OPINI  

Yang Berdusta di Hadapan Guru

Yoseph Yapi Taum, Dekan Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Yoseph Yapi Taum

Dekan Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma

DI ruang-ruang kelas yang senyap di desa terpencil hingga gedung-gedung megah kampus besar, para guru dan dosen merupakan penjaga akal sehat bangsa. Mereka adalah benteng terdepan yang menabur benih pengetahuan, sering kali berbekal semangat yang tak sepadan dengan gaji yang serba pas-pasan atau jerat birokrasi yang menguras energi. 

Maka, tak heran, ketika sebuah video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut mereka sebagai “beban negara” beredar, amarah publik pun meluap. Bagaimana mungkin profesi sepenting dan semulia ini bisa direduksi menjadi sebatas ongkos fiskal?

Namun, seperti halnya kabar yang terlalu manis untuk menjadi kenyataan, video itu ternyata adalah dusta digital. Pada 8 Agustus 2025, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro, mengonfirmasi bahwa rekaman tersebut adalah hasil rekayasa deepfake. “Bu Menteri tidak pernah mengatakan guru beban negara,” tegasnya, “itu hoaks.”

Konteks Pernyataan yang Terdistorsi

Pernyataan Sri Mulyani yang menjadi tumbal manipulasi sejatinya dilontarkan dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri di Institut Teknologi Bandung, sehari sebelumnya, 7 Agustus 2025. 

Di forum itu, ia menyinggung tantangan pemerintah dalam meningkatkan gaji guru dan dosen. Ia menyebutnya sebagai salah satu “tantangan bagi keuangan negara” dan melempar pertanyaan: “Apakah seluruh pembiayaan pendidikan harus ditanggung APBN, atau ada partisipasi masyarakat?”

Pertanyaan teknokratis itu memang lazim dalam diskusi anggaran, tetapi di tengah realitas pahit guru honorer yang menggantungkan hidup pada upah minim, pertanyaan itu terdengar bagai teriakan pahit. Kata “beban” dalam kalkulasi fiskal bisa bermakna sangat berbeda di telinga seorang guru di pelosok yang mengajar dengan honor tak lebih dari Rp 300 ribu sebulan.

Fiskal Versus Martabat Pendidikan

Pemerintah memang mengalokasikan dana jumbo. Dalam RAPBN 2026, anggaran pendidikan mencapai Rp 757,8 triliun. Dari jumlah itu, sekitar Rp 178,7 triliun dialokasikan untuk gaji, tunjangan, dan peningkatan kompetensi guru serta dosen. Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan, anggaran ini bertujuan memperkuat kualitas pendidik dan menyelaraskan kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja.

Akan tetapi, angka-angka triliunan itu sering terasa abstrak. Di lapangan, banyak dosen muda harus bekerja sambilan untuk menyambung hidup. Guru di daerah 3T masih mengajar tanpa listrik, tanpa internet, bahkan tanpa buku yang layak. Realitas inilah yang membuat narasi “guru beban negara” terasa menusuk perasaan bangsa, meskipun ia terlahir dari manipulasi digital.

Suara yang Kritis

Kritik tajam datang dari akademisi. Sri Lestari, seorang pakar pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, dalam wawancara dengan DetikEdu pada 9 Agustus 2025, menilai pernyataan Sri Mulyani —meski versi aslinya— “seperti melempar tanggung jawab.” 

Menurutnya, wacana semacam ini membuka pintu bagi privatisasi pendidikan. Jika negara tak lagi sanggup menanggung biaya pendidik, siapa yang akan mengambil alih? Pasar? Orang tua murid?

Ia juga menyoroti ironi kinerja dosen yang diukur sebatas dari publikasi internasional. “Padahal, beban administratif dan beban kerja dosen tidak sebanding dengan penghargaan finansial. Indikatornya perlu lebih manusiawi,” ujarnya. Kritik ini menggarisbawahi jurang lebar antara bahasa teknokratis fiskal dan realitas dunia pendidikan.

Investasi yang Tak Terlihat

Inilah dilema terbesar kita: di satu sisi, pemerintah harus menjaga disiplin fiskal. Anggaran harus sehat, defisit terkendali, dan utang harus dijaga. Di sisi lain, guru dan dosen tidak bisa dipandang sebatas pos pengeluaran. 

Mereka adalah value creator —pencipta nilai— yang menentukan kualitas generasi mendatang. Setiap rupiah yang ditanamkan pada guru adalah investasi yang tak ternilai, yang hasilnya baru bisa dirasakan bertahun-tahun kemudian.

Namun, logika ini tak selalu terekam dalam narasi pejabat publik. Ketika bahasa teknokratis tak peka terhadap luka sosial, publik dengan mudah tersulut oleh hoaks. Maka tak heran jika deepfake itu menyebar begitu cepat dan dipercaya.

Dusta yang Lebih Dalam

Narasi “guru beban negara” bukan hanya dusta digital. Dusta yang lebih dalam justru lahir dari janji yang tak ditepati, kebijakan setengah hati, dan sistem pendidikan yang terus mewariskan ketimpangan. Para guru masih dicekik oleh beban administrasi, kurikulum yang berganti-ganti, dan gaji yang tak sepadan dengan pengorbanan mereka.

Jika guru adalah fondasi bangsa, kita semua —pemerintah, masyarakat, dan media— harus berhenti memperlakukan mereka sekadar angka dalam APBN. Dusta di hadapan guru bukan hanya berupa rekayasa digital, melainkan juga sikap abai yang diwariskan dari tahun ke tahun.

Mungkin sudah saatnya kita balik bertanya: bukan apakah guru adalah beban negara, melainkan seberapa besar negara berani menanggung beban moral untuk menempatkan guru pada martabat yang semestinya?