Oleh Kurnia Effendi
Sastrawan
MEMBACA cerita-cerita Fanny J. Poyk dalam kumpulan cerpen (tunggal) kemanusiaan, (hampir) tidak saya temukan kegembiraan. Hal itu menimbulkan pertanyaan pribadi: Apakah persoalan kemanusiaan (selalu) tentang kesedihan, penderitaan, keputusasaan, ketidakberdayaan, harapan semu, atau tentang korban tindakan kekerasan orang lain? Tentu tidak salah mengumpulkan jenis kisah murung yang kadang-kadang menyesakkan dada lantaran ikut geram atau hanyut terbawa arus duka para tokohnya. Saya yakin juga, Fanny yang gemar menulis cerita anak dan menggarap tema cinta, banyak menyuarakan keceriaan dan romantisme, tetapi tidak dalam buku ini.
Tidak dimungkiri, keterampilan Fanny mengolah cerita banyak dipengaruhi setidaknya dua hal. Pertama, dia seorang anak sastrawan besar Gerson Poyk —semula saya mengira beliau dari luar negeri, saat mulai membaca karya beliau dalam cerber Kompas di masa saya remaja— yang berarti karib dengan susastra sejak kanak-kanak. Bahkan Fanny pernah bercerita lisan, di masa kecilnya dia sudah mengenal para sahabat ayahnya seperti Umar Kayam, Danarto, Rayani Sriwidodo, Romo Mangun, dan lain-lain. Mungkin banyak rahasia pribadi para pengarang itu yang juga ikut tersimpan dalam benak Fanny. Kedua, sejak 1973 —saat usianya 13 tahun— sudah mulai merintis karier jurnalistik. Saya kira itu modal sekaligus potensi yang membuat bakat (genetika) menulisnya tumbuh subur. Bila dihitung karyanya sejak masa remaja, sudah pasti mendekati atau melebihi angka seribu.
Dalam kumpulan cerpennya itu —bukan yang pertama saya baca, sebab ada buku-buku sebelumnya termasuk novel— menunjukkan jiwa jurnalistik melekat padanya. Dalam mengolah gagasan selalu menggabungkan antara realitas (latar, budaya, isu terkini pada masanya) dan imajinasi yang seperti tak habis-habis. Mudah ditengarai karena dalam pergaulan saya dengannya, banyak cerita dia sampaikan terkait pengalamannya. Sederet kejadian lucu yang sebetulnya ironis. Menariknya, Fanny tidak menjadikannya arsip kesedihan, tetapi mencurahkan dengan charming, dengan ekspresi yang membuat para pendengarnya malah tertawa. Seperti juga Joko Pinurbo (penyair kondang dari Yogya) yang mampu atau berhasil mentertawakan nasib (sebagian besar) kalangan panyair, juga kaum marginal, orang-orang kelas bawah yang menjadi pemandangan akrabnya.
Apakah Fanny termasuk kaum marginal? Saya bilang tidak. Dia pintar menempatkan diri sebagai saksi (baik saat berperan menjadi jurnalis maupun pengarang) yang melihat sudut-sudut spesifik dari kehidupan ini. Fanny bukan tidak pernah berada di antara kalangan borjuis atau justru menjadi bagian dari “kemewahan” seorang sastrawan. Dengan kata lain, Fanny kerap menjadi gugus depan penulis negeri ini dan bergaul dengan sastrawan keren, mengikuti event terhormat, namun bukan berarti kehilangan ketajaman mata pena alias tumpul perasaannya. Hampir seluruh cerita yang dituturkan dalam kumpulan cerpen bertajuk Tanah Warisan Leluhur ini, membawa kita pada kemurungan dan kemarahan.
Saya kira ini titik bidik yang strategis dalam mengusung kesatuan ide (atau ideologi?) dengan menyentuh perasaan terdalam pembaca. Sesungguhnya, di sekitar kita, begitu dekat (seperti penyair Abdul Hadi WM menggambarkan kedekatan seorang hamba dengan Khaliknya), banyak hal yang memerlukan uluran tangan kita atau minimal upaya memberi akses untuk mengangkat penderitaan manusia. Namun yang terjadi, sebagaimana kisah-kisah tuturan Fanny, adalah ketidakpedulian kalau bukan disebut sebagai pembiaran kekejian berlangsung. Barangkali malahan kita menjadi satu di antara yang jahat itu. Sekalipun sebagian menjadi klise —lelaki pemabuk yang tak bertanggung jawab, penyalahgunaan wewenang kekuasaan, siksaan penyakit, transaksi prostitusi— kita melihat ada sisi-sisi kemanusiaan yang rupanya tidak pernah berhenti ditindas dan dilenyapkan dari hati nurani sejak zaman prasejarah. Dengan perbedaan medium, praktik “yang kuat menerkam yang lemah” itu terus terjadi, berseri-seri, dalam skala kecil (rumahan) sampai porsi besar (pemerintah daerah, negara, seperti yang dikisahkan dalam Tanah Warisan Leluhur. Ah, duka itu milik kita, Fanny.
Tidak lepas dari urusan cinta —pada mulanya— Fanny menggarap masalah sosial, ekonomi, budaya dengan aliran deras. Di sela plot yang mengalur, disisipkan berbagai informasi menarik yang umumnya memperkuat penokohan sekaligus memberikan gambaran komprehensif lokasi kejadian. Sebagai wanita pengarang yang berakar dari Rote, Nusa Tenggara Timur, tinggal lama di Bali, dan kini menetap di pinggiran metropolitan (Depok), pengalamannya menjadi sumber yang tidak akan kering. Cinta, dalam sejarah sastra, tidak “baik-baik saja”. Justru yang tragis (tragedi) jauh lebih menarik dan mengesankan dibanding yang berakhir happy sebagaimana karya HC Andersen di masa kanak-kanak kami. Maka, dapat dibilang Fanny cukup cerdik mengarahkan mata kamera ke sisi gelap kemanusiaan untuk memancing simpati dan empati, ketimbang mengembuskan “angin surga” pada cerita yang “hanya menghibur”. Saya tahu, sikap jurnalis adalah mengangkat kronik: “manusia mengejar anjing” sebagai yang unik daripada “manusia dikejar anjing” yang lazim terjadi.
Cinta dan kemanusiaan yang digarap Fanny mengingatkan saya pada karya-karya Hamsad Rangkuti bahwa di tengah realitas ada absurditas. Catatan Harian Fla, misalnya. Ditemukan buku itu yang membawa sang wartawan muda menemukan teman cantik SMP-nya di masa lalu. Gadis yang menerimanya bukan sebagai pelanggan seksual itu menyatakan ingin lepas dari penderitaannya sebagai pelacur selama ini. Fla meminta si wartawan membaca akhir kisah dalam diary-nya, sedangkan cerpen itu berakhir sesuai dengan kematian Fla yang ditulisnya. Dalam kisah cinta yang lain —ini membuat saya tersenyum, saking uniknya— Fanny mengajukan tokoh pria yang tinggal memiliki sepeda tua rontok dalam masa tuanya. Dahulu, sebagai pemuda, dia tak sanggup melamar anak ibu kos yang tidak pernah dibayarnya karena gajiannya setahun sekali sebagai guru baru. Idenya mencatat semua harta kekayaan ibu kos (yang kemudian menjadi mertuanya), lalu menyerahkan sebagai jaminan kepada penerima gadai, memberinya modal besar untuk melamar. Sekian waktu kemudian lantaran telat membayar bunga, tukang gadai menagih dan menyita harta mertua. Tentu saja sang mertua syok dengan kenyataan akal-akalan itu, akhirnya meninggal.
Dalam Obrolan Tiga Ibu, Fanny memberikan “cermin” tentang tiga orang ibu yang duduk di barisan terdepan gereja saat pendeta berkhotbah soal kematian saat teman mereka meninggal. Gosip dalam bisik-bisik itu selalu terjadi di sekliling kita, membicarakan yang hidup atau yang mati —dalam hal ini kerap diperankan kaum wanita. Di cerita lain, pengamen yang lidahnya terpotong sehingga hanya mampu bernyanyi “au-au”, mungkin pernah kita temukan dalam bus kota yang kita naiki suatu kali. Namun, satu cerpen yang membuat saya hormat terhadap tokoh ciptaan Fanny bernama Suginem adalah ucapan “wasiat”-nya kepada anaknya. Dia dituduh mencuri gaun kuning majikannya —dan memang dia mengambil demi anak perempuannya yang ternyata saat mahasiswa menjadi penjaja seks kaum jetset— dan terpaksa berdusta. Sebagai keturunan pelacur, dia ingin menjaga martabat dengan tidak mencuri dan selalu berbuat jujur. Sebelum mati, gaun itu dia kembalikan.
Saya yakin Fanny akan terus menulis, baik cerita sedih maupun gembira, karena hidupnya penuh warna. Sebagai “oma”, demikian para sahabatnya memanggilnya, dia tidak pernah tinggal diam. Inspirasinya datang tidak karena mendekam dalam gua atau merenung sendirian. Pergaulannya yang luas, perjalanannya ke banyak tujuan, ketangguhannya menghadapi hambatan usia dan raga, telah mengalahkan orang-orang muda. Semangat tak kunjung padam itu dibuktikan dengan produktivitas. Saya kira, saya wajib meniru dinamikanya dalam berkarya.
Tulisan ini disampaikan Kurnia Effendi saat tampil bersama sastrawan Abdul Hadi WM dan Fanny J Poyk dalam acara Peluncuran Buku Mini Biografi, Gerson Poyk, NTT, Bali, dan Aku Antologi Cerpen Fanny J Poyk, Tanah Warisan Leluhur di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jumat (9/9). Seijin Kurnia Effendi, sang penulis, naskah ini ditayangkan di Odiyaiwuu.com untuk pembaca.
Kurnia Effendi lahir di Tegal, 20 Oktober 1960. Menulis di media massa sejak 1978. Gemar mengikuti sayembara menulis hingga memperoleh sekitar 70 penghargaan, 15 di antaranya juara pertama.
Ia sudah menerbitkan 25 buku tunggal aneka genre (puisi, cerpen, esai, novel, memoar) dan lebih dari 100 antologi bersama. Kumcer Kincir Api (GPU) menjadi 5 besar KLA, 2006. Kumcer Anak Arloji (Serambi) mendapat hadiah sastra Badan Bahasa 2013. Kumpulan puisi Mencari Raden Saleh mendapat anugerah pustaka terbaik 3 dari Perpusnas 2019. Tinggal dan berkarya di Jakarta.