Jejak Inspiratif Ndoro Menggung dari Residentie Soerakarta - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Jejak Inspiratif Ndoro Menggung dari Residentie Soerakarta

Buku Subroto Tak Kenal Lelah. Foto: Ansel Deri/Odiyaiwuu.com

Loading

Judul : Subroto Tak Kenal Lelah

Penulis : Dr Rizal Sikumbang, dkk

Prakata : Dr Rizal Sikumbang

Pengantar : Parni Hadi

Editor :Parni Hadi dan Mustofa Kamil Ridwan

Prolog : Prof Dr Widjojo dan Prof Dr M Sadli

Epilog : Prof Dr Emil Salim, Prof Dr Sri Edi Swasono, dan Saleh Basarah

Penerbit : Yayasan Bina Anak Indonesia

Pencetak : PT Penebar Swadaya Jakarta

Terbit : I, Mei 2004

Tebal : 434

MANTAN menteri era Presiden Soeharto, Prof Dr Subroto (selanjutnya Subroto), Selasa (20/12) pukul 16.25 WIB meninggal dunia. Subroto menutup mata selamanya dalam usia (99) lebih tiga bulan. Menteri Pertambangan dan Energi periode 1978-1988 itu meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Soebroto lahir pada 19 September 1923 di Kampung Sewu, Kota Surakarta, Residentie Soerakarta (Keresidenan Surakarta), Jawa Tengah. Ia adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara buah kasih Martosuwignyo dan Sindurejo.

Setelah lulus Hollandsch Inlandsche School (HIS) atau setingkat Sekolah Dasar zaman Belanda, Subroto melanjutkan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Sekolah Menengah Tinggi (SMT). Ingatan penulis segera mundur ke beberapa tahun silam dalam perjumpaaan yang tak terduka.

Suatu siang pada Kamis (25/6 2009), di tengah hiruk pikuk Jakarta, penulis bersua dengan seorang pria berambut putih. Diapit seorang ibu muda, ia berjalan dengan bantuan tongkat setinggi pinggang orang dewasa.

Masih energik pula. Kala itu, Soebroto hadir dalam sebuah acara penting yang diikuti Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia dan mantan Presiden Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak atau Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) Purnomo Yusgiantoro dan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan.

Pria itu tak lain Subroto, (99), menteri era Orde Baru dan mantan Sekjen OPEC yang berkedudukan di Wina, Austria. “Dulu, yang dicita-citakan ayah dan ibu saya saat saya besar adalah supaya saya dapat berdharma. Berdharma artinya, berbuat sesuatu bagi orang lain. Setelah kita sudah berbuat sesuatu bagi orang lain maka hidup kita baru ada artinya. Itu yang disampaikan ayah dan ibu saya,” kata Soebroto kepada penulis.

Meski fisik tak terbilang kuat lagi akibat tergerus usia yang kian senja, ia nampak sehat dan bugar. Ia pun buka rahasia tentang nikmat sehat yang dialami dari Tuhan, sang Sabda.

Paling utama yakni bersyukur kepada Allah karena sudah diberi umur panjang, kesehatan dan tetap bermanfaat bagi banyak orang. Untuk membuat badannya tetap sehat ia juga berenang, rutin jalan kaki dan bermain tenis secara teratur.

Nah, di usianya yang kian uzur muncul ide menuangkan jejak pengabdian mewujud Subroto Tak Kenal Lelah, sebuah memoar yang diarsiteki dua wartawan senior, Parni Hadi dan Mustofa Kamil. Meski sudah terbit beberapa tahun silam, buku itu hemat penulis sangat inspiratif kapanpun bila diakrabi melalui membaca.

Sejumlah kolega dan bekas mahasiswa juga ikut menulis sisi lain Subroto. Sebut saja para ahli ekonomi dan mantan pejabat di masanya semisal Widjoyo Nitisastro, Mohammad Sadli, Emil Salim dan Sri Edi Swasono.

Tujuan penulisannya, sejauh penulis baca, tak lain untuk mengenal sosok Subroto dan rekam jejaknya (track record) sejak kecil, masa pergerakan, dan menduduki jabatan penting di tingkat nasional maupun internasiona hingga memanfaatkan sisa pengabdian hingga ajal menjemput.

Jejak inspiratif

Siapa Subroto? Pria ramah dan murah senyum ini lahir di Kampung Sewu, Solo, 19 September 1923. Ia terlahir sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Martosuwignyo – Sindurejo.

Saat kecil ia dipanggil dengan nama kesayangan Ndoro Menggung oleh orangtua dan saudara-saudaranya. Pemilihan nama Subroto pun punya makna khusus. Bahwa kelak diharapkan Soebroto menjadi seseorang yang mau melakukan pengabdian demi memayu-ayuning bawono atau kemaslahatan banyak orang.

Meski anak priyai, ia tak memperoleh hak istimewa, termasuk mengenyam pendidikan di HIS maupun pendidikan luar sekolah seperti Gerakan Kepanduan.

Selepas HIS, Subroto melanjutkan sekolah di MULO dan Sekolah Menengah Tinggi (SMT). Situasi pada saat itu memaksa Subroto mendaftarkan diri masuk Pembela Tanah Air (PETA). Sayangnya, ia harus ditolak karena terlalu kurus. Pada 1 November 1945, ia diterima sebagai kadet (taruna) di Militer Academie (MA) di Yogya. Ada kebanggaan karena dari 197 angkatan pertama ia adalah lululusan Terbaik II dan menyandang pangkat Letnan II.

Sebagai tentara Subroto bersama rekan-rekannya seperti Wiyogo Atmodarminto, Soesilo Soedarman, Himawan Sutanto, Ali Sadikin, Yogi Supardi, dan Sayidiman Suryohadiprodjo ikut bertempur melawan penjajah hingga tahun 1950.

Selepas medan pertempuran, Subroto kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) hingga meraih gelar Sarjana Muda tahun 1952. Kesempatan terbuka lebar. Subroto melanjutkan kuliah di Mc Gill University, Montreal, Canada. Pada 1958 meraih gelar doktor ekonomi di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat. Gelar Profesor, Guru Besar segera diperoleh.

Berbagai kepercayaan terus diberikan. Pernah menjabat Dirjen Penelitian dan Pengembangan Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Tahun 1971–1973 menjabat Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi Kabinet Pembangunan II. Tahun 1978 menjadi Menteri Pertambangan dan Energi. Program Listrik Masuk Desa adalah program yang ia rintis kala itu.

Tahun 1988, Subroto mendapat kepercayaan menjadi Sekretaris Jenderal OPEC yang berkedudukan di Wina, Austria. Dari Wina, Austria ini ia masih sempat memikirkan nasib anak bangsa yang masih terbelit kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan keterpurukan.

Kondisi ini mendorong Subroto dan sekretarisnya, Rizal Sikumbang mendirikan Yayasan Bina Anak Indonesia (YBAI) yang concern di bidang pendidikan. Di usia senja ia terus berkarya dan mengabdi tanpa batas hingga batas usia 99 tahun plus tiga bulan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengaku buku ini lahir dari sebuah inspirasi waktu Subroto menyampaikan pidatonya di Lengkong Wetan, pilot project YBAI di bidang pendidikan.

Ada teladan yang bisa dipetik dari buku ini yaitu bagaimana anak-anak dan remaja belajar, berpikir, bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Ke depan bangsa ini harus bangkit mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan teknologi dan sosial ekonomi, dengan fokus perubahan di desa-desa di seluruh pelosok Tanah Air.

Buku ini bisa menjadi insiprasi bagi siapa saja, terutama anak-anak sekolah, yang menjadi generasi pewaris masa depan bangsa. Sebagaimana inspirasi yang ditunjukkan Ndoro Menggung, anak kampung Sewu, Solo sejak kecil hingga memasuki usia senja.

Ansel Deri

Penulis lepas, tinggal di Jakarta

Tinggalkan Komentar Anda :