Oleh: Yakobus Dumupa
(Orang asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
SEJARAH politik Indonesia tak bisa dilepaskan dari gejolak 1998. Reformasi yang lahir kala itu menumbangkan rezim Orde Baru dan membuka jalan demokrasi. Namun, bagi sebagian tokoh, peristiwa itu bukan sekadar catatan sejarah, melainkan luka pribadi yang terus membayang. Salah satunya adalah Prabowo Subianto. Kini ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, tetapi pertanyaan muncul: apakah pengalaman pahit 1998 masih meninggalkan trauma yang memengaruhi cara ia menyikapi demonstrasi massa hari ini?
Jejak 1998: Saat Demonstrasi Mengubah Segalanya
Pada Mei 1998, Indonesia berada di persimpangan sejarah. Krisis moneter Asia yang meledak sejak 1997 memperburuk keadaan ekonomi nasional. Harga kebutuhan pokok melonjak tajam, nilai rupiah jatuh, dan rakyat menjerit. Keadaan ini menjadi pemantik bagi mahasiswa dan masyarakat sipil untuk turun ke jalan, menuntut perubahan politik yang radikal.
Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, justru berada di luar negeri saat demonstrasi makin memanas. Pada 9 Mei 1998, ia melakukan kunjungan ke Mesir untuk menghadiri KTT G-15. Namun, ketika ia pergi, situasi dalam negeri justru semakin tidak terkendali. Puncaknya terjadi pada 12 Mei, ketika aparat menembaki mahasiswa Universitas Trisakti, menewaskan empat orang. Peristiwa ini memicu kerusuhan meluas, penjarahan, pembakaran, dan korban jiwa dalam jumlah besar.
Prabowo Subianto, menantu Soeharto sekaligus Panglima Kostrad, berada dalam posisi sulit. Sebagai bagian dari lingkaran dalam kekuasaan, ia ikut bertanggung jawab menjaga stabilitas. Namun, tuduhan keterlibatannya dalam penculikan aktivis prodemokrasi menjadikannya sorotan publik dan elite militer. Akhirnya, karier militernya terhenti secara mendadak. Dari seorang jenderal bintang tiga yang tengah menanjak, ia mendadak tersisih. Luka personal dan politik ini tentu membekas dalam-dalam.
Pengalaman tersebut memberi pelajaran pahit: kekuasaan yang tampak kokoh bisa runtuh dalam hitungan hari. Demonstrasi rakyat yang konsisten bisa mengalahkan kekuatan senjata. Dan bagi Prabowo, pengalaman itu mungkin menjadi trauma yang membentuk cara pandangnya hingga kini.
Trauma yang Menjadi Kewaspadaan
Trauma tidak selalu hadir sebagai ketakutan yang membuat seseorang lumpuh. Dalam banyak kasus, trauma justru menjadi fondasi bagi kewaspadaan berlebih. Bagi seorang militer seperti Prabowo, trauma 1998 bisa saja menjelma menjadi “alarm” psikologis yang membuatnya lebih sensitif terhadap potensi gejolak sosial.
Sebagai mantan jenderal, ia tentu memahami logika kekuatan. Tetapi pengalaman pahit 1998 mengajarinya bahwa kekuatan fisik tidak selalu mampu menaklukkan kekuatan moral rakyat. Demonstrasi mahasiswa kala itu bukan hanya menuntut keadilan, tetapi juga menghadirkan legitimasi moral yang mengguncang Orde Baru.
Dalam konteks hari ini, trauma itu bisa menjelaskan mengapa Prabowo tampak sangat berhati-hati setiap kali muncul demonstrasi besar. Ia tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu: meremehkan aspirasi rakyat, lalu menuai krisis politik yang lebih besar. Trauma itu membuatnya melihat demonstrasi bukan sekadar kerumunan, tetapi sebagai indikator serius dari kesehatan politik nasional.
Lebih jauh, trauma itu mungkin juga menjelaskan dorongan kuat Prabowo untuk selalu mengamankan posisi politiknya melalui jaringan koalisi yang luas. Sejak awal menjabat, ia merangkul banyak partai, mengurangi potensi oposisi besar di parlemen. Strategi ini bisa dibaca sebagai bentuk lain dari kewaspadaan: ia tahu betul bahwa oposisi di jalan akan semakin berbahaya bila didukung oposisi di parlemen. Dengan demikian, trauma 1998 tidak hanya membekas dalam psikologinya, tetapi juga tercermin dalam strategi politiknya.
Demonstrasi Terkini dan Respons Prabowo
Gelombang demonstrasi yang mulai pecah sejak Kamis pekan lalu menjadi ujian nyata bagi Presiden Prabowo. Ribuan orang turun ke jalan menentang kebijakan DPR terkait fasilitas mewah anggota dewan, memicu bentrokan dengan aparat, bahkan menelan korban jiwa.
Prabowo segera menunjukkan reaksi. Ia membatalkan kunjungan ke China, sebuah langkah diplomasi penting, demi fokus pada krisis dalam negeri. Keputusan ini jelas menandai prioritasnya: stabilitas domestik lebih penting daripada agenda luar negeri. Langkah ini juga mengingatkan pada sejarah 1998, ketika Soeharto yang sedang berada di Mesir terpaksa mempercepat kepulangannya karena situasi tanah air yang memburuk. Bedanya, kali ini Prabowo memilih tidak berangkat sama sekali.
Keputusan itu dapat dibaca sebagai bentuk antisipasi yang lahir dari trauma. Ia sadar bahwa ketidakhadiran pemimpin dalam negeri di tengah krisis bisa memperburuk keadaan. Maka, ia memastikan dirinya berada di barisan depan, mengendalikan situasi. Seolah ia ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan sejarah berulang: seorang presiden jatuh karena gagal mengendalikan gejolak rakyat ketika berada di luar negeri.
Sikap ini juga memperlihatkan betapa seriusnya ia menilai demonstrasi. Bagi sebagian pemimpin, aksi massa bisa saja dianggap hal biasa. Tetapi bagi Prabowo, setiap gelombang massa adalah sinyal krisis yang harus segera ditangani, tak peduli seberapa besar atau kecilnya. Inilah perbedaan penting yang mungkin lahir dari trauma masa lalu.
Antara Empati dan Ketegasan
Sikap Prabowo terhadap demonstrasi tampak berlapis. Ia tidak serta-merta menutup ruang bagi rakyat. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa demonstrasi damai adalah bagian dari demokrasi yang harus dihormati. Pernyataannya bahwa “demonstran murni harus dilindungi hak menyampaikan pendapatnya” menunjukkan pengakuan atas hak sipil yang fundamental.
Namun, pada saat yang sama, ia menegaskan garis merah: kekerasan dan anarki tidak bisa ditoleransi. Ia melabeli aksi destruktif sebagai bentuk “pengkhianatan” atau bahkan “terorisme.” Aparat diminta bertindak tegas, termasuk dengan penggunaan peluru karet. Sikap ini menunjukkan dualitas: membuka ruang demokrasi, tetapi menjaga stabilitas dengan tangan besi.
Selain itu, Prabowo juga berusaha menampilkan empati. Ia menyampaikan belasungkawa terhadap korban jiwa, bahkan membantu langsung keluarga salah satu korban dengan memberikan rumah. Langkah ini tidak hanya simbolis, tetapi juga politis: ia ingin dilihat bukan hanya sebagai pemimpin yang tegas, tetapi juga sebagai pemimpin yang peduli.
Sisi empatik ini penting bagi legitimasi politiknya. Ia tahu bahwa rakyat tidak lagi hidup di bawah rezim otoriter, tetapi dalam sistem demokrasi yang menuntut pemimpin untuk hadir secara moral. Maka, kombinasi empati dan ketegasan menjadi kunci strateginya: menjaga stabilitas tanpa kehilangan simpati rakyat.
Strategi Politik: Mengelola Bayangan Masa Lalu
Trauma 1998 tidak hanya membekas pada level personal, tetapi juga membentuk strategi politik Prabowo sebagai presiden. Ia tampak berusaha mengantisipasi segala potensi krisis dengan membangun basis kekuasaan yang luas. Hampir semua partai besar dirangkul dalam koalisi pemerintahannya. Ini jelas berbeda dengan era reformasi awal, ketika oposisi parlementer masih kuat.
Dengan membangun koalisi besar, Prabowo mengurangi risiko adanya oposisi politik yang bisa bergabung dengan gerakan jalanan. Ia sadar bahwa kombinasi oposisi di parlemen dan di jalanan bisa berbahaya, sebagaimana yang menimpa Soeharto pada 1998. Maka, strategi politiknya hari ini bisa dilihat sebagai bentuk “vaksin” terhadap trauma masa lalu.
Selain itu, Prabowo juga menjaga loyalitas aparat keamanan, baik TNI maupun Polri. Ia tahu betul bahwa pada 1998, perpecahan di tubuh militer turut mempercepat kejatuhan rezim. Dengan memastikan soliditas aparat, ia berusaha menutup celah yang dulu membuat Orde Baru runtuh.
Semua strategi ini memperlihatkan bagaimana trauma bisa menjadi sumber kehati-hatian. Alih-alih mengabaikan, Prabowo tampaknya memilih mengelola bayangan masa lalu dengan menyiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk. Trauma 1998 bukan lagi sekadar luka, tetapi juga menjadi kompas politik yang menuntun langkahnya.
Penutup: Antara Trauma dan Legitimasi
Apakah Prabowo masih hidup dalam trauma 1998? Dugaan itu masuk akal. Pengalaman pahit yang meruntuhkan mertuanya sekaligus menghancurkan karier militernya tak mungkin hilang begitu saja. Namun, yang terlihat hari ini bukan sekadar trauma yang membelenggu, melainkan trauma yang berubah menjadi kewaspadaan.
Dengan menunda kunjungan ke China demi menangani demonstrasi, Prabowo seolah belajar dari sejarah Soeharto di Mesir. Dengan sikap empati sekaligus ketegasan, ia mencoba menjaga legitimasi sekaligus stabilitas.
Pertanyaan besar yang tersisa: apakah strategi ini cukup untuk mencegah krisis politik, atau justru trauma itu membuatnya terlalu kaku dalam menghadapi aspirasi rakyat? Sejarah akan kembali menjadi hakim. Yang jelas, bayangan 1998 masih hidup, dan kini membentuk wajah kepemimpinan Prabowo Subianto di tengah gelombang demonstrasi.