Puisi Air Mata Tuhan dan Cahaya Literasi dari Timur Karya Albertus Muda - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Puisi Air Mata Tuhan dan Cahaya Literasi dari Timur Karya Albertus Muda

Albertus Muda, S.Ag, Gr, guru SMA Negeri 2 Nubatukan, Lewoleba, kota Kabupaten Lembata, NTT. Foto: Istimewa

Loading

Air Mata Tuhan

 

Aku melihat Tuhan meneteskan air mata

saat sawah-sawah terkapar

ditikam buldoser, digerogoti tambang rakus

Ketika rumah-rumah dihempas paksa

disapu kuasa yang tak berbagi

Sampah-sampah berarak di sungai yang marah

mengetuk pintu rumah-rumah

dalam banjir yang tak diundang

 

Aku melihat Tuhan tersedu

ketika anak kecil tak berdosa

direnggut tubuhnya oleh tangan ayah tirinya

Ketika saudara membakar saudara

senapan berbicara lebih nyaring dari kata-kata

Ketika darah tumpah di tanah sendiri

dan dialog hanya jadi bayangan samar

di dinding penuh lubang peluru

 

Aku melihat Tuhan menggigil

saat tubuh-tubuh terkubur longsor

tanpa nama, tanpa nisan

Ketika kecerdasan bersekongkol mencetak dusta

uang palsu mengalir di tangan-tangan licik

Di laut, pagar sepanjang tiga puluh kilometer

berdiri tanpa tuan

tak ada nama yang mengakuinya

Hanya Tuhan yang tahu

maka Ia menangis

 

Aku melihat Tuhan merintih

saat suami-istri mengunci hati

tak lagi mengenal kata maaf

Ketika anak-anak terombang-ambing

mencari sandaran di rumah yang hampa

Tuhan menangis, dan tak akan berhenti

selama manusia terus berjalan

di jalur gelap keserakahan

 

Aku melihat Tuhan meratap

saat para penguasa dielu-elukan

padahal kejanggalan berkeliaran

di lorong-lorong parlemen

Saat jubah-jubah suci memilih diam

padahal mimbar mereka penuh ayat perlawanan

Ketika suara kaum kecil dicekik birokrasi

dipaksa tunduk pada kuasa yang tuli

 

Tuhan menangis

Air matanya mengalir di tanah kita

menggenangi sejarah yang terluka

Lewoleba, 27 Januari 2025

Cahaya Literasi dari Timur

 

Kala namanya menggema di relung jiwa

Kutitipkan tanya dari lubuk kegelisahan

Pada siapa gerangan pemberi pencerahan?

Kupanjatkan doa, mengangkasa menembus awan

 

Tiba-tiba, seberkas cahaya turun menukik

Menerobos kabut duka di jiwa yang resah

Memantul, menyibak kalut di benak

Menerangi relung hati yang disaput kelam

 

Dahulu, keluhku tentang dahaga akan bacaan

Tatapan nanar, seolah mengetuk pintu surga

Mengharap belas kasih dari dermawan budiman

Hingga akhirnya, di terik siang, hujan donasi pun tiba

 

Kudengar lagi keluhan, betapa pena enggan menari di atas kertas

Sebagian pasrah, menganggapnya takdir yang tak terelakkan

Ada yang bersusah payah, merajut aksara dalam sunyi

Mencari sinyal hingga ke puncak pohon, di bawah langit yang sama

 

Ada yang gigih belajar, walau hanya diterangi lilin temaram

Atau pelita yang minyaknya kian menipis

Namun, syukur tetap terpanjat, bersama tetes minyak ikan paus

Secercah harapan di tengah keterbatasan yang menghimpit

 

Kulihat, bara literasi terus berkobar

Dari bilik-bilik komunitas sastra yang kreatif

Dari taman baca yang tumbuh subur di tengah masyarakat

Dari perpustakaan hingga tarian jemari di jagat maya sekolah

 

Ada gerakan donasi sejuta buku yang menyentuh

Ada kompetisi perpustakaan digital yang menginspirasi

Ada semangat melestarikan budaya tenun ikat

Ada gerakan sekolah menulis buku, asa yang terus dipupuk

 

Ini bukti, api literasi tak pernah padam

Di ruang perpustakaan, mata berbinar menatap buku

Dalam jiwa para penulis lokal, bara semangat terus menyala

Penggiat dan relawan literasi, berjuang dengan diksi, kata adalah senjata

 

Satu tekad, mengabdi untuk Nusa Tenggara Timur

Literasi adalah pelita penerang masa depan

Agar generasi muda tak terpaku di satu titik

Atau membeku idealismenya dalam putaran musim

 

Jika nyala literasi meredup

Tuangkan minyak dari buli-buli semangat kita

Satukan tekad, rajut asa di dalam dada

Nyalakan obor semangat, antar pulau saling menerangi

 

Literasi, cahaya di ufuk timur

Tak boleh padam, tak boleh direnggut gelap

Bangkitkan harapan, gapai mimpi yang tinggi

Hidupkan nalar, lahirkan generasi pembaharu

 

Ada Komodo perkasa di Labuan Bajo

Ada Kelimutu, danau tiga warna di Ende

Ada kenari gurih di Alor

Ada tradisi berburu paus yang melegenda di Lembata

 

Ada cendana wangi di Timor

Ada Sasando, dawai merdu dari Rote Ndao

Ada kuda Sandelwood yang tangguh di Sumba

Ada Semana Santa, perayaan religi di Flores Timur

 

Inilah kekayaan wisata, anugerah yang tak ternilai

Sumber daya untuk membangun daerah

Magnet yang memikat dunia

Mendatangkan devisa, menopang hidup masyarakat

 

Literasi harus menyentuh sanubari

Agar generasi baru merdeka berkreasi

Membahasakan alam, mahakarya Sang Pencipta

Agar NTT bangkit, berdiri tegak, mandiri dan sejahtera

Lewoleba, 31 Juli 2021

Kenangan di Bukit Juli

 

Menyusuri jalan sunyi, kulangkahkan kaki dengan hati berdebar

Daun-daun bergesekan, menyayat keheningan di lereng bukit berbatu

Jantungku berdegup kencang, napas tersengal tak menentu

Menatap jurang menganga, jalan berkelok di tepi tebing yang curam

 

Di puncak bukit itu, kutambatkan rindu yang menggebu

Pada kekasih jiwa, yang haus akan kabar literasi

Kuendapkan gundah dan harapan dalam rajutan aksara

Berkisah tentang negeri yang terhuyung, hampir kehilangan arah

 

Kukabarkan padanya tentang harapan yang kunyalakan

Kurengkuh kembali asa yang nyaris padam di relung jiwa

Bersama kita semai benih karya generasi penerus

Merengkuh kembali kesempatan yang hampir terlepas dari genggaman

 

Dalam dekapan sunyi, di atas bukit yang diselimuti kabut

Kulafalkan doa-doa, gita puja untuk semesta

Dari sanalah, miliaran inspirasi terpaut

Kurasa, kuresapi, dan kuwujudkan dalam karya untuk dunia

 

Saat panen tiba, aku pasti kan kembali

Bersama kita petik buah karya yang kita tanam kini

Tak akan kita biarkan longsor ketakutan menghanyutkannya

Tak akan kita relakan tanah harapan terkikis oleh keraguan

Lewoleba, 31 Juli 2021

Tipuan Murai

 

Dari balik tirai bambu

Terdengar nyaring, merdu mengalun

Kicau murai membelai sunyi

Siulannya merdu, membuai

Menjerat gendang telinga, merayu hati

 

Aku terpikat, langkahku mendekat

Terbuai alunan, semakin terpukau

Namun, keraguan menyelinap

Sebelum mata menangkap wujud sang penyanyi

Kuhentikan langkah, menajamkan telinga

 

Seketika, kekecewaan meletup, bagai petir menyambar

Siulan itu, dusta belaka, palsu tak terkira!

Hanya tiruan, kepiawaian seorang bocah

Meniru dengan sempurna, kicau murai yang asli

 

Aku tersentak, gamang dan waspada

Terhadap tipuan yang kian sempurna

Menyerupai yang asli, mengelabui panca indera

Saat mata tak lagi awas

Saat telinga tak lagi peka

Kepalsuan pun merajalela

Lewoleba, 28 Juni 2021

Albertus Muda, S.Ag, Gr adalah putra Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Lahir di Ataili, Wulandoni, Lembata pada 9 Juli 1980. Menamatkan pendidikan dasar di SDI Ataili, SMPK APPIS Lamalera. Menyelesaikan pendidikan menengah di SMAS  Seminari Sancti Dominici Hokeng, Keuskupan Larantuka, Flores Timur. 

Melanjutkan studi hingga lulus di STP-IPI Malang Filial Jayapura dan Sarjana Pendidikan dan Pengajaran Agama Katolik di STP-IPI Malang, Jawa Timur. Ia pernah bekerja sebagai Redaktur Pelaksana Tabloid Bulanan Smandu Star

Pernah pula menjadi Redaktur Pelaksana Suara Guru Lembata, wartawan wartapendidikan.com dan Majalah Cakrawala NTT. Menulis opini di sejumlah media lokal dan nasional seperti Harian Flores Pos, Victory News, Timor Express, Pos Kupang, Odiyaiwuu.com, dan mediaindonesia.com

Pernah bekerja sebagai Penyuluh Agama Non PNS pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata. Saat ini mendedikasikan diri sebagai guru di SMA Negeri 2 Nubatukan, Lewoleba, kota Kabupaten Lembata, NTT. Dapat dihubungi melalui email: mudaalbertus@gmail.com.

Tinggalkan Komentar Anda :