TIMIKA, ODIYAIWUU.com — Pihak Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Papua Tengah mengajukan protes dan kritik keras atas langkah manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) terkait proses seleksi atau rekrutmen tenaga kerja yang dinilai mengabaikan sarjana pertambangan produk perguruan tinggi di tanah Papua.
Direktur YLBH Papua Tengah Yoseph Temorubun, SH mengatakan, kritik tersebut disampaikan karena PTFI, perusahaan pertambangan yang berafiliasi dengan raksasa tambang dunia Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc berbasis di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, lebih banyak menerima sarjana pertambangan lulusan perguruan tinggi di luar tanah Papua.
“Kami mengkritik PT Freeport Indonesia karena pihak manajemen PTFI lebih mengutamakan sarjana pertambangan dari kampus-kampus di luar Papua. Padahal, sarjana pertambangan produk kampus-kampus di Papua banyak dan siap memberikan kontribusi untuk kemajuan tanah leluhurnya melalui kesempatan kerja di perusahaan pertambangan itu,” ujar Temorubun dari Timika, kota Kabupaten Mimika, Papua Tengah, Selasa (29/7).
Temorubun mengatakan, saat ini PTFI cenderung menerima sarjana pertambangan lulusan kampus-kampus di luar tanah Papua seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Institut Teknologi Surabaya (ITS), dan UPN Veteran Yogyakarta.
“Para sarjana pertambangan putra-putri asli tanah Papua lulusan perguruan tinggi di daerah malah cenderung diabaikan PT Freeport Indonesia. Seluruh masyarakat Papua tentu paham bahwa saat ini banyak sarjana pertambangan dan sarjana yang dibutuhkan juga produk perguruan tinggi di tanah Papua. Misalnya, lulusan dari Universitas Cenderawasih, Universitas Sains Teknologi Jayapura, Universitas Ottow dan Geissler Jayapura serta Universitas Papua Manokwari,” kata Temorubun lebih lanjut.
Temorubun menegaskan, saat ini banyak sarjana pertambangan orang asli Papua yang berdomisili di kampung halamannya di tanah Papua. Manajemen PTFI, lanjut Temorubun, seharusnya memiliki sensitivitas atas sarjana putra asli yang notabene adalah pemilik tanah di mana kekayaan sumber daya alam (SDA) berupa hasil mineral melimpah di tanah leluhurnya.
“Manajemen PTFI seharusnya keluar dari jebakan rekrutmen yang terkonsentrasi pada perguruan-perguruan tinggi tertentu di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia. Sedangkan, di saat bersamaan mengabaikan sarjana lulusan perguruan tinggi di tanah Papua. Pihak manajemen PTFI juga tidak boleh membiarkan pihak-pihak tertentu di internal perusahaan yang menguasai jabatan-jabatan strategis lalu mengabaikan SDM orang asli Papua,” ujar Temorubun.
Menurut Temorubun, pihak YLBH Papua Tengah mengingatkan manajemen PTFI agar peka memprioritas tenaga kerja orang asli Papua di bidang pertambangan lulusan kampus-kampus yang ada di seluruh wilayah tanah Papua. Pihaknya juga menyayangkan kalau sarjana pertambangan dan sarjana-sarjana yang relevan produk kampus-kampus di tanah Papua diabaikan.
“Kampus-kampus di tanah Papua sudah bersusah payah membuka jurusan pertambangan lalu menghasilkan sarjana berkompeten tetapi tidak dilirik PTFI. Pihak manajemen malah lebih melirik sarjana pertambangan dari luar tanah Papua. Bila kondisi ini dibiarkan maka berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat tanah Papua,” kata Temorubun, praktisi hukum lulusan Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Maluku.
Pihak manajemen PTFI, lanjut Temorubun, sudah saatnya mempertimbangkan pola rekruitmen karyawan baru dengan skala prioritas para sarjana orang asli Papua. Langkah ini penting selain memberdayakan SDM lokal juga sekaligus bentuk penghormatan kepada masyarakat adat selalu pemangku ulayat wilayah operasi perusahaan.
“Sarjana pertambangan orang asli Papua idealnya mendapat skala prioritas. Ini sangat penting karena hanya dengan cara demikian, korporasi menghargai dan menghormati masyarakat selaku pemilik SDA di atas tanah leluhurnya. Ingat, Papua bukan tanah kosong tetapi tanah bertuan. Pihak manajemen PTFI harus care dan peka melihat persoalan ini dengan serius,” ujar Temorubun.
Presiden Direktur PTFI Tony Wenas mengungkapkan, perusahaan telah menyetorkan hingga Rp 7,78 triliun dari keuntungan bersih tahun 2024 kepada pemerintah pusat dan daerah. Detail setoran perusahaan kepada negara tersebut terdiri dari setoran kepada pemerintah pusat sebesar Rp 3,1 triliun dan pemerintah daerah sebesar Rp 4,63 triliun.
Tony merinci, dana ke daerah terbagi untuk Pemerintah Provinsi Papua Tengah sekitar Rp 1,16 triliun dan Pemerintah Kabupaten Mimika sekitar Rp 1,92 triliun. Sementara kabupaten lain di Provinsi Papua Tengah yakni Kabupaten Nabire, Paniai, Puncak, Puncak Jaya, Dogiyai, Deiyai, dan Intan Jaya masing-masing Rp 221,2 miliar, sehingga total tujuh kabupaten lain di Papua Tengah menerima sekitar Rp 1,55 triliun.
“Perusahaan senantiasa transparan dan akuntabel dalam menjalankan kewajibannya. Pembayaran bagian daerah dari keuntungan bersih merupakan bukti nyata komitmen perusahaan dalam berkontribusi pada pembangunan ekonomi daerah,” ujar Tony Wenas mengutip cnbcindonesia.com di Jakarta, Senin (21/4/2025).
Tony mengungkapkan, PTFI juga terus berkomitmen memberikan manfaat kepada masyarakat di sekitar wilayah operasional melalui berbagai program investasi sosial. Pada 2024, nilai investasi sosial PTFI mencapai lebih dari Rp 2 triliun dan akan terus bertambah sekitar US$ 100 juta atau setara Rp 1,5 triliun per tahun hingga 2041.
“Keberhasilan PTFI sebagai perusahaan adalah ketika masyarakat di lingkungan sekitar area operasional meningkat taraf hidup dan kesejahteraannya. Kami percaya, tidak ada perusahaan yang berhasil di tengah masyarakat yang gagal. Kami akan terus tumbuh dan berkembang bersama masyarakat hingga selesainya operasi penambangan,” kata Tony. (*)