KERUSAKAN sistem pemerintahan Indonesia sudah begitu parah. Dari pusat hingga daerah, kebijakan yang mestinya menyejahterakan rakyat justru melahirkan penderitaan baru. Korupsi merajalela, hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, birokrasi berbelit, dan pelayanan publik tak kunjung membaik. Rakyat dibiarkan menanggung akibat dari sistem yang rusak, sementara penyelenggara negara terus menikmati privilese dan fasilitas mewah. Inilah wajah buram negara yang seharusnya menjadi pelindung, tetapi justru berubah menjadi beban bagi rakyatnya.
Persoalan ini tidak bisa diatasi dengan solusi tambal sulam. Perbaikan parsial—sekadar mengganti pejabat, menambah regulasi, atau merombak struktur birokrasi—tidak akan menyentuh akar masalah. Semua langkah itu hanya kosmetik politik yang menutupi luka lama tanpa pernah menyembuhkannya. Sistem yang rusak hanya bisa diselamatkan bila mereka yang mengelolanya memiliki kesadaran moral untuk berhenti menyelewengkan kekuasaan. Kesadaran ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah langkah besar: tobat massal penyelenggara negara.
Tobat massal bukan sekadar istilah religius, tetapi sebuah seruan moral dan politik. Artinya, para pejabat publik, politisi, aparat penegak hukum, hingga birokrat di semua level harus berani mengakui kesalahan, berhenti melanggengkan kerusakan, dan berkomitmen untuk melayani rakyat dengan sungguh-sungguh. Tanpa pertobatan kolektif, setiap perubahan hanya akan menjadi siklus lama: pemimpin berganti, tetapi penderitaan rakyat tetap abadi.
Sejarah bangsa ini sudah berulang kali membuktikan bahwa krisis bukan hanya karena ekonomi, politik, atau sosial, tetapi terutama karena kebusukan moral para penguasa. Dari Orde Lama hingga Reformasi, jargon perubahan selalu didengungkan, tetapi praktik kekuasaan tetap saja dipenuhi keserakahan. Rakyat tidak membutuhkan slogan baru; mereka butuh pejabat yang benar-benar insaf, yang memahami bahwa jabatan adalah amanah, bukan alat memperkaya diri.
Inilah alarm moral yang harus disadari bersama. Jika penyelenggara negara terus menutup mata, jurang antara pemerintah dan rakyat akan semakin lebar. Ketidakpercayaan publik kian dalam, dan pada akhirnya, legitimasi negara bisa runtuh dari dalam. Ketika rakyat kehilangan harapan pada negaranya sendiri, saat itulah kehancuran sejati dimulai.
Karena itu, marilah kita mendesakkan satu tuntutan bersama: tobat massal penyelenggara negara. Para pejabat harus berani membersihkan diri, menghentikan praktik korup, menghapus budaya nepotisme, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Mereka harus kembali kepada tugas suci: melayani rakyat, bukan memperalat rakyat.
Rakyat Indonesia sudah terlalu lama menderita akibat kerusakan sistem. Kini saatnya para penyelenggara negara berhenti menutup telinga dan hati. Pertobatan massal adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran yang lebih dalam. Dan sejarah akan mencatat, apakah para pemimpin negeri ini memilih menjadi bagian dari solusi atau tetap menjadi sumber kerusakan. (Editor)