Oleh: Yakobus Dumupa
Anggota Majelis Rakyat Papua (2012-2016) dan Bupati Dogiyai (2017-2022)
8 OKTOBER 2025, Presiden Prabowo Subianto melantik Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otsus Papua sebagai tim pelaksana dari Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP). Pelantikan ini kembali diselimuti retorika panjang tentang harapan baru, percepatan pembangunan, dan sinergi antarinstansi. Namun bagi rakyat Papua, ini bukan kabar baru — melainkan pengulangan dari kebingungan lama Jakarta: mengganti lembaga, mengganti nama, tetapi tidak pernah mengganti pola pikir. Lembaga demi lembaga terus dibentuk, sementara akar masalah Papua tetap dibiarkan tumbuh liar: ketidakadilan, ketimpangan, dan ketidakmauan negara untuk mendengar.
Ritual gonta-ganti lembaga ini telah menjadi cermin yang paling jujur dari kebingungan Jakarta membangun Papua. Negara tidak tahu harus mulai dari mana, lalu menutupi ketidaktahuan itu dengan membentuk struktur baru. Di atas kertas, kebijakan terlihat rapi; di lapangan, yang tumbuh hanyalah rasa frustrasi. Dua puluh empat tahun setelah Otonomi Khusus diberlakukan, yang terlihat bukan kemajuan, melainkan kesesatan politik yang dibungkus seremonial pembangunan.
Dari Tim Rekonsiliasi Papua di masa Gus Dur, UKPP di era Megawati, UP4B di zaman SBY, BP3OKP di masa Jokowi, hingga Komite Eksekutif Otsus Papua di bawah Prabowo — semuanya mengaku membawa misi suci “membangun Papua”. Namun apa yang disebut pembangunan itu tidak pernah lebih dari proyek politik yang gagal memahami manusia Papua. Hasilnya, bukan kemajuan yang lahir, melainkan siklus kebingungan yang diwariskan dari satu presiden ke presiden berikutnya.
Pembangunan yang Buta Arah dan Buta Nurani
Jakarta selalu datang dengan uang, proyek, dan slogan. Tapi tidak pernah datang dengan kerendahan hati untuk mendengar. Bagi pusat kekuasaan, Papua hanyalah wilayah yang harus dikelola, bukan bangsa yang harus dihormati. Segala rencana dan kebijakan lahir di ruang rapat di ibu kota, disusun oleh orang-orang yang bahkan tidak tahu bagaimana rasanya hidup di bawah laras senjata di Pegunungan Tengah atau di kampung-kampung yang dikepung kemiskinan buatan.
Negara membangun jalan, tapi menghancurkan rasa percaya. Negara mendirikan sekolah, tapi membiarkan kebodohan struktural terus tumbuh. Negara menyalurkan dana triliunan rupiah, tapi memelihara ketimpangan dengan sistem birokrasi yang rakus dan feodal. Di atas kertas, Jakarta membangun Papua; tapi di lapangan, Jakarta sedang membangun tembok baru antara kekuasaan dan kemanusiaan.
Papua tidak butuh pembangunan yang membutakan nurani. Ia butuh keadilan yang memulihkan martabat. Tapi bagi Jakarta, kata “keadilan” tidak pernah menjadi prioritas — yang penting proyek berjalan, laporan disetor, dan upacara peresmian difoto.
Lembaga Berganti, Mental Tetap Penindas
Setiap kali Jakarta merasa gagal, solusi yang selalu dipilih adalah membentuk lembaga baru. Tahun 2000 ada Tim Rekonsiliasi, 2002 lahir UKPP, 2011 muncul UP4B, 2022 dibentuk BP3OKP, dan kini pada 2025 hadir Komite Eksekutif Otsus Papua. Semua memakai kata “percepatan”, “pengarahan”, “pembangunan”, tapi tak satu pun mempercepat apa pun selain kebosanan rakyat terhadap janji negara.
Ritual ini sudah menjadi candu birokrasi. Setiap presiden ingin meninggalkan jejak dengan membuat lembaga baru, seolah itu warisan keberhasilan. Padahal yang diwariskan hanyalah pola kegagalan. Lembaga-lembaga itu mati pelan-pelan, membusuk di antara tumpukan laporan dan rapat koordinasi. Papua menjadi laboratorium politik di mana Jakarta terus bereksperimen tanpa pernah belajar dari kesalahan.
Yang lebih menyedihkan, meski nama-nama lembaganya lokal, jiwa dan nadanya tetap penindas. Jakarta selalu menempatkan dirinya sebagai pusat kebijaksanaan dan Papua sebagai penerima belas kasihan. Negara berbicara tentang pemberdayaan, tapi yang diberdayakan justru struktur kekuasaannya sendiri. Setiap kebijakan yang lahir dari pusat hanyalah cara lain untuk menegaskan siapa tuan dan siapa yang harus tunduk.
Otonomi Khusus: Janji yang Berubah Jadi Jebakan
Ketika Otonomi Khusus disahkan tahun 2001, rakyat Papua berharap ini menjadi jalan keluar dari penindasan lama. Tapi yang lahir justru sistem kontrol baru yang dibungkus kata manis “otonomi”. Dua dekade kemudian, Otsus bukan lagi simbol kepercayaan, melainkan alat untuk memperpanjang kendali pusat atas daerah. Semua keputusan besar tetap diatur dari Jakarta, sementara orang Papua hanya diberi peran kosmetik di pinggir panggung.
Uang Otsus memang banyak, tapi tak pernah benar-benar memberi daya. Ia mengalir seperti sungai yang airnya keruh: besar di hulu, kering di hilir. Uang itu berhenti di tangan elit birokrasi yang lebih sibuk melayani pusat ketimbang rakyatnya sendiri. Otonomi yang dijanjikan berubah menjadi ilusi: kemandirian tanpa kekuasaan, kebebasan tanpa kendali, dan kemakmuran tanpa kedaulatan.
Inilah wajah sejati kebijakan Jakarta terhadap Papua: manis di pidato, pahit di kenyataan. Negara mengaku ingin mempercepat pembangunan, tapi yang sebenarnya dipercepat hanyalah pelapukan kepercayaan rakyat terhadap republik ini.
Jakarta Tidak Paham Papua, Tapi Tak Mau Mengakuinya
Kebingungan Jakarta membangun Papua bukan karena kekurangan data, tapi karena keangkuhan. Negara tahu akar masalahnya: ketidakadilan sejarah, trauma kekerasan, dan pengingkaran martabat manusia. Tapi mengakuinya berarti membuka luka yang selama ini ditutupi dengan narasi “keutuhan NKRI”. Maka yang dilakukan adalah menumpuk proyek di atas luka, menambah dana di atas penderitaan, dan menempelkan label “pembangunan” di atas ketidakpercayaan.
Jakarta tidak paham Papua, tapi juga tidak mau mendengarkan Papua. Inilah puncak ironi negara modern: punya data tapi tak punya nurani. Pemerintah pusat berteriak soal “Papua damai”, tapi mengirim aparat bersenjata setiap kali rakyat bersuara. Mereka bicara tentang “Papua maju”, tapi meminggirkan orang Papua dari proses pengambilan keputusan. Damai yang mereka maksud bukanlah damai yang tumbuh dari keadilan, melainkan damai yang dipaksakan oleh ketakutan.
Inilah bentuk kekuasaan yang menindas dengan wajah administratif. Pemerintah datang bukan sebagai pelayan rakyat, tapi sebagai penguasa yang menuntut ketaatan. Setiap kali Papua protes, mereka disebut separatis; setiap kali Jakarta gagal, mereka bilang Papua tidak siap. Ini bukan hubungan negara dan rakyat — ini hubungan majikan dan budak yang dibungkus jargon nasionalisme.
Pembangunan Tanpa Keadilan adalah Kekerasan Baru
Setiap kali Jakarta berbicara tentang pembangunan Papua, sesungguhnya yang dibangun adalah bentuk baru dari kekerasan. Kekerasan yang tidak lagi memakai senjata, tapi memakai kebijakan. Kekerasan yang tidak lagi menumpahkan darah, tapi menguras harga diri. Negara memanggilnya pembangunan, padahal bagi rakyat Papua itu hanyalah penjajahan dengan cara yang lebih halus.
Pembangunan yang tidak berpihak adalah pengkhianatan. Pembangunan tanpa keadilan adalah kekerasan yang dilegalkan. Selama pusat masih memandang Papua sebagai obyek politik dan bukan subyek kemanusiaan, maka setiap program hanya akan menambah panjang daftar luka. Papua tidak butuh belas kasihan; Papua butuh penghormatan. Dan penghormatan itu hanya bisa lahir dari pengakuan atas kesalahan, bukan dari konferensi pers dan upacara peresmian.
Jakarta bisa terus menulis laporan, mengganti pejabat, dan memamerkan angka-angka pertumbuhan. Tapi bagi rakyat Papua, semua itu tidak berarti apa-apa. Karena yang mereka butuhkan bukan laporan, melainkan perubahan nyata; bukan dana, melainkan keadilan; bukan proyek, melainkan pengakuan atas kemanusiaan mereka.
Akhiri Ritual, Bangun Keberanian
Kini, Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otsus Papua kembali dibentuk dengan wajah segar dan semangat lama. Janjinya manis, retorikanya rapi, tapi rakyat Papua sudah hafal alurnya: janji di awal, kebingungan di tengah, dan keheningan di akhir. Jakarta boleh membentuk lembaga sebanyak yang ia mau, tapi tanpa perubahan cara berpikir, semua akan menjadi lingkaran setan yang terus memakan dirinya sendiri.
Yang perlu dibangun bukan lembaga baru, tapi keberanian baru: keberanian untuk meminta maaf, untuk mendengar, dan untuk menata ulang relasi kekuasaan antara Papua dan negara. Papua tidak butuh pengawasan, tapi kepercayaan. Tidak butuh kontrol, tapi ruang untuk menentukan nasibnya sendiri. Dan tidak butuh pembangunan yang membius, tapi keadilan yang membebaskan.
Selama Jakarta terus menjadikan Papua sebagai ajang upacara politik dan birokrasi, Papua akan tetap berdiri di tempat yang sama — dengan luka yang sama, dengan ketidakadilan yang sama, dan dengan harapan yang makin menipis.
Sudah waktunya Jakarta berhenti berbohong pada dirinya sendiri. Sudah waktunya ritual gonta-ganti lembaga ini dikubur bersama kesombongan lama. Sebab jika negara terus menutup telinga terhadap kebenaran, maka suatu hari nanti, sejarah akan menulis dengan jelas: Jakarta gagal membangun Papua!