namun, kaka Supri (Supriyono) masih simpan filenya dengan baik sehingga buku ini terbit. Saya menyampaikan terimakasih berkat bantuan Pemkab Dogiyai buku ini berhasil diterbitkan,” kata Bastian Tebai.
“Saya juga terbuka menerima kritik dan saran berbagai pihak untuk edisi revisinya. Saya menulis buku ini dalam dialek Mapiha, Bahasa Mee,” lanjut Bastian Tebai. (Isodorus Tebai/Odiyaiwuu.com)