JAKARTA, ODIYAIWUU.com – Manajemen PT Freeport Indonesia (PT FI) didesak membangun pabrik pemurnian bahan tambang atau smelter di tanah Papua. Desakan membangun smelter di Papua penting mengingat kebutuhan pengolahan bahan mentah sebagai produk jadi memiliki nilai ekonomi bagi warga masyarakat lokal.
“Infrastruktur pemurnian tambang PT Freeport Indonesia dibangun di Papua agar ada dampak ekonomi bagi warga lokal. Selain itu dengan dibangunnya smelter di Papua akan membuka lapangan kerja bagi warga lokal dan berdampak ekonomi sektor lainnya. Presiden Jokowi sudah membangun infrastruktur jalan trans Papua ribuan kilo meter. Mestinya smelter Freeport dibangun juga di Papua,” ujar juru bicara Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) Arkilaus Baho dalam keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Rabu (14/10).
Putra asli Papua kelahiran Maybrat yang lama concern dengan sepak terjang raksasa tambang dunia itu mengatakan, smelter perlu dibangun di Papua bersamaan dengan pendirian pabrik dan industri di tiap daerah yang memiliki bahan mentah untuk diolah menjadi produk bernilai ekonomis tinggi. Artinya, bukan terpusat di Pulau Jawa, tapi perlu harus di berbagai wilayah terutama wilayah Papua.
“Papua di masa yang akan datang mampu memproduksi bahan mentah menjadi produk jadi dan bernilai ekonomis tinggi. Smelter Freeport perlu dibangun di Papua agar provinsi paling timur Indonesia itu tak lagi bergantung dari kucuran dana pusat sebagaimana nasib Otonomi Khusus Papua saat ini,” kata Atki, sapaan akrabnya.
Menurut Arkilaus Baho, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Freeport Indonesia satu paket dengan produksi pertambangan itu sendiri. Artinya, mulai dari bahan mentah hingga pemurnian sudah ada kesepakatan resmi harus diterapkan secara integratif.
Arkilaus menambahkan, perlu diketahui, pemerintah menguasai 51 persen saham PT Freeport Indonesia dan 10 persen menjadi milik daerah. Ia menduga dengan membangun smelter perusahaan tambang dunia itu di Gresik kepemilikan saham daerah 10 persen menjadi tidak jelas pihak mana yang menguasai. Misalnya, apakah keuntungan Pemerintah Provinsi Papua dari Freeport tanpa keuntungan dari smelter.
“Proyek konstruksi tersebut mampu menambah 40.000 tenaga kerja. Belum lagi bila nantinya sudah beroperasi maka akan bertambah banyak. Menghabiskan dana Rp 42 triliun dengan lokasi smelter jauh dari Papua tentu bermasalah dengan skema IUPK 51 persen plus 10 persen BUMD,” katanya.
Eltinus Omaleng dalam bukunya, Papua Minta Saham: Posisi Papua di Tengah Renegosiasi Kontrak dan Divestasi Saham PT Freeport Indonesia mengemukakan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah direvisi menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi dasar legalitas kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah daerah.
Menurut Omaleng, konsekuensinya jelas, pemerintah pusat tidak bisa lagi sewenang-wenang mengatur daerah kecuali dalam urusan tertentu seperti pendidikan, kesehatan, politik luar negeri dan pertahanan keamanan negara. Selebihnya, pemerintah daerah baik Gubernur, Bupati maupun Walikota, diberi kewenangan luas mengatur urusan fiskal daerahnya masing-masing.
“Memang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014, pemerintah pusat mencoba untuk kembali mengontrol daerah, tidak seperti jaman Orde Baru di mana pusat mengintervensi jauh sampai mengatur isi perut di daerah-daerah,” kata Omaleng dalam buku itu. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)