Air Mata Tuhan
Aku melihat Tuhan meneteskan air mata
saat sawah-sawah terkapar
ditikam buldoser, digerogoti tambang rakus
Ketika rumah-rumah dihempas paksa
disapu kuasa yang tak berbagi
Sampah-sampah berarak di sungai yang marah
mengetuk pintu rumah-rumah
dalam banjir yang tak diundang
Aku melihat Tuhan tersedu
ketika anak kecil tak berdosa
direnggut tubuhnya oleh tangan ayah tirinya
Ketika saudara membakar saudara
senapan berbicara lebih nyaring dari kata-kata
Ketika darah tumpah di tanah sendiri
dan dialog hanya jadi bayangan samar
di dinding penuh lubang peluru
Aku melihat Tuhan menggigil
saat tubuh-tubuh terkubur longsor
tanpa nama, tanpa nisan
Ketika kecerdasan bersekongkol mencetak dusta
uang palsu mengalir di tangan-tangan licik
Di laut, pagar sepanjang tiga puluh kilometer
berdiri tanpa tuan
tak ada nama yang mengakuinya
Hanya Tuhan yang tahu
maka Ia menangis
Aku melihat Tuhan merintih
saat suami-istri mengunci hati
tak lagi mengenal kata maaf
Ketika anak-anak terombang-ambing
mencari sandaran di rumah yang hampa
Tuhan menangis, dan tak akan berhenti
selama manusia terus berjalan
di jalur gelap keserakahan
Aku melihat Tuhan meratap
saat para penguasa dielu-elukan
padahal kejanggalan berkeliaran
di lorong-lorong parlemen
Saat jubah-jubah suci memilih diam
padahal mimbar mereka penuh ayat perlawanan
Ketika suara kaum kecil dicekik birokrasi
dipaksa tunduk pada kuasa yang tuli
Tuhan menangis
Air matanya mengalir di tanah kita
menggenangi sejarah yang terluka
Lewoleba, 27 Januari 2025
Cahaya Literasi dari Timur
Kala namanya menggema di relung jiwa
Kutitipkan tanya dari lubuk kegelisahan
Pada siapa gerangan pemberi pencerahan?
Kupanjatkan doa, mengangkasa menembus awan
Tiba-tiba, seberkas cahaya turun menukik
Menerobos kabut duka di jiwa yang resah
Memantul, menyibak kalut di benak
Menerangi relung hati yang disaput kelam
Dahulu, keluhku tentang dahaga akan bacaan
Tatapan nanar, seolah mengetuk pintu surga
Mengharap belas kasih dari dermawan budiman
Hingga akhirnya, di terik siang, hujan donasi pun tiba
Kudengar lagi keluhan, betapa pena enggan menari di atas kertas
Sebagian pasrah, menganggapnya takdir yang tak terelakkan
Ada yang bersusah payah, merajut aksara dalam sunyi
Mencari sinyal hingga ke puncak pohon, di bawah langit yang sama
Ada yang gigih belajar, walau hanya diterangi lilin temaram
Atau pelita yang minyaknya kian menipis
Namun, syukur tetap terpanjat, bersama tetes minyak ikan paus
Secercah harapan di tengah keterbatasan yang menghimpit
Kulihat, bara literasi terus berkobar
Dari bilik-bilik komunitas sastra yang kreatif
Dari taman baca yang tumbuh subur di tengah masyarakat
Dari perpustakaan hingga tarian jemari di jagat maya sekolah
Ada gerakan donasi sejuta buku yang menyentuh
Ada kompetisi perpustakaan digital yang menginspirasi
Ada semangat melestarikan budaya tenun ikat
Ada gerakan sekolah menulis buku, asa yang terus dipupuk
Ini bukti, api literasi tak pernah padam
Di ruang perpustakaan, mata berbinar menatap buku
Dalam jiwa para penulis lokal, bara semangat terus menyala
Penggiat dan relawan literasi, berjuang dengan diksi, kata adalah senjata
Satu tekad, mengabdi untuk Nusa Tenggara Timur
Literasi adalah pelita penerang masa depan
Agar generasi muda tak terpaku di satu titik
Atau membeku idealismenya dalam putaran musim
Jika nyala literasi meredup
Tuangkan minyak dari buli-buli semangat kita
Satukan tekad, rajut asa di dalam dada
Nyalakan obor semangat, antar pulau saling menerangi
Literasi, cahaya di ufuk timur
Tak boleh padam, tak boleh direnggut gelap
Bangkitkan harapan, gapai mimpi yang tinggi
Hidupkan nalar, lahirkan generasi pembaharu
Ada Komodo perkasa di Labuan Bajo
Ada Kelimutu, danau tiga warna di Ende
Ada kenari gurih di Alor
Ada tradisi berburu paus yang melegenda di Lembata
Ada cendana wangi di Timor
Ada Sasando, dawai merdu dari Rote Ndao
Ada kuda Sandelwood yang tangguh di Sumba
Ada Semana Santa, perayaan religi di Flores Timur
Inilah kekayaan wisata, anugerah yang tak ternilai
Sumber daya untuk membangun daerah
Magnet yang memikat dunia
Mendatangkan devisa, menopang hidup masyarakat
Literasi harus menyentuh sanubari
Agar generasi baru merdeka berkreasi
Membahasakan alam, mahakarya Sang Pencipta
Agar NTT bangkit, berdiri tegak, mandiri dan sejahtera
Lewoleba, 31 Juli 2021
Kenangan di Bukit Juli
Menyusuri jalan sunyi, kulangkahkan kaki dengan hati berdebar
Daun-daun bergesekan, menyayat keheningan di lereng bukit berbatu
Jantungku berdegup kencang, napas tersengal tak menentu
Menatap jurang menganga, jalan berkelok di tepi tebing yang curam
Di puncak bukit itu, kutambatkan rindu yang menggebu
Pada kekasih jiwa, yang haus akan kabar literasi
Kuendapkan gundah dan harapan dalam rajutan aksara
Berkisah tentang negeri yang terhuyung, hampir kehilangan arah
Kukabarkan padanya tentang harapan yang kunyalakan
Kurengkuh kembali asa yang nyaris padam di relung jiwa
Bersama kita semai benih karya generasi penerus
Merengkuh kembali kesempatan yang hampir terlepas dari genggaman
Dalam dekapan sunyi, di atas bukit yang diselimuti kabut
Kulafalkan doa-doa, gita puja untuk semesta
Dari sanalah, miliaran inspirasi terpaut
Kurasa, kuresapi, dan kuwujudkan dalam karya untuk dunia
Saat panen tiba, aku pasti kan kembali
Bersama kita petik buah karya yang kita tanam kini
Tak akan kita biarkan longsor ketakutan menghanyutkannya
Tak akan kita relakan tanah harapan terkikis oleh keraguan
Lewoleba, 31 Juli 2021
Tipuan Murai
Dari balik tirai bambu
Terdengar nyaring, merdu mengalun
Kicau murai membelai sunyi
Siulannya merdu, membuai
Menjerat gendang telinga, merayu hati
Aku terpikat, langkahku mendekat
Terbuai alunan, semakin terpukau
Namun, keraguan menyelinap
Sebelum mata menangkap wujud sang penyanyi
Kuhentikan langkah, menajamkan telinga
Seketika, kekecewaan meletup, bagai petir menyambar
Siulan itu, dusta belaka, palsu tak terkira!
Hanya tiruan, kepiawaian seorang bocah
Meniru dengan sempurna, kicau murai yang asli
Aku tersentak, gamang dan waspada
Terhadap tipuan yang kian sempurna
Menyerupai yang asli, mengelabui panca indera
Saat mata tak lagi awas
Saat telinga tak lagi peka
Kepalsuan pun merajalela
Lewoleba, 28 Juni 2021
Albertus Muda, S.Ag, Gr adalah putra Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Lahir di Ataili, Wulandoni, Lembata pada 9 Juli 1980. Menamatkan pendidikan dasar di SDI Ataili, SMPK APPIS Lamalera. Menyelesaikan pendidikan menengah di SMAS Seminari Sancti Dominici Hokeng, Keuskupan Larantuka, Flores Timur.
Melanjutkan studi hingga lulus di STP-IPI Malang Filial Jayapura dan Sarjana Pendidikan dan Pengajaran Agama Katolik di STP-IPI Malang, Jawa Timur. Ia pernah bekerja sebagai Redaktur Pelaksana Tabloid Bulanan Smandu Star.
Pernah pula menjadi Redaktur Pelaksana Suara Guru Lembata, wartawan wartapendidikan.com dan Majalah Cakrawala NTT. Menulis opini di sejumlah media lokal dan nasional seperti Harian Flores Pos, Victory News, Timor Express, Pos Kupang, Odiyaiwuu.com, dan mediaindonesia.com.
Pernah bekerja sebagai Penyuluh Agama Non PNS pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata. Saat ini mendedikasikan diri sebagai guru di SMA Negeri 2 Nubatukan, Lewoleba, kota Kabupaten Lembata, NTT. Dapat dihubungi melalui email: mudaalbertus@gmail.com.