Oleh: Helga Maria Udam
(Warga Kampung Sawoi, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua)
DI TENGAH geliat pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan Kabupaten Jayapura, ada banyak wilayah pinggiran yang terus berjalan dalam keheningan: jauh dari jalan aspal, sinyal telepon, air bersih, dan pelayanan publik yang layak. Wilayah-wilayah ini bukan sekadar titik di peta. Mereka adalah rumah bagi ribuan warga yang punya hak sama atas pembangunan, tetapi selama ini hanya menikmati sisa perhatian dari pemerintah. Ketika pusat Sentani tumbuh, distrik-distrik terluar seperti Airu, Yapsi, Kaureh, Unurum Guay, Depapre, Demta, Yokari, hingga Ravenirara tetap berjalan pelan, tertinggal oleh laju perubahan.
Pembangunan yang Tidak Merata
Kabupaten Jayapura memiliki 19 distrik yang terbagi dalam empat klaster wilayah: Danau Sentani (inti), Pesisir, Grime, dan Nawa. Klaster Danau Sentani — pusat pemerintahan, ekonomi, dan transportasi — berkembang pesat, dengan akses jalan aspal, fasilitas kesehatan, jaringan internet, serta kegiatan ekonomi yang berdenyut. Namun sebaliknya, distrik-distrik pada wilayah Pesisir, Grime, dan terutama Nawa, masih menghadapi kenyataan keras: minim akses, mahalnya biaya logistik, dan terbatasnya pelayanan dasar.
Distrik Nawa — yang meliputi Airu, Yapsi, Kaureh, dan Unurum Guay — adalah wilayah terluas dan terjauh di Kabupaten Jayapura. Topografinya didominasi perbukitan dan lembah curam, dengan jarak tempuh yang jauh dari pusat Sentani. Distrik Yapsi, misalnya, memiliki luas lebih dari 1.200 kilometer persegi, tetapi jumlah penduduknya tersebar di kampung-kampung kecil yang berjauhan. Kaureh, yang juga sangat luas, sering disebut sebagai wilayah “yang jauh dari mata, jauh dari perhatian.” Jalan darat menuju wilayah ini masih sangat terbatas, beberapa hanya bisa dijangkau dengan kendaraan roda dua, bahkan sebagian lainnya harus ditempuh dengan perahu atau jalan kaki.
Di wilayah pesisir, seperti Depapre, Demta, Yokari, dan Ravenirara, tantangan utama bukan pada ketinggian, tetapi pada keterhubungan. Kampung-kampung pesisir menggantungkan hidup pada laut. Dermaga yang rusak, perahu tradisional yang menjadi satu-satunya sarana transportasi, dan minimnya infrastruktur membuat aktivitas ekonomi warga berjalan lambat. Padahal kawasan ini memiliki potensi bahari dan wisata yang sangat besar. Tanpa investasi infrastruktur dasar, potensi ini hanya akan menjadi catatan dalam rencana pembangunan — bukan kenyataan yang dinikmati masyarakat.
Keterbatasan Layanan Dasar
Ketertinggalan wilayah pinggiran tidak hanya tampak pada infrastruktur jalan. Layanan publik pun timpang. Puskesmas pembantu di banyak kampung sering tidak memiliki tenaga medis tetap, apalagi fasilitas kesehatan yang memadai. Banyak warga pedalaman harus berjalan berjam-jam untuk mendapat pelayanan kesehatan. Dalam kasus darurat, satu-satunya pilihan adalah menggunakan perahu atau motor ojek menembus jalan tanah yang rusak.
Layanan pendidikan pun menghadapi tantangan serupa. Sekolah dasar memang ada di banyak kampung, tetapi ketersediaan guru sangat terbatas. Sekolah menengah pertama atau atas jauh dari jangkauan, sehingga anak-anak sering berhenti sekolah setelah lulus SD. Banyak keluarga pedalaman tidak sanggup mengirim anak ke kota karena biaya transportasi dan hidup yang tinggi. Akibatnya, kesenjangan pendidikan antara wilayah kota dan pinggiran semakin melebar.
Jaringan komunikasi dan informasi juga masih menjadi kemewahan di banyak kampung. Tower BTS hanya tersebar di distrik-distrik tertentu. Warga Yapsi, Airu, atau Ravenirara, sering harus berjalan ke titik tertentu di bukit atau pinggir laut untuk sekadar mendapatkan sinyal telepon. Di era digital, keterbatasan ini berarti keterpinggiran dalam banyak hal: pendidikan, ekonomi, hingga keamanan.
Ketimpangan yang Menjadi Bom Waktu
Ketimpangan pembangunan antara pusat dan pinggiran bukan hanya masalah keadilan, tetapi juga stabilitas sosial. Warga distrik terluar merasakan dengan sangat nyata bagaimana program pemerintah lebih sering hadir di Sentani atau wilayah-wilayah sekitar danau. Mereka jarang dilibatkan dalam perencanaan pembangunan, padahal merekalah yang paling membutuhkan intervensi nyata. Ketimpangan ini menjadi semacam “bom waktu sosial” — menimbulkan rasa ditinggalkan, ketidakpercayaan pada pemerintah, dan potensi keresahan di masa depan.
Padahal, pembangunan yang tidak merata hanya akan menciptakan ketimpangan baru. Ketika satu wilayah tumbuh pesat dan wilayah lain tertinggal, maka ketidakadilan sosial ikut melebar. Masyarakat pinggiran akan terus kehilangan kesempatan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Pada akhirnya, mereka hanya menjadi penonton dari kemajuan yang diciptakan di wilayah lain.
Potensi Besar yang Tak Tergarap
Wilayah-wilayah terluar Kabupaten Jayapura bukan wilayah tanpa harapan. Justru sebaliknya, mereka menyimpan potensi besar. Distrik-distrik pesisir memiliki kekayaan laut dan keindahan alam yang cocok untuk pengembangan wisata bahari, perikanan tangkap, dan pelabuhan niaga. Distrik-distrik pedalaman punya lahan luas yang cocok untuk pertanian, perkebunan rakyat, dan hutan lestari. Potensi ini bisa menjadi kekuatan ekonomi baru jika pemerintah mau berinvestasi dengan strategi jangka panjang.
Pemerintah Kabupaten Jayapura telah menyusun rencana pembangunan jangka menengah yang menyebutkan pengembangan wilayah pesisir Depapre–Ravenirara sebagai pusat ekonomi baru. Namun rencana itu tidak akan bermakna jika infrastruktur dasar — jalan, dermaga, listrik, air bersih, sekolah, dan puskesmas — tidak dibangun terlebih dahulu. Potensi tidak akan tumbuh dalam ruang kosong.
Saatnya Memberi Prioritas
Pembangunan yang adil tidak berarti semua wilayah diperlakukan sama, tetapi wilayah yang paling tertinggal harus mendapat perhatian lebih besar. Distrik-distrik seperti Airu, Yapsi, Kaureh, Unurum Guay, Demta, Yokari, dan Ravenirara seharusnya menjadi prioritas pembangunan Kabupaten Jayapura. Pemerintah perlu merumuskan strategi khusus, bukan hanya mengandalkan mekanisme pembangunan umum.
Strategi itu bisa berupa pembangunan jalan fungsional menuju kampung terluar, penyediaan layanan kesehatan keliling, pembangunan asrama siswa untuk anak-anak pedalaman, pembangunan dermaga kecil di kampung pesisir, serta perluasan jaringan internet dan air bersih. Program ini tidak hanya akan memperbaiki kualitas hidup masyarakat, tetapi juga membuka ruang ekonomi baru yang akan memperkuat Kabupaten Jayapura secara keseluruhan.
Penutup: Suara dari Pinggiran
Masyarakat distrik terluar bukan warga kelas dua. Mereka punya hak yang sama atas layanan dasar dan kesempatan hidup layak. Jika pemerintah terus menunda perhatian terhadap wilayah pinggiran, maka kesenjangan akan terus membesar dan ketertinggalan akan makin sulit dikejar.
Pemerintah Kabupaten Jayapura harus melihat wilayah-wilayah ini bukan sebagai beban, tetapi sebagai bagian dari kekuatan masa depan daerah. Investasi di wilayah pinggiran adalah investasi pada stabilitas, pemerataan, dan kemajuan bersama. Suara dari Airu, Yapsi, Kaureh, Depapre, Demta, Yokari, hingga Ravenirara bukan sekadar keluhan — itu adalah panggilan untuk bertindak.
Saatnya pembangunan tidak hanya melaju di Sentani, tetapi juga menyentuh pelosok pesisir dan pedalaman. Karena hanya dengan pemerataan, kemajuan Jayapura akan menjadi milik semua orang.