Sagu dan Beras: Ketersingkiran dan (Kemungkinan) Kebangkitan Pangan Lokal (Bagian Ketujuh) - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Sagu dan Beras: Ketersingkiran dan (Kemungkinan) Kebangkitan Pangan Lokal (Bagian Ketujuh)

Masyarakat Papua sudah lama menerima kebijakan transmigrasi dari Pemerintah Pusat ke Provinsi Papua. Para transmigran tinggal di pelosok-pelosok Papua untuk bekerja hingga membentuk pemukiman baru. Warga transmigran dan warga lokal menyatu dalam keseharian membangun tanah Papua. Sumber foto ilustrasi: papua.antaranews.com, 1 Mei 2015

Loading

Oleh Johanes Supriyono
Antropolog

BAGAIMANA orang-orang Papua memandang para migran? Sebaliknya, bagaimana para migran mempersepsi orang-orang Papua? Konteks sejarah yang telah terbentuk sebelumnya, termasuk kampanye-kampanye yang digelorakan pada era sebelumnya tidak bisa dilepaskan untuk mengurai jawabannya. Hal yang sebaliknya juga berlaku. Kesadaran historis orang-orang Papua juga memengaruhi pandangan mereka terhadap orang dari luar Papua.

Apakah selanjutnya terjadi suatu dialektika pandangan yang intens di antara keduanya untuk sampai pada kesepahaman? Apakah di antara keduanya terjalin relasi untuk saling meniadakan? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk menuntun kita menyelami relasi di antara migran dan orang Papua sampai dewasa ini. Saya berharap pada kesempatan lain berkesempatan untuk membedah topik relasi antara migran dengan orang Papua.

Relasi yang tumbuh di antara orang Papua dengan para migran juga sulit untuk disebut harmonis. Lebih banyak timbul saling curiga dan saling mengurung diri atau mengatur jarak. Kadang-kadang, ketika mendapatkan momentum, masing-masing saling mengalahkan. Meskipun sebagian besar dilakukan secara diam-diam, dalam dinamika politik lokal masing-masing berusaha menghimpun kekuatan untuk berkuasa. Kasus-kasus dimana relasi migran dengan orang Papua berlangsung baik boleh diperlakukan sebagai perkembangan lebih lanjut yang membawa harapan baik.

Saya menemukan bahwa orang-orang Papua tidak berjaya dalam program-program persawahan ataupun kemudian perkebunan sawit. Banyak dari mereka kehilangan kepemilikan atas hutan mereka karena pencaplokan oleh negara. Bukan hanya lahan mereka lenyap, mereka juga mengalami tekanan kultural manakala cara hidup mereka dibenturkan dengan sebuah cara hidup yang lain yang diklaim lebih unggul, atau sekurang-kurangnya lebih diharapkan oleh pemerintah.

Di Wiraska, Satuan Permukiman (SP) di Nabire Barat yang dibuka pada 1983, saya bercakap-cakap dengan seorang transmigran. Ia disapa Pak Guru Win. Ketika mengikuti program transmigrasi ia sudah lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Ijazah ini kelak membuka kesempatan baginya untuk melamar PNS dan menjadi guru SD di Papua. Saya mendapatkan gambaran setting perkampungan transmigran yang dimaksudkan untuk pembangunan orang Papua darinya.

Kampung transmigran, sesuai dengan informasi dari Pak Win, diatur sebagai pertemuan antara orang Papua dan orang migran. Orang-orang Papua berasal dari warga sekitar yang ingin ambil bagian dalam program pemerintah. Namanya transmigrasi lokal. Jadi, orang-orang asli Papua bergabung di satuan permukiman dan mendapatkan jatah bantuan seperti yang diterima oleh migran dari luar Papua.

Para transmigran lokal itu menempati rumah di antara rumah-rumah para migran. Dalam satu jalur berdiri secara berselang-seling: rumah migran, rumah orang asli Papua, rumah migran, dan begitu seterusnya. Akan tetapi, tampaknya jumlah orang asli Papua yang mengikuti program transmigrasi lokal tidak seimbang dengan jumlah transmigran dari luar Papua.

Pengaturan permukiman seperti saya uraikan di atas saya jumpai di SP 1 Bumiraya, Nabire, pada Oktober-November 2008. Di kampung itu terdapat beberapa keluarga asal suku Mee. Saya membaca nama-nama mereka pada jadwal Poskamling di gardu jaga. Marga-marga Mee bersanding dengan nama seperti Santoso, Supandi, Katmono, Wardi, dan lain-lain. Nama orang Papua lebih sedikit di papan itu. Keluarga asli Papua yang masih tinggal di kampung itu tidak sebanyak ketika program transmigrasi dimulai. Di jalur yang kami lintasi, kami melihat keluarga-keluarga asli Papua di SP itu.

Kepada Pak Win saya bertanya apakah ia mengetahui tujuan pengaturan permukiman seperti itu. Ia tidak mengerti secara persis. Ia hanya mengingat pernah mendengar suara yang mengatakan bahwa pengaturan itu untuk membantu orang-orang Papua belajar hidup yang lebih maju dari saudara-saudaranya. Ringkasnya, supaya orang-orang Papua mengubah cara hidupnya.

Akan tetapi, perkembangan berikutnya membalikkan harapan itu. Upaya itu kurang sukses. Pak Darma, transmigran dari Banyuwangi, rekan bercakap sore itu, berkisah bahwa dahulu jumlah keluarga asli Papua lebih banyak. Perlahan-lahan menyusut. Ia tidak mengerti secara pasti alasan mereka kembali ke permukiman mereka yang lama. Pak Darma memberi informasi, meski sudah tidak lagi tinggal di jalur, para mantan transmigran lokal itu masih berkebun di kapling mereka. Mereka bertani sayur, palawija, dan beternak (ayam, bebek, babi).

Sementara, di Kampung Wiraska, menurut keterangan Pak Win, orang-orang Papua peserta transmigrasi lokal tidak ada yang berlanjut atau bertahan. Satu per satu berpindah ke tempat asalnya. “Biasanya rumah dan pekarangan mereka dijual ke tetangga sebelahnya. Kemudian mereka kembali ke kampungnya. Kapling-kaplingnya juga dijual. Tidak betah,” kata Pak Win. (Bersambung)

Tinggalkan Komentar Anda :