JAYAPURA, ODIYAIWUU.com – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua, John RN Gobai, mengatakan laju deforestasi atau kerusahan lahan sagu di hampir sebagian wilayah di Provinsi Papua, tak terbendung lagi. Padahal, sagu merupakan pohon yang mempunyai berbagai fungsi. Pohon sagu banyak tumbuh di Papua bagian pesisir, wilayah selatan Papua masih menyimpan cadangan hutan sagu yang luas.
Celakanya, kebijakan pembangunan dan investasi telah dan sedang menggusur dan membabat pohon sagu yang tumbuh secara alamiah . Di sisi lain budidaya sagu masih terbatas. Padahal, sagu menjadi salah satu sumber pendapatan masyarakat untuk menopang ekonomi masyarakat. Di bagian pesisir Papua masyarakat masih mengandalkan sagu sebagai penopang ekonomi sehingga diperlukan upaya strategis untuk perlindungan dan pengembangannya.
“Dalam rangka perlindungan hutan atau dusun sagu yang adalah sumber kehidupan masyarakat, diperlukan kebijakan pembatasan pembukaan lahan baik kehutanan maupun perkebunan sawit, pembukaan jalan dan pembangunan kompleks perumahan yang membongkar hutan sagu,” ujar anggota Dewan Perakilan Rakyat Papua Jhon NR Gobai kepada Odiyaiwuu.com di Jayapura, Papua, Rabu (26/5).
Menurut Gobai, mesti ada upaya membuka kebun kebun atau dusun dusun sagu, perlu ada budidaya sagu khas Papua. Selain itu, perluk juga upaya secara bertahap pengurangan bantuan beras bantuan untuk rakyat miskin karena telah merubah pola konsumsi masyarakat. “Dalam rangka perlindungan pemerintah harus buat regulasi khusus yang nantinya harus dilaksanakan dengan benar di tingkat pelaksanaan,” katanya.
Ia mengusulkan agar di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang memiliki lahan sagu luas perlu dibentuk badan khusus yang mengelola sagu. Selain itu,perlu juga diikuti pengadaan peralatan pengolahan sagu, trainning atau pelatihan pengolahan tepung sagu pengganti beras atau aneka makanan ringan berbahan baku sagu.
“Sagu juga perlu diolah sebagai menu wajib dalam acara acara pemerintahan dan swasta. Kita tahu, sagu dan keladi adalah makanan pokok orang Papua sehingga harus diolah dan dijual di tingkat lokal sehingga masyarakat merasakan juga manfaatnya,” ujar Gobai.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pangan juga secara jelas telah mengatur tentang pangan lokal, sehingga sagu sebagai pangan khas masyarakat Papua local sehingga ada ruang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dan legislatif untuk menyiapkan regulasi guna perlindungan dan pengembangannya.
Pemerintah pusat juga telah menyadari bahwa sagu merupakan salah satu sumber makanan andalan mengadapi krisis pangan. Oleh karena itu pemerintah melakukan diversifikasi berbasis pangan lokal untuk menghadapi krisis pangan di masa akan datang. Salah satunya, sagu.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Republik Indonesia Momon Rusmono menyebutkan, demi memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan nasional, pemerintah melakukan diversifikasi pangan. Artinya, pemerintah tak hanya mengandalkan beras namun juga pangan lainnya seperti sagu.
“Kalau berbicara ketahanan pangan, tidak hanya berorientasi pada beras dan jagung. Oleh karena itu, pemerintah juga mengembangkan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal, salah satunya adalah sagu,” kata Momon saat berlangsung konferensi pers virtual akhir pekan ketiga Oktober tahun lalu.
Menurut Momon ada beberapa alasan menjadikan sagu sebagai alternatif yang dipilih pemerintah. Pertama, besarnya potensi yang belum digarap. Saat ini, Indonesia memiliki 5,5 juta hektare lahan sagu, namun baru 314 ribu hektare lahan saja yang dioptimalkan. Hasil panen pun masih terbilang rendah. Saat ini, perkebunan sagu dalam negeri hanya menghasilkan 3,57 ton per hektare. Sebetulnya bisa tingkatkan lebih dari 10 ton per hektare.
Kedua, sebanyak 96 persen perkebunan sagu masih dikelola oleh perkebunan rakyat dan hanya 4 persen saja yang dikelola swasta. Artinya, pengembangan sagu berpotensi menyejahterahkan petani di daerah pelosok karena mayoritas petani sagu berada di daerah, terutama di Indonesia bagian Timur.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyebutkan pengembangan sagu sebagai pangan merupakan program prioritas yang menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Sejalan dengan diversifikasi tersebut, diluncurkan salah satu inovasi yang diharapkan dapat meningkatkan konsumsi sagu di masyarakat yakni mie sagu. Waseso menyebut mie sagu merupakan kerja sama dengan swasta yang dikembangkan sejak 2018 lalu.
Namun, Buwas tak merinci kapan mie ini akan dipasarkan secara nasional. Guna mendorong produksi mi sagu, akan dibangun pabrik pengolahan di 20 wilayah. “Bulog bekerja sama dengan beberapa pihak swasta untuk membuat produk sagu mi, mi dari bahan sagu. Ini sudah kami publikasikan di beberapa wilayah,” katanya.
Data Dinas Kehutanan Provinsi Papua menyebutkan, laju deforestasi hutan sagu di provinsi paling timur Indonesia itu sangat drastis selama 15 tahun terakhir. Tahun 1996, misalnya, pihak Dinas Kehutanan Provinsi Papua mencatat hutan sagu seluas 4 juta hektare menyusut hingga menjadi 1,6 juta hektare pada 2011. Jumlah itu termasuk lahan sagu di wilayah Kabupaten Jayapura. “Laju kerusakan hutan sagu sangat fantastis. Kebutuhan lahan untuk kepentingan pembangunan dan investasi membuat hutan sagu banyak ditebang,” ujar Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Yan Yap L pekan ketiga November 2019. (Benedictus Agapa/Odiyaiwuu.com)