SETELAH wisuda, seseorang bergelar sarjana. Asal katanya ‘sujana’, artinya ‘orang bijaksana’. Akan tetapi, orang bisa lebih memilih pada gelar yang menempati tempat di depan atau belakang namanya, daripada “menjadi bijaksana”. Orang-orang ada yang sengaja membariskan gelar-gelarnya. Lebih berwibawa. Secara simbolik berbeda dari orang-orang awam yang kurang terdidik.
Pada konteks sosial tertentu, penyematan gelar-gelar itu memberikan keuntungan. Orang bergelar dianggap berhasil mendudukkan diri pada kasta yang lebih tinggi karena lebih terdidik. Gelar-gelar itu menandakan bahwa para peraihnya sudah menjalani proses seleksi sosial yang tidak mudah. Lebih pintar. Dari sana, ia mendapatkan pengakuan dari orang-orang sekitarnya. Dengan gelarnya, ia dinilai memiliki kuasa untuk berbicara juga untuk menjadi pemimpin. Dan, pada suatu forum ia dipandang lebih berhak untuk berbicara lebih banyak dan mungkin juga lebih sering.
Gelar akademis itu semacam menjadi tiket untuk memasuki pertarungan atau kompetisi di masyarakat. Mereka yang bergelar dipandang lebih berhak untuk bersaing dan kemudian duduk pada jabatan-jabatan yang bergengsi. Orang-orang yang sudah terdidik atau para cerdik pandai lebih dipercaya karena pengetahuan dan kebijaksanaannya. Mereka memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah di masyarakatnya.
Lalu, masyarakat membebankan harapan besar kepada mereka yang bergelar. Mengapa? Karena para sarjana itu memiliki pengetahuan yang lebih —juga kebijaksanaan yang lebih. Kelebihan itulah yang menjadi daya pesona para sarjana. Lalu orang-orang di sekitarnya menilainya sebagai orang yang “lebih”. Untuk banyak orang, para terdidik adalah sumber daya yang mesti berkontribusi bagi masyarakat.
Harapan-harapan masyarakat itu sangat wajar. Mereka memang memerlukan orang-orang berpendidikan. Pengetahuan adalah kekuasaan. Dengan pengetahuan orang-orang semakin kuat dan cerdas menyelesaikan masalah-masalah hidupnya.
Orang-orang sakit mendapatkan pengobatan dari dokter. Anak-anak mendapatkan pendidikan dari guru-guru. Orang-orang dalam perawatan ditangani oleh para perawat. Ahli pertanian akan membantu para petani untuk menjadi lebih unggul. Ekonom bertanggung jawab untuk membangun sistem ekonomi yang menjamin seluruh masyarakat bisa hidup layak. Para pakar ilmu politik akan mengembangkan suatu sistem politik yang memastikan kedaulatan rakyat. Demikian juga ahli peternakan akan menolong masyarakat peternak untuk menghasilkan bahan pangan. Lalu mereka yang belajar kesehatan masyarakat akan mendidik warga untuk hidup sehat. Ringkasnya, kita tahu pengetahuan mutlak diperlukan oleh masyarakat manapun untuk bertahan hidup dan bahkan berkembang.
Tanpa pengetahuan masyarakat akan sulit untuk mewujudkan kedaulatannya. Masyarakat yang miskin pengetahuan berada pada posisi yang timpang ketika berhadapan dengan kelompok masyarakat yang berpengetahuan. Ketimpangan ini memperbesar kemungkinannya untuk didominasi. Ketimpangan ini membuatnya juga bergantung secara berlebihan kepada bangsa lain. Barangkali pada bukan saja bergantung, tetapi terbelenggu. Ketimpangan menyulitkan dirinya sendiri untuk bisa berdiri sejajar.
Ki Hajar Dewantara, seorang pendidik yang menentang kolonialisme Belanda, menggunakan pendidikan sebagai alat perlawanan. Pendidikan menjadi ruang untuk menanamkan nasionalisme, untuk membangun rakyat yang bisa membaca-menulis (sebelumnya membaca-menulis hanya menjadi privilese orang-orang elit yang lebih dekat kepada Belanda). Bertentangan dengan keputusan pemerintah kolonial, ia membuka sekolah-sekolah rakyat. Yang belajar di situ adalah kelompok masyarakat paling bawah, yang mustahil memiliki akses kepada pendidikan elit gaya Belanda. Tujuan Ki Hajar Dewantara adalah untuk menciptakan bangsa yang merdeka. Dan, seperti dengan mudah diduga, pemerintah Belanda sangat tidak senang dengan kelakuan Ki Hajar Dewantara. Maka, ia kemudian dipenjara.
Inspirasi Ki Hajar Dewantara ini kembali seakan-akan bergaung kembali dalam suara Sutoro Eko, Ketua STPMD, dalam kesempatan wisuda di LPP RRI Nabire. “Dengan pemindahan kuncir dari kini ke kanan, orang-orang menjadi ‘sujana’ atau ‘sarjana’ yang berarti orang bijak—orang yang memiliki pengetahuan lebih. Yang lebih penting adalah menjadi pemerintah yang berpihak kepada rakyat. Pemerintah harus melayani dan melindungi rakyat.”
Pesan Sutoro Eko itu menggarisbawahi bahwa pengetahuan mesti menjadi bagian integral dari kedaulatan masyarakat. Pengetahuan hendaknya menjadi senjata pertahanan dan perlawanan terhadap usaha-usaha yang merongrong kedaulatan. Di tangan pemerintah, pengetahuan mesti diabdikan untuk pelayanan kepada masyarakat. Orang-orang berpengetahuan itu idealnya mestinya lebih memberikan kekuatan kepada masyarakat.
Pada akhirnya, jika pendidikan dan gelar-gelar itu keliru dimaknai sebagai ‘hak milik pribadi’ orang per orang dan terlepas dari masyarakat, kita boleh khawatir bahwa pengetahun justru menjadi senjata yang membahayakan masyarakat. (Editor)